Bab 31. Tawaran Dion

80 3 0
                                    

Setelah seharian bekerja di butik Cantika, waktu pulang pun tiba. Farhan mengemasi barang-barangnya, memasukkannya ke dalam tas. Farhan menyandang tasnya sambil menoleh ke meja Alisha yang terletak di seberang ruangan. "Udah waktunya pulang, mbak."

Alisha mengangguk, menanggapi dengan senyuman. Dia juga segera mengemasi barangnya. Dia mencabut kabel listrik mesin jahit untuk memastikan semuanya aman ketika ditinggal pulang. Setelahnya, Alisha dan Farhan keluar dari ruangan mereka.

Mereka berjalan di sekitar halaman butik, bergabung dengan beberapa karyawan lain yang juga akan pulang. Suasana terasa ringan dengan obrolan-bercanda yang terjadi di antara mereka. Kebanyakan bertanya pendapat Alisha tentang hari pertamanya bekerja di butik Cantika.

"Gimana tadi kerjanya, mbak? Lancar kan?" tanya Maya.

"Alhamdulillah, lancar kok. Kayaknya bakal betah kerja di sini," jawab Alisha. Maya tersenyum dan menegangguk. "Pasti betah lah, aku yang kerja sejak butik ini baru buka juga gak pernah tuh ada niatan buat resign, kak Cantika sama Mas Lian baik banget," terang Maya.

"Aku juga ngerasa gitu, Mas Lian sama Kak Cantika kayaknya nggak pernah memperlakukan karyawannya sebagai bawahan," sahut Alisha.

Farhan tersenyum mendengarnya, senang melihat Alisha begitu bersemangat membahas soal tempat kerja mereka.

Mereka melanjutkan langkah mereka ke arah parkiran di belakang bangunan, di mana motor mereka terparkir. Hanya Alisha yang berbeda arah, karena dia harus menunggu angkutan umum di halte depan butik.

"Sampai ketemu besok, ya," ucap Alisha sambil melambaikan tangan kepada rekan-rekan kerjanya.

Yang lain mengangguk sebagai tanda perpisahan dan melanjutkan langkah menuju parkiran. Sementara itu, Farhan masih memperhatikan Alisha. "Mbak balik naik apa?" tanyanya.

"Aku naik angkot," jawab Alisha.

"Gimana kalau bareng aku aja?" tawar Farhan.

Alisha ragu sejenak. "Ga usah Farhan, lagian aku mau ke rumah sakit dulu, mau jengukin mas Dion sebentar."

"Ya gapapa, aku anter ke rumah sakit."

"Gak usah, Farhan. Aku gak mau ngerepotin," tolak Alisha lagi.

"Gak apa-apa, mbak. Santai aja. Lagian lokasi rumah sakit juga gak jauh dari butik, kan? Sekalian bareng aku aja," usul Farhan.

Alisha terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan. Hingga akhirnya, Alisha mengangguk. "Iya deh, aku bareng kamu. Makasih sebelumnya."

Mereka berdua pun bersama-sama menuju tempat parkir. Setibanya di parkiran, Farhan segera membuka kunci motornya, sementara Alisha menunggu di sampingnya. Farhan membuka jok motornya, lalu mengambil helm cadangan yang dia simpan di bawah jok. Setelahnya Farhan memberikannya pada Alisha.

Mereka berdua mengenakan helm, dan tak lama motor pun meluncur menuju rumah sakit.

Beberapa saat kemudian motor Farhan tiba di halaman rumah sakit. Alisha turun dari motor, melepas helm, dan mengembalikannya pada pemuda itu.. "Makasih, Farhan," ucapnya dengan senyum.

"Sama-sama, mbak. Mau aku tungguin?" tawar Farhan lagi.

"Jangan, kamu langsung balik aja," tolak Alisha, merasa sudah tidak enak jika harus merepotkan Farhan lagi.

"Oke," kata Farhan, lalu menyalakan mesin motornya lagi. "Aku balik dulu, Mbak. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Alisha, sambil melambaikan tangan pada Farhan yang mulai melaju pergi. Setelah motor Farhan makin menjauh, Alisha langsung bergegas menuju pintu rumah sakit untuk menjenguk Dion.

Alisha tiba di depan ruangan Dion, lalu mengetuk pintunya.

"Masuk," terdengar suara dari dalam.

Alisha membuka pintu dan memasuki ruangan. "Assalamualaikum," sapa Alisha dengan lembut.

"Waalaikumsalam," balas Dion, yang seketika terbelalak kaget saat melihat Alisha. "Alisha?" Bibirnya tersenyum sumringah melihat kedatangan Alisha.

"Gimana keadaannya sekarang, Mas?" tanya Alisha.

"Udah lebih baik," jawab Dion.

Alisha lalu mendekat dan duduk di kursi samping ranjang. "Maaf aku baru sempet jengukin Mas Dion sekarang."

"Gapapa kok." Senyum Dion yang tulus tak bisa disembunyikan, saat matanya bertemu dengan Alisha, terpancar kehangatan yang sulit dijelaskan, seolah-olah ada getaran emosional yang terasa di udara.

"Udah lama kita nggak ketemu, aku bahkan gak tau sekarang kamu tinggal di mana, Lis," gumam Dion— berharap Alisha bersedia memberi informasi lebih banyak tentang dirinya.

"Belum lama ini aku pindah, Mas. Aku sekarang ngekos."

"Ngekos di mana?" tanya Dion lagi.

Alisha terdiam beberapa saat, seolah ragu untuk memberikan alamatnya untuk Dion—bukan apa-apa, Alisha hanya tak ingin Dion mengasihaninya karena dia tinggal di kosan kecil yang mungkin saja dianggapnya tidak layak.

Namun melihat ekspresi Dion yang seolah memohon, Alisha merasa sulit untuk menolak. Akhirnya, dengan ragu-ragu, dia memberikan alamat kosannya kepada Dion. Untuk beberapa saat, mereka terlibat percakapan ringan, seputar kesibukan Alisha belakangan ini. Dion juga takjup dan tak menyangka jika akhirnya Alisha bekerja di butik Cantika. Obrolan mereka awalnya mengalir, hingga tiba-tiba saja Dion membahas perihal perceraian Alisha lagi. "Soal perceraian kamu," ucapnya.

Tetapi segera disela oleh Alisha, "Mas, aku sebelumnya udah bilang, itu bukan gara-gara mas Dion, jadi mas Dion gak usah ngerasa bersalah."

"Gak bisa, aku terus kepikiran kamu," jawab Dion, mencoba menjelaskan perasaannya yang sulit disudahi. Dia merasa bertanggung jawab atas apa yang terjadi pada Alisha.

Alisha berusaha tersenyum meski hatinya terasa berat. "Gak usah begitu, Mas. Insya Allah aku baik-baik aja," ujarnya, mencoba meyakinkan Dion bahwa dia akan baik-baik saja meski dalam hatinya masih ada luka yang belum sembuh.

Dion terdiam beberapa saat, seolah ragu. "Lis... Kalo boleh, aku pengen nafkahin kamu," ujarnya dengan hati-hati.

Alisha kaget mendengar ucapan Dion. "Kenapa, Mas?" tanyanya heran.

"Nafkahin kamu," ulang Dion dengan mantap.

Alisha terdiam canggung, mencoba memahami maksud Dion. "Mas ngomong kayak gitu karena ngerasa bersalah, kan? Tolong jangan seperti itu, aku jadi ngerasa gak enak juga."

"Lis, aku sungguh-sungguh pengen membantu kamu, sama calon anak kamu."

Alisha tetap menolak halus. "Mas, aku menghargai niat baikmu, tapi aku bisa mengurus bayi ini sendiri. Aku akan mencari cara untuk memastikan kami baik-baik saja."

Dion merasa sedih melihat keteguhan hati Alisha. "Alisha, aku minta maaf kalau kamu ngerasa terhina karena ucapanku sebelumnya, tapi asal kamu tahu— aku berani bilang kayak gitu, bukan semata-mata karena aku kasihan sama kamu..."

Dion menggantung kalimatnya, kedua matanya menatap Alisha dengan lekat. Alisha pun balas menatap Dion, seolah penasaran dengan ucapan Dion setelahnya. "Lis, sejujurnya, aku memiliki perasaan buat kamu sejak dulu," ucap Dion dengan hati-hati, mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam. "Tawaranku untuk membantumu bukan hanya karena rasa kasihan, tetapi juga karena aku sama kamu, lebih dari sekadar teman."

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang