"Darimana saja kamu baru pulang?.""Kalaupun aku cerita ayah pasti tidak akan percaya." Jawab Aga kepada orang tua itu.
Setelah membuka pintu utama rumahnya sosok ayahnya sudah berdiri di sana, dengan lengan yang bersedekap di dada dan salah satu kakinya yang diketuk-ketuk ke lantai. Wajar saja, karena ia baru saja pulang saat mentari sudah tidak menampakkan wujudnya lagi. Pasti pria paruh baya itu mengkhawatirkan putra semata wayangnya.
Pria itu tidak meminta putranya untuk menjawab lebih jauh pertanyaannya, ia membiarkan laki-laki muda itu untuk segera membersihkan diri dan menitahnya untuk berganti dengan pakaian formal. Aga sempat menjawab untuk apa, namun ayahnya tidak memberitahu. Menjegkelkan, begitu pikirnya.
"Sudah siap?." Tanya ayahnya yang sedang menunggunya dengan pakaian sudah rapi.
"Tapi Aga lapar, boleh makan dulu?." Tanya laki-laki itu.
Ayahnya hanya menggeleng pelan, bagaimana bisa anaknya sudah menginjak usia remaja ini sifatnya masih seperti anak usia sepuluh tahun.
"Nanti saja." Jawabnya singkat.
Kedua laki-laki itu berjalan meninggalkan ruang keluarga, tidak lupa sebelumnya berpamitan kepada wanita paling cantik di rumah ini. Yang lebih tua mencium kening dan sekilas di bibir wanita itu, Aga hanya memutar bola matanya malas melihat itu, sedangkan dirinya mencium kedua pipi ibunya. Pukul setengah tujuh mobil mewah itu melaju di jalanan kota. Tidak banyak obrolan dalam perjalanan itu, Aga hanya asik memandang ka arah luar jendela, nampak tetesan air membasahi jendela kaca itu, gerimis.
"Kita mau kemana?." Aga bertanya lagi karena sebelumnya ia tidak mendapat jawaban.
"Bertemu teman-teman ayah, ada acara makan bersama antara pemegang saham perusahaan."
Seketika Aga menghembuskan nafasnya kasar, ia tidak suka acara seperti itu. Ia tidak suka keramaian apalagi ini akan dipenuhi orang tua, bagaimana bisa anak muda seperti dirinya bisa menikmati itu.
"Tenanglah, lagipula hanya acara makan." Ucap pria itu sembari mengusap surai belakang Aga dengan tangan besarnya.
Acara makan seperti apa yang harus mengenakan pakaian formal? Sungguh dalih yang tidak dapat dipercaya. Pemuda iti hanya pasrah, menuruti kemauan ayahnya.
Tidak lama mereka tiba di sebuah gedung, lebih tepatnya sebuah hotel berbintang, wajahnya tidak menampakkan semangat sama sekali. Ia berjalan di belakang ayahnya, laki-laki ini benar-benar tidak minat.
Setibanya di ruangan besar yang sudah dipesan itu nampak banyak orang yang menyapa ayahnya, mereka semua sama, memakai pakaian formal seperti dirinya, benarkah hanya acara makan bersama? Sepertinya tidak mungkin.
Mangacuhkan kegaduhan para pria tua disana, Aga memilih untuk duduk di kursi yang agak jauh dari keramaian itu, matanya hanya fokus kepada ponselnya dengan sesekali meneguk minuman beralkohol warna merah yang sudah tertuang di gelas kaca di hadapannya. Dari kejauhan nampak seseorang berpenampilan rapi seperti dirinya tengah mengawasi gerak-geriknya.
"Ayo, katanya kamu lapar." Ucap ayahnya yang sudah berdiri di hadapannya. Aga mendongak akan hal itu, kemudian berdiri mengikuti ayahnya.
Disinilah mereka berada, menikmati makanan mewah yang berjejer rapi di sebuah meja panjang, ia duduk di sebelah ayahnya. Meski perutnya tadi lapar tapi ia tidak memakan banyak, ia tidak selera dengan makanan ini, ia lebih suka junkfood. Mengunyah makanan itu dengan pelan, seperti yang pernah di ajarkan orang tuanya kepadanya mengenai tabble manner yang baik. Fokusnya hanya ditujukan untuk makanan di depannya itu hinggalah pupil matanya melebar mendapati sosok pemuda yang juga sedang menikmati hidangan di seberangnya.
Aga menyudahi makannya, meletakkan sendok dan garpunya, dan mengelap mulutnya dengan tisu, ia tidak beranjak, masih dengan santai duduk di sana sembari menunggu yang lainnya selesai.
Tidak selang lama, sepertinya semua sudah puas akan hidangan itu, segera ia beranjak dari tempat duduknya, dirinya sudah tidak ada kepentingan lagi, memang sedari awal ia hanyalah kacung yang diajak ayahnya. Aga berjalan menuju balkon ruangan besar itu, tidak terlalu jauh namun cukup berjarak dengan keramaian di sana, ia tidak tahu jika ada seseorang yang mengikutinya.
Duduk di sana menikmati hembusan angin dan memainkan ponselnya lagi, dari sudutnya matanya nampak seseorang mendekat ke arahnya dan mendudukkan dirinya di sebelah Aga.
Mereka hanya berdiam diri, entahlah, canggung terasa menyelimuti kedua insan itu.
"Aga?." Panggil pemuda yang menghampirinya.
Aga bergumam dan menoleh kepada sosok itu.
"Kenapa murung?." Tanyanya.
"Aku tidak suka, disini menyebalkan." Seno mengerti maksud kekasihnya itu.
Tanpa Aga sadari ia menyandarkan kepalanya di pundak kekasihnya, begitupun dengan Seno ia melingkarkan lengannya di pinggang ramping Aga. Mereka menyukai momen itu. Senyuman terukir jelas di wajah manis Aga.
"Makanmu sedikit tadi, apa sudah kenyang?." Ucap Seno membuka obrolan.
"Aku pengen makan burger, tidak selera dengan makanan seperti itu." Balas Aga menjelaskan.
"Yasudah ayok."
Seketika Aga menegakkan badannya, manatap Seno dengan manik hitam yang berbinar, tanpa berpikir panjang Aga menyetujui ajakan itu. Nampak dari kejauhan seorang pria mengawasi mereka namun tak ada yang tahu akan hal itu. Mereka pun pergi meninggalkan perkumpulan orang tua disana.
"Pak Askara, apakah anda melihat anak saya?." Ucap pria yang merupakan pemegang saham terbesar di perusahannya.
"Anda membawa putra anda juga? Saya tidak tahu bagaimana putra bapak. Maaf."
"Senopati namanya, ia jarang ikut andil dalam acara seperti ini, wajar jika anda tidak tahu." Mendengar nama yang disebut rekan kerjanya itu kepalanya seketika memutar kilasan dirinya yang sempat bertemu dan berbicara dengan anak bernama Senopati.
Apakah yang tadi dilihatnya itu adalah anak dari Tuan Alexander? Dilihat dari pawakan tubuhnya warna kulit dan juga manik hazel-nya sepertinya memang benar. Pria tua itu tidak begitu memedulikan toh itu lebih baik jika anaknya berteman dengan anak dari rekan kerjanya.
Seno dan Aga sudah berada di restoran cepat saji yang berada tak jauh dari tempat mereka sebelumnya, sedang mengantri untuk memesan. Dalam saki celananya ia merasakan ada sesuatu yang bergetar, ia melihat itu, ternyata sang ayah yang mengirim pesan kepadanya. Bertanya keberadaannya dan ia menjawan tanpa berbohong.
Ia pergi bersama Seno meninggalkan jamuan itu hanya untuk sekedar makan burger. Masih dengan jas dan sepatu kulit mengkilat yang melekat di tubuh gagah mereka, dengan lahapnya Aga menikmati roti lapis daging itu, sungguh maha karya masakan yang patut dipuja. Ini enak sekali. Seno hanya memesan kentang goreng dan soda, ia sudah cukup kenyang untuk memesan makanan berat seperti Aga, ia memandangi pemuda di depannya itu dalam tenang. Entah berapa umur pemuda ini, ia makan seperti anak kecil jauh berbeda dengan tadi, saus dari burger itu mengotori sudut-sudut bibirnya. Seperti sebelumnya Seno dengan sigap mengusap saus di sudut bibir Aga dengan jempol lalu mengulum jarinya yang terkena saus itu dengan sensual.
To Be Continue.
Selamat membaca :)
KAMU SEDANG MEMBACA
AGA ASKARA - Aku, Dia, dan Kamu
RomanceBagaimana dengan cinta? Apakah semudah itu? Tidak mungkin! Pemuda tampan yang bersembunyi di balik sikap polosnya, Aga namanya. Beberapa menganggap ia adalah anak yang baik, tapi apakah benar begitu? Masih ingat dengan pribahasa bahwa "air tenang me...