Bagaimana dengan cinta? Apakah semudah itu? Tidak mungkin!
Pemuda tampan yang bersembunyi di balik sikap polosnya, Aga namanya. Beberapa menganggap ia adalah anak yang baik, tapi apakah benar begitu? Masih ingat dengan pribahasa bahwa "air tenang me...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku dihadapkan pilihan Antara benar dan salah Aku mencintai kamu, sangat mencintai Kamu berjalan bersamanya Selama kamu denganku Begitu rumitnya dunia, hanya karena Sebuah rasa cinta Jadilah aku, kamu, dan dirinya Berada di dalam dusta yang tercipta Mengapakah, harus kurasa Sepenting itukah cintamu Kita berawal karena cinta Biarlah cinta yang mengakhiri
Sebuah Rasa - Agnes Mo
Dengung musik bergema dalam pendengaran dari benda kecil yang melekat di telinganya, mengiringi sosok pemuda itu dalam melangkah, ia berjalan menuju ruang ujian dengan begitu santai seolah tak ada beban, hanyut dalam pikiran dan angannya.
"Aga." Ucap perempuan yang kini tepat di hadapannya setelah sosok cantik itu menarik nya ke sebuah koridor.
Tak ada sahutan, laki-laki muda itu masih terdiam sembari memandangi paras elok perempuan di depannya. "Cantik." begitulah ucapnya dalam hati.
"Aga, kita putus." Ucap perempuan itu lagi.
Dan lagi, sosok laki-laki itu tidak menanggapinya, hanya saja ekspresi bertanya yang dibuatnya.
Sepersekian detik kemudian Aga menjawabnya, namun malah pukulan yang mendarat di pipinya, entah dia salah berucap atau apa, perempuan itu terlihat sangat kecewa atas jawaban yang ia berikan. Bagaimana tidak, laki-laki itu hanya mengatakan "Iya." tanpa ada kalimat lainnya.
Pagi yang begitu cerah tak ada awan satupun, hanya hamparan biru yang menggantung di udara dan hembusan angin sejuk khas pagi hari. Sungguh suasana yang berbanding terbalik dengan perasaan Aga saat ini, hari pertama ujian akhir di jenjang SMP ini. Kejadian di koridor tadi sempat mengalihkan fokusnya. Meski begitu ia tidak terlalu memikirkannya, toh dalam satu bulan ini ia mendapati hal serupa tiga kali.
♧♧♧
Hari pertama ujian telah usai, tinggal beberapa hari, setelah itu tak ada lagi beban untuknya, ia akan lulus dan menginjak bangku sekolah lebih tinggi.
Melangkah menyusuri tepi jalan, terik panas begitu menyengat kulitnya, sial sekali hari ini ia tidak membawa jaket, setidaknya dengan berbalut jaket ia tidak begitu memaki dunia saat ini.
Sepertinya, dunia tidak menghiraukan makian dari sosok manis itu, tidak jauh dari tempatnya berdiri terlihat sebuah kios yang ramai pengunjung. Bergegas ia menghampiri tempat itu, sampainya di sana hanya tinggal dua orang pembeli yang tersisa, dua laki-laki seusianya memakai seragam sekolah namun tidak sama dengan yang ia kenakan. Tidak mau berlama-lama memikirkan hal tidak berguna itu segera ia membeli sesuatu yang sudah diinginkannya sedari tadi.
"Mbak, es coklat satu ya." Ucapnya.
"Woe, aku pulang dulu ya." Aga menoleh, ia mendapati laki-laki tadi berbicara kepada sosok di sebelahnya dalam langkahnya sembari melambaikan tangan.
"Iya hati-hati, lihat depan jangan jelalatan matanya." Ucap pemuda di sebelahnya dengan sedikit berteriak kemudian tertawa lepas setelah temannya itu membalas dengan umpatan dan mengangkat jari tengahnya.
Sungguh hal yang sangat aneh menurutnya, pasalnya ia tidak memiliki teman dekat ataupun semacamnya.
"Mbak, pesanan aku mana, belum selesai ya? Dari tadi ngapain aja."
Aga menatap pemuda di sebelahnya itu dengan datar, entah apa yang ada di pikirannya saat ini.
"Mas, ini es coklatnya."
"...."
"Aduh.." Aga mengaduh karena mendapat jitakan di dahinya dari pemuda yang sedang di tatapnya.
"Itu pesananmu sudah jadi."
"Ah iya, terimakasih mbak." Ucap Aga sedikit terbata sembari memberikan uang untuk membayar, kemudian melangkahkan kembali kakinya.
"Tadi aku yang pesan dulu, tapi kok malah dia yang dibuatkan dulu mbak." Aga mendengar pemuda yang sempat ditatapnya tadi menggerutu kepada si penjual tadi. Bagaimana tidak, dia datang lebih dulu tapi ia yang terakhir mendapat pesanannya.
Berjalan di bawah terik matahari dengan segelas es coklat di tangannya, menatap lurus ke depan dengan raut wajah berantakan. Siang ini terasa sangat panjang, kaki jenjangnya seakan tidak sanggup lagi untuk melangkah, meski tenggorokannya sudah basah tapi itu seakan tidak membantunya sama sekali, hingga terdengar suara deru motor mendekat ke arahnya dari belakang.
"Hei, mau aku antar?." Aga menoleh, ia mendapati sosok pemuda tadi yang sekarang berada di sampingnya, menyelaraskan kecepatan motornya dengan langkahnya. Tak ada jawaban, hanya ekspresi bertanya yang Aga berikan.
"Hei, kau bisa mendengarku kan?." Ucap pemuda itu lagi, pasalnya sosok manis yang ia ajak bicara itu sedang memakai earphone di telinganya. Merasa diabaikan ia menghentikan motornya di depan laki-laki itu kemudia turun dan menghampiri sosok itu.
"Apa?." Ucap Aga sesaat ketika pemuda asing itu menghampirinya.
Bukan ia tidak mendengar pertanyaan tadi, hanya saja ia tidak mengenal pemuda ini, ia tidak mau melibatkan diri dengan orang yang tidak ia kenal.
"Bolehkah aku mengantarmu, kamu mau pulang kan?."
"Iya."
"Ya sudah ayo naik." Ucap laki-laki itu sembari melangkah menuju motornya, namun ia mendapati bahwa pemuda manis itu masih setia berdiri di tempatnya tadi, melihat itu ia menghampirinya lagi.
"Kenapa masih berdiri disini, ayo naik."
"Aku menjawab pertanyaan kedua mu." Balas Aga.
Pemuda itu menaikkan satu alisnya, berpikir sejenak. Menjawab pertanyaan kedua? Oh jadi ia meng-iya-kan ingin pulang bukan meng-iya-kan untuk diantarnya. Beberapa saat setelah ia paham maksud laki-laki manis yang tidak lebih tinggi darinya itu ia kembali berucap, entah kenapa ia tidak bisa mengendalikan dirinya saat ini, tidak biasanya ia peduli dengan hal-hal sepele seperti ini.
"Hari ini panas, lihat itu mataharinya sedang mengejek wajah merahmu karena kepanasan."
Tidak mendapat jawaban seketika pemuda itu menarik lengan Aga dan mengajaknya menaiki motor vespa usang miliknya. Tidak ada penolakan, entah apa yang ada di dalam kepala Aga saat ini, ia menempatkan pantatnya di jok belakang. Meski motor ini sudah usang tapi masih nyaman, begitu yang Aga rasakan.
Semilir angin berhembus menerpa wajahnya, menggerakkan helaian rambut coklat gelap miliknya, mengukir senyuman halus yang tidak ia sadari, ia tidak memakai helm, hanya sosok asing di depan yang memakainya. Entah hal bodoh apa yang dipikirkan pemuda asing ini, membawa hanya satu helm tapi mengajak orang lain untuk diboncengnya, dan lagi dia masih di bawah umur sama seperti dirinya tapi sudah berani membawa kendaraan, bukankah itu illegal, dan bukankah itu bodoh namanya?.
Meski begitu, bukankah Aga lebih bodoh? Ia tidak menolak ajakan pemuda asing ini, yang jelas-jelas sudah melanggar peraturan lalu lintas dan berkendara.
"Rumah kamu di mana?."
"Jangan cepat-cepat aku takut."
To Be Continue.
Maaf jika ada penulisan kata yang salah atau tidak berkenan.