Bab 14. Dibanding-bandingkan

108 6 2
                                    

Alisha semakin merasa terpinggirkan sejak Nur mengenal Rahma. Alisha tak tahu bagaimana awal mulanya hingga Nur jadi sangat dekat dengan teman perempuan suaminya itu. Dalam bulan ini, Rahma beberapa kali datang berkunjung atas permintaan Nur— wanita itu membawakan bermacam-macam kue kering atau pun masakan yang dia olah sendiri. Membuat Nur semakin menyukai wanita itu. Farida pun mulai merasa nyaman dengan kehadiran Rahma, bahkan hingga pergi jalan-jalan bersama. Alisha merasa dadanya terasa sesak, seakan terpenjara dalam kecemburuan yang tak terungkapkan.

Suatu malam, saat mereka duduk bersama di meja makan, Nur memuji Rahma dengan penuh kagum. "Rahma itu baik banget ya, Ibu jadi nggak enak sama dia— tiap datang ke sini pasti ada aja yang dia bawa," ujar Nur.

Alisha mencoba menahan gejolak emosinya, namun dalam diam, hatinya berteriak karena rasa kecewanya.

"Iya, Bu. Mbak Rahma emang baik banget. Kemarin aja nih, pas aku bikin story di WA kalau kuotaku hampir habis, sama dia langsung dibeliin dong," Farida menimpali.

Faisal mengangguk setuju, "Bu Rahma memang baik, heran aja kok sampai sekarang dia belum nikah."

Farida, Nur dan Faisal yang ada di ruangan tersebut terus membicarakan Rahma, mereka terlihat sangat antusias— seolah mengabaikan perasaan Alisha yang hanya diam sambil memaksa untuk menelan makanannya yang terasa pahit di lidahnya.

Alisha merasakan kekosongan yang semakin dalam di hatinya. Dia juga berharap jika orang di rumah memperhatikannya seperti itu, tetapi keinginannya itu terasa semakin jauh dari kenyataan.

Nur menoleh ke arah kamar Farhan, menyadari bahwa anak tengahnya belum keluar untuk makan malam. "Farhan kenapa belum keluar juga? Padahal ibu udah panggil dari tadi buat makan malam."

"Palingan sibuk ama laptopnya, dia kan lupa segalanya kalau udah natap laptop," kata Farida.

"Nanti kalau dia laper juga bakal keluar sendiri, Bu," tambah Faisal.

"Tapi kasihan kalau dia sampai lupa makan, ibu ke kamarnya dulu." Nur kemudian bangkit dari duduknya dan menuju ke kamar Farhan. Setelah kepergian Nur, tiba-tiba saja Farida kembali membahas Rahma. "Besok mbak Rahma ke sini lagi nggak ya?"

"Kayaknya nggak, soalnya dia lagi ada jadwal home visit ke rumah salah satu siswa," jawab Faisal.

"Besok aku jadwal kuliah, aku temenin aja kali ya, pas mbak Rahma home visit?" celetuk Farida. Faisal kaget, lalu tertawa. "Kamu tuh suka banget sama Rahma ya? Sampe orang mau home visit kamu pengen ikut."

"Ya emang suka banget sama mbak Rahma." Farida kemudian menoleh pada Alisha. "Coba aja, Mbak Alisha bisa kayak Mbak Rahma, pasti aku senang banget," lanjutnya dengan nada agak sinis.

Alisha yang sejak tadi diam karena muak dengan pembahasan mengenai Rahma, akhirnya tersentak kaget juga karena Farida kini juga menyentil namanya. Alisha menghentikan makannya, lalu menoleh pada Farida. "Maksud kamu apa, Fa?" Alisha agak heran dan kesal mendengar ucapan Farida.

"Gak ada maksud," jawab Farida dengan cuek, lalu melanjutkan makan tanpa memperdulikan reaksi Alisha.

Alisha merasa selama ini dia sudah cukup sabar menghadapi adik iparnya, tapi gadis itu makin hari makin keterlaluan saja. Alisha merasa jika kesabarannya hanya akan membuatnya semakin tidak dihargai. Kali ini Alisha menatap Farida dengan tajam, "Selama ini aku ada salah apa sama kamu? Kenapa kamu kayak gak suka banget sama aku?" ujarnya dengan nada yang agak tinggi.

"Duuh, baper banget sih? Siapa bilang aku gak suka sama Mbak Alisha?" balas Farida dengan kesal.

"Tapi kamu terang-terangan bandingin aku sama perempuan lain, kamu pikir aku nggak sakit hati dengernya?" timpal Alisha. Faisal hanya melirik istrinya, tanpa ada niat untuk membelanya.

"Aku bilang gitu biar kamu termotivasi, biar bisa kayak Mbak Rahma. Nggak pelit sama aku," ucap Farida dengan cuek.

"Mbak bukannya pelit, tapi Mbak emang nggak punya uang," sahut Alisha.

"Makanya jangan boros, uang yang aku pakai jangan buat beli yang nggak-nggak," komen Faisal yang justru menyudutkan Alisha.

"Aku kan cuma belanja kebutuhan masak, Mas," ujar Alisha dengan suara yang agak tertahan, "lagian kamu juga ngasih aku gak banyak, lebih banyak kasih ke ibu kan?"

Farida dan Faisal langsung menatap Alisha dengan kesal. "Mbak, wajar dong kalau Mas Faisal kasih uang lebih banyak buat ibu? Ibu kan orangtuanya Mas Faisal, yang udah melahirkan dan merawat Mas Faisal," tegas Farida.

"Dengarin tuh yang dibilang sama Farida," timpal Faisal dengan suara yang agak meninggi. "Kamu emang gak bisa bersyukur," lanjutnya.

"Aku bukannya gak bersyukur, aku juga gak keberatan kamu kasih uang buat ibu, tapi setidaknya kamu jangan ngatain aku boros," sahut Alisha, suaranya tercekat. "Kamu kira nggak susah apa ngatur uang dari kamu yang cuma sedikit itu?" lanjutnya.

Ketegangan semakin terasa di ruang makan. Alisha bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruangan dengan langkah yang agak tergesa. Farida dan Faisal menatap kepergian Alisha dengan kesal, menyisakan ketegangan di ruang makan. Suasana pun terasa hening, Faisal menghela napas berat, sedangkan Farida masih terdiam, mencerna kejadian yang baru saja terjadi.

"Liat tuh kelakuan istri mas, nyolot banget kalo dikasih tau," komen Farida kesal.

"Mas juga udah males liat tingkah dia." Faisal hanya geleng kepala, merasa yang salah kali ini juga Alisha.

"Kenapa dulu mas nggak nikah sama Mbak Rahma aja sih? Kenapa harus sama Mbak Alisha?" gerutu Farida yang kemudian terus berputar dalam pikiran Faisal. Pertanyaan yang menumbuhkan penyesalan yang tak berkesudahan.

***

Farhan tengah larut dalam pekerjaannya sebagai desainer freelance di kamarnya. Di atas meja kerja, terhampar berbagai alat desain: pensil, kertas, dan laptop. Dia menyelami layar laptopnya yang dipenuhi dengan sketsa-skesa digital. Jarinya bergerak lincah di atas trackpad, menciptakan desain pakaian yang mencerminkan kreativitas dan gaya. Saat sedang serius, tiba-tiba terdengar ketukan pintu.

"Masuk aja," sahut Farhan tanpa menoleh.

Nur melangkah masuk dengan langkah lembut. "Kamu dari tadi ibu panggil buat makan, kenapa nggak keluar juga dari kamar?"

"Nanggung, Bu. Lagi serius ngerjain desain pesenan klien," jawab Farhan, tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptop.

"Jangan sampe telat makan, nanti malah sakit maag," ucap Nur sambil mengusap bahu Farhan dengan lembut.

"Iya, Bu. Abis ini aku makan."

Nur menghela napas dalam-dalam. "Kamu kapan sih, berhenti kerja kayak gini?"

"Ngapain berhenti? Kerjaan aku sekarang kan udah bagus, Bu," ucap Farhan santai.

"Tapi kan nggak jelas hasilnya, mending kamu nyari kerjaan tetap— kuliah lama tapi cuma kerja lepas gini. Mending cari yang gajinya stabil," saran Nur.

Farhan menghentikan sejenak aktivitasnya, menatap ibunya dan menjelaskan. "Pekerjaan aku ini juga cukup stabil kok, bu. Lagian ini passion aku, aku enjoy ngejalaninya."

"Tapi kamu kayak orang nggak kerja, Farhan. Masa di rumah terus, tetangga ngira kamu pengangguran," keluh Nur.

Farhan hela napas karena mengerti jika ibunya khawatir dengan pandangan orang. Tak ingin lebih banyak berdebat dengan ibunya, Farhan akhirnya mengangguk. "Besok aku kerja di luar deh, Bu. Nggak di kamar lagi," ucap Farhan kemudian bangkit dari duduknya, berjalan keluar untuk bersiap makan malam.

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang