Bab 17. Mulai Bekerja di Butik

142 4 0
                                    

Farhan sudah mulai sibuk bekerja di butik, duduk di meja kerjanya di sudut ruangan. Dia merasa lega karena permintaannya untuk bekerja secara offline langsung disetujui oleh Cantika. Bahkan Cantika dengan sigap menyiapkan segala kebutuhan Farhan, seperti meja kerja lengkap dengan perangkat komputer dan lainnya.

Saat ini, Farhan sibuk dengan berkas desain tersebar di depannya. Dengan menggigit ujung pensilnya, dia memikirkan cara terbaik untuk merealisasikan ide-idenya dalam koleksi terbaru. Di sebelahnya ada Rani, salah seorang penjahit yang bekerja untuk butik Cantika, duduk dengan jarum dan benang di tangannya, siap untuk mendengarkan instruksi dari Farhan.

"Rani, menurutmu gimana? Potongan kerah ini bagus gak?" tanya Farhan sambil menunjukkan sketsa desain yang baru saja dia buat.

Rani mengamati sketsa itu, mengangguk pelan. "Aku suka ide kerah yang lebih lebar seperti itu. Bakal kasih sentuhan yang lebih modern pada pakaian."

"Aku juga mikir gitu," kata Farhan, meletakkan pensilnya di atas meja. "Tapi aku pengen mastiin kalo kita pakai bahan yang pas. Kamu punya saran jenis kain yang cocok buat desain ini?"

Rani menggaruk kepalanya sejenak, sebelum tersenyum. "Mungkin kain katun yang agak elastisitas bakal cocok. Itu bisa kasih struktur yang cukup tapi tetap nyaman dipakai."

Farhan mengangguk setuju. "Oke, nanti kita coba itu. Trus soal jahitan, aku pikir jahitan zigzag bakal lebih cocok daripada jahitan lurus, iya gak?"

Rani mengangguk setuju. "Kayaknya iya, mas. Jahitan zigzag juga bikin lebih kuat, apalagi nanti kita pake kain yang agak elastis."

"Oke, aku bakal kelarin desain ini dulu. Kamu lanjut aja kerjaan kamu sebelumnya," kata Farhan.

Rani mengangguk kemudian kembali ke meja jahitnya. Farhan pun kembali fokus pada desainnya, menyempurnakan hasil akhirnya. Tiba-tiba, Farhan terdengar suara panggilan dari belakangnya, "Halo, om Farhan..."

Dia kaget dan segera menoleh, mendapati Lian yang sedang menggendong bayi Cio dengan wrap carrier. Lian melambai ke arah Farhan, "Serius banget kerjanya, Om?"

Farhan tertawa melihat Lian memanggilnya dengan sebutan 'om' untuk membiasakan anaknya.

Farhan mengangkat bahunya. "Lo ngapain ke sini lagi? Nggak ada kerjaan lo?" katanya sambil tertawa. Lian membalas dengan senyum. "Enak aja ngatain gue gak ada kerjaan, gak liat nih gue 24 jam ketempelan bayi. Capek juga gue jadi babysitter."

Farhan tertawa mendengar keluhan Lian. "Anak lo sendiri."

"Iya lah, kalo bukan anak gue sendiri gak bakal mau. Mending gue buka praktik lagi," jawab Lian sambil menggeleng.

Farhan terkekeh. "Gak sayang lo ngelepas gelar dokter hewan?"

Lian terdiam sejenak, pandangannya menerawang. "Sayang sih... tapi gue lebih sayang anak gue lah."

Farhan manggut-manggut. "Kan bisa pake babysitter," katanya sambil memberi saran.

Lian menggeleng pelan. "Gak mau. Gue pengen punya bonding yang kuat sama anak gue. Lagian, gue lebih tenang ngurusin dia sendiri. Dari awal ngerencanain punya anak, gue udah bahas sama Cantika sih," lanjut Lian, "terus sepakat gak pake pengasuh. Soalnya kita gak pengen anak-anak kami nanti lebih deket sama pengasuh. Dan akhirnya gini, gue jadi bapak rumah tangga yang kerjanya 25 jam dalam sehari, tapi dipandang pengangguran sama orang."

"Sa ae lo," cekikikan Farhan.

"Beneran, Han. Punya tiga anak jarak umur deket itu bukan maen capeknya," jelas Lian.

"Anak kalian beneran tiga?" tanya Farhan hampir tak percaya, melihat Lian yang terbilang masih muda.

"Beneran lah. Anak gue yang sulung udah TK A. Terus yang tengah umur tiga tahun, baru masuk playgroup. Liat kakaknya sekolah pengen juga dia. Terus yang kecil ini, belum ada setahun— gitu Cantika masih sering nego nambah lagi. Bisa kena baby blues gue! Anak tiga aja rasanya nyawa gue nyisa setengah— makanya tiap kali ngelonin Cio, guenya yang tidur, ni bayi udah manjat dinding kayak spiderman," keluh Lian sambil menarik nafas panjang.

Farhan tertawa dengan keras, hampir saja membuat beberapa karyawan yang tengah sibuk di ruangan itu terganggu. Lian memberi kode diam pada Farhan, menunjukkan ke arah karyawan-karyawan yang sedang berkonsentrasi. Farhan berusaha mengecilkan suara tawanya, sambil menatap Lian dengan protes.

"Gara-gara lo. Udah mending lo pergi sana, jangan ganggu kerjaan gue. Mentang-mentang suami bos," ujar Farhan sambil memberi gestur mengusir Lian.

"Yaudah, lo semangat kerjanya. Gue mau ngelonin ni bocil," ujar Lian sambil melengos, berniat pergi dari ruangan.

"Jangan sampe molor duluan kalo bocilnya belum tidur, bahaya kalo ntar dia manjat genteng," sindir Farhan. Lian tertawa kecil mendengar candaan Farhan, lalu berbalik hendak keluar dari ruangan. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia berhenti tiba-tiba saat mendengar suara dering ponselnya. Lian meraih ponselnya dari saku celananya. Di layar, tertera nama "Om Damar" memanggil. Ia berniat mengangkat panggilan itu, sambil berusaha menjauhkan ponsel dari jangkauan tangan gembul bayi yang sedang digendongnya. Tangan bayi itu dengan lincahnya mencoba meraih ponsel.

"No, No, Cio," ucap Lian lembut sambil menahan tawa.

"Pon... pon, yank...," terdengar suara riang bayi Cio yang berusaha merebut ponsel ayahnya.

"Iya, ayah angkat telepon dulu, Cio diem," kata Lian dengan senyum ramah, berbicara pada anaknya sambil tetap berusaha menjauhkan ponsel dari jangkauan si kecil.

"Halo, Om," sapa Lian setelah akhirnya berhasil mengangkat panggilan. Farhan memerhatikan Lian yang tampak kesulitan fokus saat bertelepon, karena bayi di gendongannya tak bisa diam dan terus berusaha merebut ponselnya. Farhan yang melihat itu segera menghampiri, mengambil alih menggendong Cio. "Sini biar gue gendong dulu."

Lian senyum lega dan menyerahkan Cio pada Farhan, "thanks ya."

Dalam gendongan Farhan, baby Cio melebarkan matanya dan terus memerhatikan Farhan tanpa berkedip. Seolah bertanya-tanya siapa orang yang saat ini menggendongnya.

"Halo, Cio. Ini om Farhan," sapa Farhan dengan lembut mencoba berkomunikasi dengan bayi yang mengamati dirinya.

Namun Cio tampak mengabaikan Farhan dan langsung menoleh ke arah ayahnya. "Yank... ayank..." panggilnya ingin kembali digendong Lian. Farhan tersenyum geli mendengar cara si bayi memanggil ayahnya dengan sebutan lucu, memaklumi jika bayi itu memang belum bisa mengucapkan kata Ayah.

Namun, saat itu, Farhan melihat Lian sedang melipir dan bertelepon dengan wajah tegang, seolah ada sesuatu yang buruk telah terjadi.

Tak lama setelah Lian mengakhiri pembicaraan di telepon, Lian berlari ke arah Farhan dengan wajah penuh kepanikan, membuat Farhan ikut merasa cemas.

"Han, lo bisa nyetir, gak?" tanya Lian.

"Bisa, kenapa?" tanya Farhan.

"Bisa anter gue ke rumah sakit? Gue gak bisa nyetir kalo sambil bawa Cio, apalagi gak bawa baby car seat. Mamanya juga lagi meeting sama supplier," jelas Lian dengan cepat.

"Bisa! Mau berangkat sekarang?" tawar Farhan. Lian mengangguk dengan cepat, "Thanks banget."

Lian kemudian mengambil alih Cio dari gendongan Farhan. Mereka lalu berjalan menuju tempat parkir. Sambil berjalan, Farhan tampak penasaran. "Emang siapa yang sakit?"

"Temen gue kecelakaan. Tadi bokapnya hubungin gue, bokapnya bilang masih di London, baru otw balik. Minta gue liatin anaknya dulu," jelas Lian. Farhan mengangguk mengerti, menyadari situasi yang mendesak.

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang