Bab 16. Kecelakaan

157 6 0
                                    

Alisha berjalan cepat keluar dari pasar, memegang erat sekantong belanjaan yang baru saja dia dapatkan. Langkahnya tergesa-gesa, menyadari bahwa matahari sudah semakin tinggi. Sebelumnya, Alisha terlambat bangun hingga membuat Nur marah— terlebih saat wanita baya itu tahu jika persediaan bahan makanan di kulkas sudah habis. Dengan perasaan gelisah, Alisha bergegas pergi ke pasar untuk membeli persediaan makanan yang baru. Dia tidak ingin membuat Nur marah lagi, meski sepertinya belakangan ini wanita baya itu memang selalu kesal pada Alisha, bahkan ketika dia tidak melakukan kesalahan apa pun.

Alisha mempercepat langkahnya. Rumah seharusnya tidak terlalu jauh dari pasar. Namun, perjalanan pulang kali ini agak terganggu oleh keributan di tepi jalan. Orang-orang berkerumun di sekitar sedan hitam yang tampaknya baru saja mengalami kecelakaan. Alisha merasa iba melihat kondisi mobil yang sudah ringsek itu, terdampar di dekat pembatas jalan setelah tabrakan.

"Innalillahi," gumam Alisha, merasa sedih melihat keadaan mobil tersebut dan berharap pengemudinya tidak mengalami luka serius.

Para warga yang berkerumun di sekitar mobil sedang berusaha dengan sigap untuk menyelamatkan pengemudi, mereka berusaha keras untuk mengeluarkannya dari mobil yang ringsek tersebut.

Alisha sebenarnya berniat untuk segera pulang ke rumah setelah berbelanja, namun matanya tanpa sengaja tertuju pada seorang pemuda yang sedang diangkat keluar dari mobil yang ringsek itu. Pandangannya terbelalak saat menyadari sosok yang sangat dikenalnya itu, "Mas Dion?"

Sontak kantong belanjaan di tangannya tiba-tiba jatuh, membuat semua isi di dalamnya jatuh di trotoar. Botol minyak, sayuran, dan beberapa barang lainnya bergelimpangan di sekitarnya. Meskipun barang-barang itu berceceran, Alisha tidak mempedulikannya. Mata Alisha tertuju pada sosok Dion, pemuda yang sudah dikenalnya sejak kecil.

Dulu, ketika mendiang ibunya masih hidup— wanita itu bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah orangtua Dion. Alisha kerap diajak untuk bantu-bantu juga di rumah itu. Dion dan kedua orangtuanya telah banyak membantu Alisha selama ini, bahkan menanggung biaya sekolah dan kursus menjahitnya. Itulah mengapa Alisha tidak bisa mengabaikan Dion yang sekarang mengalami musibah.

Tubuhnya bergerak tanpa disadari, langkah-langkahnya melaju cepat menuju kerumunan orang yang berusaha menyelamatkan Dion. Ia merasa khawatir dan ingin memastikan bahwa Mas Dion baik-baik saja.

Tiba di kerumunan, Alisha segera menyibak tubuh beberapa orang yang menghalangi jalannya.

"Permisi! Permisi!" Dengan hati yang berdebar kencang, ia berusaha keras untuk melintasi orang-orang yang berkerumun di depannya. Langkahnya terhenti saat akhirnya bisa melihat dengan jelas sosok Dion yang kini sudah dibaringkan di trotoar. Alisha terpaku pada pemandangan mengerikan di hadapannya. Darah mengalir cukup banyak dari kepala pria tersebut, membuatnya merasa sangat shock.

Beberapa orang tampak sibuk memeriksa kondisinya, sambil berusaha keras menyadarkannya. Suasana di sekitar sangat kacau, dengan suara ribut dan kepanikan yang menyelimuti kerumunan orang yang berusaha membantu. Alisha merasa seperti terdampar di tengah kekacauan itu, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.

"Mas Dion." Tubuh Alisha gemetar saat ia bersimpuh di dekat pria itu, dan dengan tindakan refleks, ia mengguncang tubuh Dion, berusaha keras untuk menyadarkannya. "Mas... Mas Dion, kenapa bisa jadi kayak gini?"

Hati Alisha berdebar-debar saat melihat tubuh pria itu tampak pucat pasi. Namun, kelegaan menyelinap saat dia melihat gerakan perlahan dari tubuh pemuda itu. Matanya mulai terbuka dengan ekspresi yang tampak menahan rasa sakit.

"Mas Dion?" panggil Alisha.

Namun, harapan Alisha segera sirna saat Dion sama sekali tidak merespons panggilannya. Bahkan, yang terjadi malah sebaliknya. Pemuda itu mulai terbatuk, awalnya seperti terbatuk biasa, namun kemudian darah mulai keluar dari mulutnya, menambah ketegangan dan kepanikan di sekitarnya. Tak lama setelah batuk darah, Dion kembali kehilangan kesadarannya, membuat kepanikan Alisha semakin memuncak. "Mas? Mas Dion!!" Alisha terus memanggil nama Dion, seolah takut jika pemuda itu tidak membuka matanya lagi.

Salah satu warga yang berada di sekitar mereka bertanya, "Mbak kenal mas ini?"

Alisha mengangguk cepat, "Mas Dion ini anak majikan ibu saya dulu. Sebenarnya ada apa, Pak? Kenapa dia bisa kecelakaan gini?"

Warga itu menjawab dengan penuh penyesalan, "Kami juga kurang tau, Mbak. Tadi pas saya jalan, tiba-tiba liat mobil sedan hitam ngebut, terus nabrak pembatas jalan." Dia menarik nafas berat, "Kecelakaan tunggal ini, mbak."

Alisha merasa cemas melihat kondisi Dion yang terbaring tak berdaya.

"Kami udah hubungin ambulans, setelah ini mbak bisa dampingin korban ke rumah sakit, gak?" tanya warga itu.

Alisha menjawab tanpa ragu, "Iya, pak."

Setelah beberapa saat yang terasa seperti berabad-abad, akhirnya ambulans datang. Tim medis dengan cepat mengevakuasi Dion ke dalam ambulans, dan Alisha segera ikut masuk ke dalam mobil.

Di dalam ambulans yang mulai melaju dengan cepat, hati Alisha berdebar-debar. Suara sirine ambulans yang berdentang-dentang seolah memperkuat kegugupan di dalam hatinya. Kedua matanya tak lepas dari wajah pucat Dion yang dipenuhi cipratan darah. Kepalanya masih mengalirkan darah, dan matanya terpejam rapat seolah menahan rasa sakit.

Di sebelah mereka, para petugas medis dengan sigap melakukan prosedur pertolongan pertama. Mereka bergerak dengan teliti, membalut luka di kepala, menghubungkan alat-alat medis dan memberikan obat-obatan yang dibutuhkan.

Tiba di rumah sakit, Alisha berlari dengan langkah tergesa-gesa mengikuti tubuh Dion yang didorong dengan cepat oleh tim medis menuju pintu masuk IGD. Langkahnya terhenti mendadak ketika salah satu anggota tim medis menghentikannya dengan lembut. "Maaf, ibu. Sebaiknya keluarga pasien menunggu di luar," ucapnya sambil menahan lengan Alisha.

Dengan napas tersengal-sengal, Alisha terpaksa menghentikan langkahnya. Hatinya berdebar kencang, terpaku di tempat sementara tim medis membawa Dion masuk ke dalam ruang gawat darurat. Ia hanya bisa membiarkan pintu ruang IGD tertutup di hadapannya, memisahkan dirinya dari Dion yang segera ditangahi oleh para dokter.

Resah dan cemas, Alisha memandangi kaca partisi di sebelah pintu. Dia melihat dengan penuh ketegangan saat para perawat dan dokter dengan sigap bergerak di dalam ruangan, sibuk menyelamatkan Dion.

Alisha terlihat lesu saat dia duduk di kursi yang tersedia di ruang tunggu. Tatapan kosongnya melayang ke kejauhan, mencerminkan kecemasan yang memenuhi pikirannya. Saat itu, Alisha tiba-tiba teringat akan keluarga Dion.

Alisha segera meraih ponselnya dan mencari kontak Pak Damar yang ada di ponselnya. Namun, saat itu muncul laporan bahwa baterainya sudah hampir habis. Meskipun cemas, Alisha memutuskan untuk tetap mencoba menghubungi nomor tersebut.

Dengan hati yang berdebar, Alisha mengetuk tombol panggilan. Setelah beberapa saat menunggu, terdengar suara nada tunggu, yang akhirnya diikuti oleh sambungan panggilan.

"Halo? Alisha? Tumben kamu nelpon?" terdengar suara berat seorang pria di ujung sana.

"Halo, Pak Damar. Maaf, pak. Saya mau ngabarin, kalau Mas Dion mengalami kecelakaan. Sekarang sedang di rumah sakit Permata—"

Namun, sebelum Alisha bisa menyelesaikan kalimatnya, ponselnya tiba-tiba mati karena kehabisan daya. Alisha menatap layar mati ponselnya dengan perasaan kecewa. Dia menyadari bahwa dia harus segera menghubungi keluarganya sendiri di rumah. Dalam kegelisahan, Alisha menghela napas panjang, berpikir tentang belanjaannya yang entah berada di mana.

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang