Farhan tampak memasak di dapur. Suara pisau yang beradu dengan talenan menarik perhatian Nur yang melintas di sekitar area itu. Nur berjalan mendekati Farhan, kaget melihat putranya yang sedang sibuk memotong banyak sekali sayur. "Kamu ngapain?" tanyanya.
"Masak, Bu," jawab Farhan singkat, tanpa mengalihkan perhatiannya pada Nur. Wajahnya terlihat serius, fokus pada kegiatannya.
Nur kemudian terdiam, menatap wajah anak tengahnya dengan seksama. Kulit muka Farhan yang putih menyisakan jejak kemerahan bekas tamparan semalam, membuat Nur merasa bersalah.
"Farhan, ibu minta maaf, ya," kata Nur penuh penyesalan.
Farhan berhenti memotong wortel, lalu menoleh pada Ibunya. Matanya menyiratkan kekecewaan, tapi Farhan tahu jika menghormati ibunya ada sesuatu yang mutlak, "Kenapa ibu minta maaf?" tanyanya dengan lembut.
"Ibu semalam nampar kamu, masih sakit?" tanya Nur sambil membelai pipi Farhan yang sebelumnya dia tampar.
Farhan menggeleng, "Ini gak sakit."
"Beneran?"
Farhan mengangguk, "Beneran gak sakit. Atas semua yang terjadi sebelumnya, yang paling sakit itu mbak Alisha." Suaranya penuh dengan kepedihan yang tak terucapkan.
Nur menghela napas panjang, "Farhan, masalah Alisha udah selesai. Kenapa kamu masih bahas dia terus?"
"Kasihan aja aku sama mbak Alisha," sahut Farhan yang membuat Nur terlihat agak kesal.
"Suatu hari nanti, semoga kamu paham situasi yang sebenernya, Farhan."
"Itu doa aku, Bu," sindir Farhan, meski tetap berusaha sopan.
"Kamu ini sebenarnya anak siapa sih, Farhan?" tanya Nur dengan nada yang sedikit meninggi. "Ibu ini ibu kamu, ibu kandung kamu, tapi kenapa kamu selalu aja gak pernah setuju sama pendapat ibu?"
Farhan terdiam, menahan diri agar tidak bicara lagi. Karena sepertinya, apa pun yang dia ucapkan selalu menyulut emosi ibunya.
"Udah ah, Ibu gak mau debat sama kamu," tambah Nur, lalu meninggalkan dapur dengan langkah yang berat, meninggalkan Farhan dalam keheningan yang terasa menyakitkan.
Setelah Nur pergi, Farhan menghela napas panjang lalu kembali fokus pada masakannya. Dia mengambil bumbu-bumbu, menyiapkan sayur sayuran yang sebelumnya dia siapkan, dan mengolahnya.
Hari ini, Farhan yakin bahwa tidak akan ada orang lain yang akan memasak. Biasanya, semua pekerjaan di dapur dipegang oleh Alisha, namun situasi hari ini berbeda. Farhan tersenyum sarkas, membayangkan apakah orang-orang rumah tidak merasa kerepotan setelah ditinggal seseorang yang diperlakukan seperti pembantu selama ini. Farhan jadi tidak sabar melihat apa yang akan terjadi nanti.
Farhan mulai memasukkan sayuran yang sudah dia bersihkan dan dipotong ke dalam wajan, mengatur api agar tidak terlalu besar, lalu mulai menumis. Aroma harum bumbu mulai menyebar di sekitar dapur, dan setelah beberapa saat, sayuran itu pun matang dengan sempurna.
Farhan mengalihkan perhatiannya ke meja makan, menyajikan capcay yang masih segar dan harum di atas piring besar. Saat selesai menyajikan sayuran, Farhan tidak lupa untuk menyimpan sisa di wajan ke dalam wadah rantang. Dia juga mengambil nasi dan lauk pauk lainnya di wadah rantang lainnya, lalu menyusun rantang tersebut menggunakan pengait.
Setelah menyiapkan semuanya, Farhan berjalan meninggalkan dapur sambil menenteng rantang tersebut. Dia berniat mengantarkan makanan tersebut ke tempat kos Alisha, karena yakin jika perempuan tersebut tidak punya cukup uang untuk makan hari ini. Semalam, Farhan juga terlalu terburu-buru hingga lupa tidak membawa dompet—padahal harusnya dia bisa memberikan beberapa uang setidaknya untuk pegangan Alisha beberapa hari.
Farida baru keluar dari kamarnya—bersiap-siap untuk berangkat kuliah dab tanpa sengaja melihat Farhan. Tatapan heran terukir di wajahnya saat melihat saudaranya membawa rantang makanan.
"Apaan tuh?" tanya Farida, penasaran dengan apa yang dibawa oleh Farhan.
"Makanan," jawab Farhan singkat, masih terlihat kesal pada adiknya.
Farida merasa ada sesuatu yang tidak biasa. "Gak mungkin buat bekal sebanyak itu kan?" curiganya mulai muncul. "Jangan-jangan Mas Farhan mau kasih makanan buat Mbak Alisha?"
Farhan menatap tajam Farida, kesabaran yang tipis kini mulai terkikis oleh pertanyaan adiknya.
"Emangnya kenapa kalo ini buat Mbak Alisha?" tanya Farhan dengan nada sinis. "Mbak Alisha pergi tanpa dikasih uang sama sekali sama Mas Faisal. Coba bayangin, Mbak Alisha udah nggak ada orangtua. Kemarin aja dia bingung harus pergi ke mana," ucapnya dengan nada penuh emosi.
"Salah sendiri, ngapain dia pergi gitu aja? Orang gak ada yang ngusir juga," sahut Farida.
Farhan merasa kepalanya mendidih mendengar respons adiknya yang begitu acuh.
"Kamu itu perempuan, tapi kenapa gak ada empatinya sama sesama perempuan sih?" ucap Farhan lalu melengos. Farida mencoba menahan lengan Farhan saat dia berniat untuk keluar. "Mas, aku gak bakal biarin kamu ketemu mbak Alisha lagi. Lagian kamu ini beneran kena peletnya mbak Alisha ya? Jadi baik banget sama dia," serunya menuduh.
Farhan menghempaskan tangan Farida dengan geram. "Siapa yang kena pelet? Dibilangin aku cuma kasihan sama dia," balasnya.
"Bohong, palingan bener kamu udah kesengsem sama mbak Alisha. Emang kamu gak malu, kamu digosipin sekampung mas," cibir Farida, menyulut amarah Farhan.
"Oke, kalo gitu aku gak akan anter makanan ini buat mbak Alisha, kamu aja," ucap Farhan sambil menyodorkan rantang itu pada Farida.
Farida langsung mencebik dengan kesal. "Dih, ogah banget."
"Kalo gitu, gosah bacot mulu, minggir," tegas Farhan sambil menggeser tubuh Farida ke samping, kemudian dia melangkah pergi dengan cepat, meninggalkan Farida.
Farida kesal melihat Kakaknya yang tetap pergi tanpa mempedulikan larangannya. "Mas Farhan susah banget dibilangin?" Farida akhirnya berteriak memanggil Nur, "Buuu!! Ibu!! Liat tuh mas Farhan."
Nur yang mendengar teriakan Farida langsung muncul dari arah belakang, "kenapa sih? Kok teriak-teriak?"
"Mas Farhan tuh, dia keluar sambil bawa makanan. Mau nganterin buat Mbak Alisha, udah gila dia!" adu Farida.
Wajah Nur berubah kesal saat mengetahui tindakan Farhan, "jadi dia masak pagi-pagi, karena mau ngirim makanan buat Alisha?"
"Katanya kasihan, Bu. Soalnya mbak Alisha pergi gak bawa duit sama sekali," kesal Farida. "Tapi, kalo mas Farhan mau ketemu sama mbak Alisha, berarti dia udah tahu tempat tinggal barunya dong, Bu?" curiga Farida.
Nur terdiam, wajahnya terlihat sangat kecewa. Dia merasa terhantam dengan tindakan Alisha dan bahkan putranya sendiri.
"Mbak Alisha bener-bener keterlaluan deh, dia manfaatin mas Farhan sampe kayak gini. Mas Farhan juga kenapa bego banget sih? Kenapa dia mau aja dimanfaatin?" keluh Farida, memunculkan keheranan yang sama dari Nur.
Nur mengurut keningnya, "Ibu nggak ngerti lagi sama Farhan."
"Untung aja mas Faisal udah berangkat ngajar, kalau dia sampe tahu mas Farhan sampe nganter makanan buat Mbak Alisha, bisa-bisa mereka baku hantam lagi," ujar Farida, mencuatkan kekhawatiran akan kemungkinan konflik di antara mereka.
Nur menghela napas panjang, "Kamu jangan sampe bilang Faisal ya, ibu takut kalo kakak kamu berantem lagi."
Farida mengangguk, "Iya, Bu. Aku gak akan bilang. Tapi keknya selama mas Farhan masih mentingin mbak Alisha, kayaknya mereka bakal terus terusan ribut."
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Mantan Kakak Ipar
RomanceAlisha mengira jika dia menikah dengan pria yang agamis, maka kehidupan rumah tangganya akan harmonis. Namun tampilan seseorang memang bisa menipu, Faisal Rizqi yang dikenal sebagai guru agama yang sholeh, ternyata pria yang hanya pandai mengaji, na...