"Minta maaf sama adikmu," perintah Nur, menuntut ketaatan dari anak tengahnya. Farhan menatap ibunya dengan tatapan kecewa, Nur bahkan sudah mengerti alasannya marah, namun tetap Farida yang mendapat pembelaan darinya.
"Farhan!!" tegas Nur sekali lagi, kali ini suaranya lebih keras dari sebelumnya. Farhan menghela napas dalam-dalam, merasa tak memiliki pilihan, Farhan akhirnya melangkah mendekati Farida, kemudian duduk di sampingnya. Farhan lalu mengulurkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Farida. "Farida, Mas minta maaf," ucap Farhan dengan suara datar.
Farida tak langsung menyambut uluran tangan Farhan, masih terdiam dengan rasa kesal.
"Dimaafin gak sih?" Farhan mulai nyolot, membuat Farida akhirnya terpaksa menerima uluran tangan itu. "Iya!" jawab Farida dengan nada sama kesalnya.
"Tapi ini permintaan maaf karena mas udah bentak kamu, soal teguran mas tadi, itu bukan kesalahan. Harusnya kamu minta maaf karena udah seenaknya sama Mbak Alisha," ucap Farhan, setelah itu pemuda itu segera bangkit dan berjalan cuek ke arah belakang, meninggalkan Farida yang makin kesal.
"Bu!! Liat tuh mas Farhan," Farida mengadu pada Nur sambil menangis kesal. "Ini tuh gara-gara mbak Alisha!" Farida menoleh kesal pada Alisha.
Alisha kaget karena tiba-tiba dipersalahkan oleh Farida. Nur pun menoleh pada menantunya itu. Meski tak keluar sepatah kata pun dari mulutnya, namun tatapan Nur menunjukkan kekecewaan.
Alisha merasa makin tidak enak hati dengan situasi ini, terlebih saat Faisal— yang sejak tadi hanya diam, kini menatapnya dengan kesal. "Bikin masalah mulu kamu ini!" gerutu Faisal dengan suara pelan, sebelum melangkah pergi meninggalkan Alisha.
Alisha terdiam, tak mengerti kenapa selalu dia yang dipersalahkan.
***
Farhan duduk sendirian di meja makan yang ada di dapur, wajahnya terlihat sangat kesal. Dengan gerakan kasar, dia menggigit bacem tempe dari sendok dan mengunyahnya dengan cepat. Namun karena tindakan tersebut, Farhan malah tersedak makanannya sendiri.
Farhan mulai batuk-batuk. Dengan panik, ia memukul-mukul dadanya berusaha meredakan rasa sesaknya.
Bersamaan dengan itu, Alisha muncul di dapur— kaget melihat Farhan yang terbatuk-batuk. "Farhan? Kamu kenapa?" tanyanya panik.
Farhan tak bisa menjawab dan hanya menepuk dadanya sebagai tanda kesulitan bernapas. Alisha seolah memahami situasi itu dan segera meraih gelas yang ada di meja, mengisinya dengan air lalu memberikannya pada Farhan.
Farhan segera minum air tersebut dengan cepat hingga akhirnya batuknya mereda.
Setelah menghabiskan air, Farhan menghela napas lega, "Alhamdulillah, gak jadi mati," ujarnya dengan ekspresi serius.
"Hush, ngomong apa sih kamu?" tegur Alisha dengan nada khawatir.
"Tadi rasanya gak bisa napas, Mbak. Tempe bacemnya nyangkut di tenggorokanku," jawab Farhan sambil mencoba melanjutkan makanannya.
"Lagian kamu kok bisa keselek sih? Makannya buru-buru pasti," tebak Alisha sambil menatap Farhan dengan nada canda.
"Lagi kesel soalnya," sahut Farhan kemudian terdiam, suasana hatinya masih buruk.
"Gara-gara masalah tadi?" tebak Alisha lagi, mencoba mengerti.
Farhan tak menjawab, hanya menghela napas panjang, teringat pertengkarannya dengan Farida yang berakhir membuatnya dipersalahkan.
"Mbak makasih banget, karena kamu udah belain Mbak. Jujur, mbak terharu, karena kamu satu-satunya orang yang nggak terima, saat liat mbak ngerjain semua pekerjaan rumah," ujar Alisha dengan tulus. "Tapi Farhan, lain kali kamu nggak usah ngelakuin itu lagi."
Farhan terdiam, dia menghentikan aktivitas makannya, lalu menatap Alisha dengan serius. "Kenapa?"
"Menurut kamu kenapa?" tanya Alisha. "Karena tiap kali kamu belain mbak, pasti akhirnya malah bertengkar."
Farhan melanjutkan makannya dengan kasar, kesal karena mendengar teguran Alisha. "Mbak nggak maksud apa-apa. Mbak cuma nggak mau ada pertengkaran lagi di rumah ini," kata Alisha, mencoba menjelaskan.
Farhan selesai menghabiskan makanannya, lalu meletakkan piringnya dengan agak kasar di meja makan, membuat Alisha terlonjak kaget. "Jadi mbak juga nyalahin aku? Mbak juga mikir kalo aku baru balik tinggal di sini, tapi udah bikin huru hara?"
"Bukan gitu maksud mbak—" Alisha mencoba menjelaskan, tapi langsung disela oleh Farhan. "Mbak... aku cuma nggak terima mbak diperlakukan semena-mena. Kalo aku diem aja, emang mbak Alisha mau kayak gini terus? Jadi pembantu di rumah mertua?" ujar Farhan dengan perasaan yang campur aduk. "Jujur, aku malu sama kelakuan keluarga aku, Mbak. Keluarga mbak pasti sedih kalo tau mbak diperlakukan kayak gini."
Alisha tertunduk sedih. "Lagian orangtua mbak udah nggak ada."
"Jadi kalo seorang perempuan udah gak punya orangtua, terus dia layak gitu dijadiin budak di rumah mertua? Mbak, kenapa sih ngerendahin diri sendiri kayak gitu?" sindir Farhan. "Aku sih nggak setuju— meski aku laki-laki, tapi aku nggak setuju sama sistem patriarki kayak gitu."
Alisha terdiam, terkejut dengan ungkapan yang begitu jujur dari Farhan. Sejauh ini, hanya Farhan yang bisa menyampaikan pemikiran demikian dengan tegas. Namun, kekecewaan juga mengarah pada Faisal, suaminya sendiri, yang tampaknya menganggap kerja keras Alisha di rumah sebagai hal yang wajar.
Farhan akhirnya bangkit, wajahnya masih terlihat kesal, dan meninggalkan dapur tanpa sepatah kata pun, meninggalkan Alisha yang masih terdiam dengan wajah bingung.
Alisha menghela napas panjang, lalu berniat meraih piring bekas makan Farhan untuk dicuci. Namun, sebelum ia sempat melakukannya, Farhan kembali muncul di dapur. "Jangan, mbak!" ujarnya.
Farida terkejut melihat Farhan kembali ke dapur. "Kamu kok balik? Ada yang ketinggalan?" tanyanya heran.
"Iyalah, piring aku belum dicuci," jawab Farhan sambil segera meraih piring yang hampir saja dibersihkan oleh Alisha. Tanpa menunggu lama, Farhan segera melangkah ke wastafel dan mencuci piring bekas makannya.
Farhan kaget saat melihat tumpukan piring dan perabot lain menumpuk di wastafel, menyiratkan bahwa keadaan ini terjadi secara rutin.
"Selalu kayak gini ya, mbak? Orang rumah gak pernah ada yang mau beresin bekas makannya sendiri?" ujarnya sambil menoleh ke arah Alisha yang masih duduk di kursi makan.
Alisha tak langsung menjawab pertanyaan itu, sehingga Farhan seolah sudah bisa menebak jawabannya. Farhan pun mulai mencuci piring dan perabot yang menumpuk di wastafel tanpa menunggu respons dari Alisha.
"Makasih, Farhan," gumam Alisha. Farhan menoleh ke arah Alisha. "Buat apa?"
"Udah bantu cuci piring," jawabnya.
"Ini bukan sepenuhnya tugas kamu, mbak. Ini tugas bersama, jadi kamu gak perlu makasih." Farhan kembali fokus mencuci piring.
"Kamu udah biasa beres-beres rumah?" tanya Alisha.
"Udah biasa, waktu tinggal sama bibi dibiasain kayak gini."
Mereka pun terlibat dalam pembicaraan kecil mengenai kebiasaan Farhan saat masih tinggal bersama bibinya di Garut. Namun, saat sedang asyik berbincang, tiba-tiba saja Faisal muncul di dapur. Faisal agak kaget melihat Alisha yang duduk di kursi makan sambil berbincang dengan Farhan. "Kamu ngapain nungguin Farhan cuci piring?" tanya Faisal dengan nada sengak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Mantan Kakak Ipar
DragosteAlisha mengira jika dia menikah dengan pria yang agamis, maka kehidupan rumah tangganya akan harmonis. Namun tampilan seseorang memang bisa menipu, Faisal Rizqi yang dikenal sebagai guru agama yang sholeh, ternyata pria yang hanya pandai mengaji, na...