Bab 10. Ke Bidan Tanpa Faisal

277 9 0
                                    

Alisha merasa napasnya tersangkut di tenggorokannya saat Faisal menatapnya dengan mata penuh kemarahan.

"Berani kamu ngomong kayak gitu sama suami kamu? Istri durhaka!" bentak Faisal dengan nada tinggi.

Alisha menelan ludahnya, terkejut mendengar kata-kata kasar yang terlontar dari bibir Faisal. Kali ini, dia tidak bisa diam saja.

"Kamu nyebut aku istri durhaka tanpa nyadar kalo kamu itu suami dzolim," serunya dengan suara yang bergetar, mencoba menahan emosi yang membara di dalam dirinya. "Selama ini aku ngalah, tapi kamu malah nginjek-injek aku terus."

Sebelum Alisha sempat menyelesaikan ucapannya, sebuah tamparan keras mendarat di wajahnya dengan kekuatan yang membuatnya terhuyung ke belakang. Dia merasakan rasa sakit dan panas di pipinya, tapi yang lebih dalam dari itu adalah kekecewaan yang merayapi hatinya.

Rasa sakit fisik mungkin hanya dirasakan di permukaan, namun kekecewaannya telah meremukkan sesuatu di balik dadanya. Selama ini Faisal terus menyakitinya dengan ucapannya yang kejam, tapi kali ini pria itu juga menggunakan tangannya.

Alisha merasakan pipinya yang masih terasa panas akibat tamparan yang baru saja dia terima dari Faisal. Matanya terus menatap kecewa pada suaminya.

"Kamu sekarang bahkan berani nampar aku, Mas?" desis Alisha.

"Aku juga nggak akan nampar kamu kalau kamu nggak keterlaluan!" tegas Faisal tanpa rasa sesal terpancar di wajahnya. Ucapannya terdengar seperti sebuah justifikasi atas perbuatannya, seolah-olah apa yang baru saja dia lakukan adalah tindakan yang wajar.

Airmata Alisha mengalir begitu deras, menyirami pipinya yang masih terasa terbakar. Perasaannya campur aduk, marah, kecewa, dan sakit hati bergelut di dalam dirinya. Alisha merasa seperti dihancurkan oleh sikap dan perkataan Faisal.

Usai membuat istrinya menangis, Faisal bukannya merasa bersalah. Sebaliknya, lelaki itu malah mencibir dengan sikap acuh tak acuh.

"Udah gak usah nangis! Harusnya kamu renungin kesalahan kamu, gak usah ngerasa paling tersakiti, lebay amat!" ucap Faisal sembari melengos pergi, tanpa sedikit pun mempedulikan perasaan Alisha yang hancur berantakan.

Alisha menatap kepergian Faisal dengan airmata yang masih menggenangi wajahnya. Dalam benaknya, ia merenungkan betapa berbedanya karakter Faisal dengan apa yang pernah ia bayangkan. Jika saja Alisha mengetahui karakter sejati Faisal sebelumnya, mungkin ia tak akan pernah menerima tawaran pernikahan dari lelaki itu.

Sebelumnya, Alisha tidak pernah berpacaran dengan Faisal. Mereka dikenalkan melalui seorang kenalan. Alisha terbuai dengan penjelasan yang menyebut Faisal sebagai seorang guru agama yang mengajar di salah satu sekolah menengah atas. Faisal dikenal sangat alim—jadi sudah bisa dipastikan bisa menjadi imam keluarga yang baik.

Setelah melewati proses taaruf singkat, akhirnya Alisha mantap menikah dengan Faisal. Namun, kenyataannya mengecewakan. Alisha menyadari kesalahannya. Terlihat alim ternyata tak menjamin seseorang bisa menjadi imam keluarga yang baik. Terlebih lagi, Faisal hanya memprioritaskan ego dan keluarganya sendiri. Baginya, istri hanyalah pelengkap status, bahkan dipandang sebagai pelayan bagi keluarganya. Semua itu dianggapnya sebagai hal yang wajar, tanpa sedikit pun memperhitungkan perasaan dan martabat Alisha sebagai pasangan hidupnya.

Setelah pertengkaran hebat itu, Alisha merasa sangat sakit hati pada Faisal. Hal yang lebih menyakitkan lagi, ketika Alisha minta diantar ke bidan untuk melakukan pemeriksaan kandungan, lelaki yang masih kesal itu justru menolak dan meminta Alisha pergi sendiri. Meski kecewa, Alisha tetap pergi sendiri ke tempat bidan untuk melakukan pemeriksaan rutin demi menjaga kesehatannya dan bayinya.

Matahari menyengat saat Alisha menunggu angkutan umum menuju klinik Bidan Rose. Meskipun tempat bidan Rose tidak begitu jauh dari rumahnya, kondisi Alisha yang mudah lelah membuatnya memilih untuk menunggu angkutan saja.

Namun, hingga beberapa saat berlalu, tidak ada satu pun angkutan yang lewat. Alisha menghela napas panjang, lalu meraih ponselnya, berniat memesan ojek online. Namun, di tengah kegelisahan, ia sadar bahwa uang yang dimilikinya sangat terbatas. Jika ia naik ojek, uangnya tidak akan cukup untuk membayar biaya pemeriksaan di klinik Bidan Rose. Kegalauan Alisha semakin bertambah saat menyadari bahwa selama ini Faisal tidak pernah memberinya uang yang cukup.

Dengan perasaan gelisah, Alisha memutuskan untuk duduk di kursi yang ada di pinggir jalan, sambil terus menunggu adanya angkutan yang lewat. Rasa cemas dan ketidakpastian akan keadaannya yang terus membayangi membuatnya semakin gelisah.

Farhan yang sedang mengendarai motornya, tanpa sengaja melihat Alisha duduk sendiri di tepi jalan dengan wajah kemerahan karena terkena panasnya matahari, menandakan jika wanita itu sudah lama menunggu di sana.

Tak tega melihatnya, Farhan langsung melajukan motornya mendekati Alisha. "Mbak? Ngapain duduk di sini? Panas banget ini," ujarnya tanpa turun dari motor.

"Mbak mau pergi periksa ke bidan, nunggu angkutan lama banget," jelasnya.

"Kenapa nggak minta anterin mas Faisal sih?" tanya Farhan heran, menyadari bahwa Alisha seharusnya tidak perlu pergi sendiri.

Alisha hanya diam, tak ingin membuat Faisal terlihat buruk di depan adiknya. Meski masih merasa marah pada Faisal, ia tidak ingin membuka aibnya di depan Farhan.

"Mbak? Kok malah bengong?" tegur Farhan karena Alisha hanya diam saja.

Alisha tersadar dan berusaha tersenyum dengan canggung. "Iya, mas Faisal masih ada keperluan, makanya mbak pergi sendiri," jawabnya, mencoba menjelaskan.

"Udah nunggu lama di sini?" tanya Farhan lagi.

Alisha menggeleng sebagai jawaban. "Lima belas menitan lah."

"Lama banget itu, mending aku aja deh yang nganter. Daripada mbak kering nunggu angkutan di sini," tawar Farhan dengan ramah.

Alisha terdiam sejenak, merasa ragu menerima tawaran tersebut. Faisal pasti akan kesal jika tahu Alisha pergi ke bidan diantar oleh Farhan. Namun, di sisi lain, Alisha juga tidak tahu harus menunggu angkutan sampai kapan.

Dengan pertimbangan itu, Alisha memutuskan untuk bersedia diantar oleh Farhan, mengingat Faisal juga menolak untuk mengantarnya. "Makasih, Farhan. Maaf, mbak jadi ngerepotin kamu," ucap Alisha sambil bangkit dari posisi duduknya.

Farhan tersenyum ramah. "Nggak repot sama sekali, Mbak," jawabnya sambil turun dari motornya. Farhan membuka jok motornya untuk mengambil helm cadangan yang tersimpan di bawahnya.

Setelah mendapat helmnya, Alisha segera memakainya. Farhan kemudian menutup jok motornya dan duduk di belakang kemudi. Alisha segera naik ke boncengan Farhan, lalu duduk miring di belakang pemuda itu. Dengan hati-hati, Alisha hanya berpegang pada pegangan motor. Dia berusaha menjaga jarak, tidak ingin melakukan kontak fisik dengan Farhan.

Farhan pun memahami situasi itu, sehingga dia sengaja melajukan motornya perlahan agar Alisha tidak kesulitan menjaga keseimbangan.

Selama perjalanan menuju tempat bidan Rose, Farhan mengerutkan keningnya dengan kesal. "Lagian, mas Faisal ada keperluan apa sih, Mbak? Sampe-sampe nggak nganter kamu ke bidan? Keperluan apa yang lebih penting dari calon anaknya?" ujarnya dengan nada kesal.

Alisha hanya tersenyum getir, tak mampu menjawab pertanyaan itu.

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang