Hari Senin, seperti pada umumnya, di SMA tempat Aga Askara menuntut ilmu upacara pagi sedang berlangsung, di tengah terpaan panasnya matahari dan hembusan angin yang sedikit membuat udara tak terasa begitu membara. Tidak berlangsung, tiga puluh menit telah berlalu.
"Ah sial, pagi ini panas sekali." Ucap Aga sembari menyandarkan punggungnya di sandaran kursinya dengan peluh yang masih terlihat jelas membasahi laki-laki tampan itu.
"Cih payah, laki-laki mana yang takut dengan panas." Balas teman sebangkunya.
Aga tertawa tak lupa dengan menjitak kepala temannya itu. Pasalnya ia tahu kalau temannya itu mendapat tempat teduh selama upacara tidak seperti dirinya.
Bel masuk telah berbunyi sedari sepuluh menit lalu, namun belum ada tanda-tanda ada guru yang akan mengajar kelasnya, tidak biasanya. Hingga orang paruh baya yang sangat dikenalinya itu memasuki ruangan kelasnya, "Ada apa?." Begitu pikirnya, karena ini bukanlah jadwal orang itu mengajar.
"Saya membawa kabar baik untuk kalian semuanya." Ucap sosok tersebut dengan senyumnya.
Semua siswa sontak diam dan mendengarkan apa yang akan dikatan selanjutnya oleh wali kelasnya itu.
"Silakan masuk."
Selang beberapa detik dari ucapan itu, seorang pemuda tampan berjalan dengan gagahnya menasuki ruangan ini, semua pasang mata tertuju kepadanya, termasuk Aga dan sahabatnya itu. Dengan seragam rapi, jam tangan Rolex yang melingkar di pergelangan tangannya dan sepatu Nike warna putihnya ia berdiri tepat di sebelah seseorang yang jauh lebih tua darinya itu.
Seulas senyum terukir, memberi kesan baik kepada semuanya, hinggalah manik hazelnya itu terpatri oleh sosok yang sangat ia kenalinya. Aga melihat kehadiran siswa baru di kelasnya itu seakan merasa biasa saja, namun jauh di lubuk hatinya merasa ada yang janggal saat manik bereka beradu tatap, rasanya ia melupakan sesuatu tapi ia tidak tahu apa itu.
Sakit kepala seketika menyerangnya, pelipis dan pangkal hidungnya seakan ditekan kuat, begitu sakit hingga ia menggelengkan kepalanya beberapa kali. Matanya berkunang-kunang, pandangannya kabur, ia sungguh tidak kuat menahan rasa sakit ini. Dan seketika ia tumbang dalam duduknya, kepalanya terbentur meja di depannya, ia pingsan.
Tiga puluh menit lebih berlalu, Aga membuka pelan manik hitam kelam miliknya, perlahan ia membiarkan cahaya ruangan ini memasuki retina matanya. Berbaring tanpa ekspresi di unit kesehatan sekolah, sendirian. Ia melihat pemukul waktu yanh terpampang jelas di dinding, pukul 08.37 pagi. Tak ada niatan untuk ia kembali ke kelasnya, entahlah rasa malas begitu menyelimuti hati pemuda berkulit putih pucat itu, lagi pula bel istirahat akan bergema tak lama lagi.
Suasana kantin terlihat riuh, meski ini masih istirahat pertama tapi para siswa begitu antusias menjajankan uang saku mereka. Begitu juga dengan Fika, ia tengah duduk menunggu pesanannya datang, sembari memainkan ponselnya.
"Dimas, Aga pingsan dia terkena serangan panik tadi, sekarang di UKS." Begitu pesan yang dikirim Fika kepada kekasihnya.
Belum ada jawaban, mungkin kekasihnya itu masih berurusan dengan organisasinya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
AGA ASKARA - Aku, Dia, dan Kamu
Любовные романыBagaimana dengan cinta? Apakah semudah itu? Tidak mungkin! Pemuda tampan yang bersembunyi di balik sikap polosnya, Aga namanya. Beberapa menganggap ia adalah anak yang baik, tapi apakah benar begitu? Masih ingat dengan pribahasa bahwa "air tenang me...