Bab 23. Keadaan Dion

187 5 0
                                    

Mobil yang dikendarai Cantika melaju dengan tenang di tengah ramainya jalanan Jakarta. Sementara itu, di sebelahnya, Lian sibuk menjaga Cio yang tak henti-hentinya ingin berdiri di pangkuannya. Bayi yang hampir genap 12 bulan itu terlihat sangat aktif, terutama karena kedua kakaknya yang duduk di belakang terus menggodanya, mengajak bermain cilukba.

"Kak Nala, sama Kak Theo, udahan godain adek ya. Ayah capek banget ini," ujar Lian dengan lembut, mencoba menegur anak-anaknya.

Theo, si sulung yang kini berusia lima tahun, langsung mengangguk mengerti. Nala pun ikut manggut-manggut setuju. "Ayah capek gara-gara semalem nungguin Om Dion ya?" tanya Nala, anak tengah yang berusia tiga tahun, sambil menatap Ayah mereka dengan tatapan penasaran.

"Kalo buat Om Dion, ayah kalian mana ada capeknya? Ini buktinya mau balik ke rumah sakit buat jagain om Dion lagi," sahut Cantika agak menyindir suaminya yang sepertinya agak memaksakan diri ingin terus menjaga sahabatnya.

"Kan Dion sendirian di rumah sakit, orangtuanya masih perjalanan balik dari London. Mau minta tolong Fandy, dia masih honeymoon sama Syabila, aku gak tega ngabarin mereka," jelas Lian.

"Iya, Yank. Aku juga nggak keberatan kamu jagain Dion, asal kamu nggak terlalu maksain diri juga, tar yang ada kamu ikutan sakit," ucap Cantika, agak sedikit khawatir melihat suaminya yang sejak pagi tadi agak lesu dan terlihat lelah karena sibuk mengurus anak-anak dan juga menunggui Dion di rumah sakit.

"Gapapa, Can. Aku baik-baik aja kok. Lagian emang kamu nggak khawatir sama 'mantan tunangan kamu', kalo dia sendirian terus di rumah sakit?" Lian bertanya dengan ekspresi jahil, ingin melihat reaksi istrinya. Cantika yang sedang menyetir tampak melirik Lian dari spion tengah, kemudian mendengus kesal. Cantika sebelumnya memang sempat tunangan dengan Dion, sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk berpisah.

"Tunangan itu apa sih?" tanya Nala dengan wajah bingung. Cantika langsung mencubit lengan Lian yang sebelumnya mengatakan hal aneh-aneh di depan anak mereka yang masih kecil-kecil. Sekarang mereka sendiri yang kebingungan menjawabnya. Lian kesakitan, namun hanya bisa nyengir menyadari kesalahannya.

"Tunangan itu... janji buat saling mencintai, tapi mama sama Om Dion udah lama batalin janji itu," jelas Cantika, berusaha menggunakan bahasa yang mudah dipahami oleh anak-anaknya. Meski sepertinya baik Nala dan Theo masih agak bingung dengan apa yang terjadi sebelumnya, karena saat itu keduanya terus menerus bertanya, membuat Lian dan Cantika agak gelagapan sepanjang perjalanan.

Hingga akhirnya, mobil Cantika berhenti di parkiran rumah sakit. Lian segera menoleh pada anak-anaknya yang duduk di kursi belakang, mempersiapkan mereka untuk berpisah sementara.

"Ayah mau jagain om Dion dulu sama adek. Kak Theo sama Kak Nala ke sekolah dianter Mama aja ya, maaf ayah gak bisa ikut nganter," jelas Lian dengan lembut.

Theo dengan polos menyatakan keinginannya, "Sebenernya aku pengen ikut jenguk Om Dion dulu, boleh gak?"

Cantika tersenyum melihat antusiasme Theo, tapi dia juga harus mempertimbangkan waktu. "Sayang, bukannya gak boleh. Tapi sekarang udah hampir jam 8, nanti kalo kalian telat gimana?"

Theo tidak langsung menyerah, dia mencoba lagi, "Kalo gitu nanti pulang sekolah, boleh?"

Cantika tersenyum lega mendengar kesepakatan itu. "Boleh, nanti Mama jemput, terus kita ke rumah sakit oke?"

Nala dan Theo langsung bersorak girang. Lian tersenyum melihat kekompakan anak-anaknya. "Kalo gitu ayah turun dulu," katanya sambil membuka pintu mobil.

Dia menggerakkan tangan Cio agar melambai pada kakak-kakaknya. "Dadah, kakak," ucap Lian mengajari Cio say goodbye.

"Dadah," balas Nala dan Theo dengan senyum cerah di wajah mereka.

Lian memberikan instruksi kepada Cio untuk melambai pada Cantika. "Ayo, Cio dadah ke mama juga."

"Tatah, Can," Cio melambai sambil tersenyum lucu.

Cantika tertawa, tidak bisa menahan gemas melihat tingkah polah anak bungsunya yang tidak pernah bisa memanggilnya mama. "No, Cio. Panggil mama," kata Cantika dengan lembut.

"Can," ulang Cio dengan polosnya, membuat Cantika hanya bisa tertawa gemas. Meskipun dia ingin Cio memanggilnya mama, tapi lucunya tingkah Cio membuat hatinya luluh.

***

Lian duduk di ruang tunggu Unit Perawatan Intensif (UPI), sambil menepuk-nepuk pelan pantat Cio yang mulai mengantuk. Tak lama seorang dokter keluar dari ruangan Dion. Lian yang melihat dokter tersebut segera menghampirinya. "Dok, gimana keadaan Dion?"

"Dia sudah stabil. Cedera kepalanya masih perlu dipantau, tapi pendarahan internal lambungnya sudah terkendali. Kami akan memindahkannya ke ruang rawat biasa untuk perawatan lebih lanjut dan pemantauan."

Lian menghela nafas lega. "Syukurlah."

"Kami akan terus memantau kondisinya dengan ketat, dan kami akan memberi tahu Anda tentang perkembangannya."

Lian mengangguk, "terima kasih banyak, Dok."

"Tidak perlu mengucapkan terima kasih," kata dokter, "Kami akan melakukan yang terbaik untuk saudara Dion. Jika Anda memiliki pertanyaan atau kekhawatiran lebih lanjut, jangan ragu untuk menghubungi kami. Kami di sini untuk membantu."

Lian mengangguk. Dokter tersenyum dan melangkah menjauh.

Setelah beberapa waktu, Dion akhirnya dipindahkan ke ruang rawat. Lian masuk ke ruangan tersebut, tersenyum melihat sahabatnya sudah sadar, meskipun terlihat sangat lemah dan kepalanya dibalut dengan perban.

"Ong..." panggil Cio dengan suaranya yang lucu, menggunakan panggilan khasnya untuk Dion, karena dia belum bisa memanggil om, dan menggantinya dengan "ong".

"Halo, Cio," sahut Dion dengan suara yang benar-benar pelan dan lemah.

Lian menatap Dion dengan iba, lalu duduk di kursi yang ada di samping ranjang. Wajahnya terlihat khawatir, namun juga ada kelegaan karena melihat sahabatnya sadar dan tersenyum padanya.

"Sorry jadi ngerepotin lo, Bro. Padahal lo pasti rempong ngurus tiga bocah," kata Dion lemah.

Lian menggeleng, tersenyum lembut, "Ngomong apa sih lo? Buat gue lo bukan orang lain, udah kayak keluarga sendiri."

Dion tersenyum, merasa hangat dengan ucapan Lian, terlebih saat Cio mulai aktif, berusaha berdiri di pangkuan Lian. Kedua tangan putih dan gemuknya terangkat seolah ingin menggapai Dion yang masih terbaring. "Bobo ama Ong," kata Cio riang.

"No, Cio. Om Dion lagi sakit," kata Lian dengan lembut, sambil memeluk erat tubuh kecil Cio yang ingin sekali bermain dengan Dion.

"Cio kangen om ya? Tunggu om sembuh, kita main ya," kata Dion dengan senyum lemah.

Lian meraih mainan gigitan bayi dari tas, kemudian memberikannya pada Cio. Bocah itu segera memainkannya, perhatiannya teralih karena sibuk menggigiti mainan.

"Gue denger lo nabrak pembatas jalan, kok bisa sih?" tanya Lian setelah melihat anaknya cukup tenang setelah diberi mainan. "Lo gak lagi mabok, kan?" Lian bertanya agak curiga.

"Nggak lah, gue gak pernah minum-minum," sahut Dion. "Gue ngantuk aja waktu itu, sampe nggak ngerti lagi gue, tiba-tiba gelap semua. Tapi waktu itu gue sempet kayak liat anak mantan ART di rumah gue."

"Alisha maksud lo?" tanya Lian.

"Kok lo tau?" Dion terkejut.

"Tau, karena emang Alisha yang nganter lo ke rumah sakit," kata Lian. Dion terdiam, menyadari jika yang dia lihat sebelumnya bukan sebatas mimpi atau halusinasi.

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang