Bagaimana dengan cinta? Apakah semudah itu? Tidak mungkin!
Pemuda tampan yang bersembunyi di balik sikap polosnya, Aga namanya. Beberapa menganggap ia adalah anak yang baik, tapi apakah benar begitu? Masih ingat dengan pribahasa bahwa "air tenang me...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Kenapa bisa seperti ini?."
"Tadi Seno terjatuh saat berjalan kemari." Ucap Seno menjawab wanita cantik yang terlihat lebih muda dari ibunya itu yang tengah membalut tangannya yang sempat terluka.
"Lain kali berhati-hatilah."
"Em."
Dengan telaten wanita itu melakukannya.
"Maaf tadi Seno menumpahkan makanan yang anda bawa, Seno tidak sengaja." Seno meminta maaf karena tadi saat ia hendak memasuki ruangan ini dirinya malah menabrak perempuan cantik ini yang sedang membawa makanan untuk Aga.
"Tidak apa, ini sudah selesai, kalau sudah membaik bisa dilepas." Titahnya kepada Seno.
"Berhubung kamu ada disini tante titip Aga dulu ya, tante akan pulang untuk sebentar." Ucapnya sembari memberesakan peralatan medis untuk mengobati teman anaknya itu.
Seno mengangguk dengan senyum lebarnya. Selesai membereskan semuanya wanita itu berjalan menghampiri putranya, mencium kening laki-laki yang masih terlelap dalam tidurnya itu. Segeralah membaik, begitu ucapnya dalam hati. Seno hanya memandangi dalam diam, hatinya teramat sakit melihat pemandangan itu, bukan karena iri melihat kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, namun ia merasakan sakit yang dirasakan pemuda itu, dia tidak tahu penyakit apa yang diderita Aga namun seakan ada koneksi ia dapat merasakan itu.
Ruangan begitu sunyi, hanya terdengar dentingan jam yang terpajang indah di dinding. Seno terdiam memandangi wajah laki-laki di depannya itu, terlihat lebih pucat dari biasanya, tidak ada aura menyenangkan sama sekali yang terpancar dari laki-laki itu. Tidak kontak fisik diantarnya, hanya manik hazel Seno yang tidak berhenti menatap Aga, ia tidak mau memalingkan pandangannya, tanpa ekspresi.
Samar-samar ia mendengar sesuatu, ia mendengar Aga yang bergumam memanggil ibunya, ia tidak tahu harus bersikap bagaimana, keringat dingin mulai membasahi wajah pemuda yang masih belum membuka matanya itu, tubuhnya sedikit berguncang, ada apa dengan pemuda ini. Seno menekan tombol emergency yang ada di sana dan dengan erat ia memeluk telapak tangan Aga yang terbebas dari infus.
Tubuh pemuda itu masih berguncang dengan keringat yang terus keluar, dan tak lama dokter datang menghampiri mereka berdua, ia menyuntikkan obat penenang berdosis rendah untuk Aga, dan beberapa detik kemudian tubuh pemuda itu kembali tenang dengan keringat yang masih membasahinya.
"Pasien tidak apa-apa, sepertinya ia mengalami mimpi buruk hingga ia tidak bisa mengontrolnya. Tolong jangan buat keributan ya di sini." Ucap sang dokter memberitahu Seno.
"Baik dok. Terimakasih, kalau boleh tahu pasien menderita sakit apa?."
Setelah sang dokter mungucapkan jawabannya seketika kilas balik satu tahun yang lalu terputar jelas di kepala Seno, kejadian di mana dirinya bertemu dengan Aga pertama kali saat membeli es, disaat dirinya menawarkan diri untuk mengantar pemuda ini pulang, dan disaat ia menemui malang ini saat ia ingin menghabisakan waktunya di malam itu.
Semuanya masuk akal, Aga yang tak sadarkan diri saat pertama ia memasuki sekolahnya, saat pemuda itu tiba-tiba marah ketika ia menanyakan kabarnya di kantin dan kronologi hingga ia menjadi seperti ini. Ternyata Aga kehilangan ingatannya, Aga tidak mengingat satupun tentangnya, Seno tidak mengetahui itu.
"Maaf." Ucap Seno dengan mata terpejam meneteskan butiran bening yang membasahi tangan Aga yang masih digenggamnya.
"Maafkan aku Aga." Ucapnya lagi dengan posisi masih sama.
"Aga juga minta maaf." Suara lirih berhasil masuk pendengarannya, segera ia memfokuskan atensinya ke sumber suara itu.
"Aga minta maaf karena telah melupakan Seno." Suara lirih itu berucap lagi, manik onyx itu terlihat sayu, bibir pucat itu terlihat berusaha untuk menarik sebuah senyuman.
Seno memandang Aga tanpa berkedip, ia menyaksikan betapa lemah laki-laki di hadapannya ini, ia lebih mengeratkan lagi genggamannya dan tersenyum begitu lebar, Aga sudah bangun, ia sangat menyukainya. Ia suka melihat manik hitam kelam itu, ia suka dengan senyum simpul milik Aga, ia suka suara Aga masuk pendengarannya, ia menyukai semuanya.
"Kamu haus? Mau minum? Bibirmu terlihat begitu kering." Ucap Seno.
Aga hanya mengangguk pelan dengan senyumnya dengan Seno yang meraih air putih tak jauh darinya dan diberikannya kepada Aga.
"Minum dulu saja ya, sebentar lagi mamamu akan datang membawa makanan untukmu." Ucap Seno lagi.
"Aku sudah mengingatmu, mengingat bagaimana kita pertemu pertama kali hingga saat dimana aku meninggalkanmu sendirian di malam itu." Ucap Aga yang dengan usahanya untuk berbicara panjang.
"Aku minta maaf karena telah melupakanmu." Sambungnya.
Mendengar itu Seno kembali meraih tangan pemuda di depannya itu, menggenggamnya dengan erat, dan sorot mata yang begitu tenang dan sejuk memberikan atensinya penuh kepada Aga. Aga merasakan itu, manik hazel di depannya itu benar-benar sangat teduh, Aga menyukainya.
"Seharusnya aku yang meminta maaf, kamu sama sekali tidak bersalah, kalau saja aku tidak muncul di hidupmu lagi, kamu tidak akan merasakan sakit seperti ini."
"Jadi kamu mau pergi dari hidup ku setelah kamu meyakitiku seperti ini?." Ujar Aga.
Seno terdiam, ia tidak tahu harus berucap bagaimna, hening melanda ruangan ini, keduanya hanya saling melempar pandang, menatap manik satu sama lain, hinggalah suara langkah kaki mendekat ke arah mereka.
"Kamu sudah bangun, maaf ya sayang mama terlambat, kamu pasti sudah lapar, ini mama membawa sup kemiri kesukaanmu."
"Benarkah?." Aga mengatakan itu dengan mata yang berbinar-binar,
"Iya. Seno ikut makan juga ya, kita makan bersama-sama." Ucap wanita itu yang tengah menyiapkan hidangan.
Seno ingin menolak, tapi ini sup kemiri, kesukaannya, bagaimana ia bisa menolak. Ia mengangguk bertanda menyetujui ajakan itu. Tanpa mereka sadari tangan Aga masih di dalam genggaman telapak tangan Seno yang terlihat lebih besar itu, hinggalah pandangan wanita itu membuat mereka tersadar dan seketika Aga menarik tangannya untuk menjauh dari Seno.
"Mau disuap sayang?." Ucap wanita itu.
"Tidak usah Aga bisa makan sendiri, lagipula mama juga harus makan."
Ibunya Aga sudah datang dan acara makan bersama dalam ruangan penuh aroma antiseptik itu juga telah selesai lebih dari satu jam yang lalu, Seno berpamitan untuk pulang.
Langakah demi langkah ia susuri koridor rumah sakit itu. Hingga sosok yang dikenalinya tampi di depan pupilnya, ia mengenali dua sosok itu. Dimas dan Fika, mereka berjalan ke arah Seno.
"Darimana?." Ucap Dimas dan kekasihnya bersamaan.
"Menjenguk seseorang." Balas Seno, entahlah rasanya ia tidak ingin memberitahu sepasang kekasih itu tujuannya disini.
"Aga? Ia dirawat disini juga." Timpal Fika, perempuan itu sudah mengetahui kondisi Aga dari pasca kejadian kemarin.
"Iya."
"Tidak biasanya kamu peduli dengan orang lain." Ucap Dimas.
"Kamu sudah mengenal Seno?." Kini Fika yang bertanya kepada kekasihnya.
Seno tidak memedulikan itu, ia segera pamit dari sana dan melanjutkan langkahnya. Ia kembali teringat dengan vespa usangnya, bagaimana kondisinya, semoga saja tidak terjadi hal buruk kepada motor tua itu.