Lian melangkah di lorong rumah sakit sambil mendorong stroller. Di dalam stroller, Cio tampak riang mengoceh, mengiringi setiap langkah ayahnya. "Udah hampir jam delapan, kamu kenapa masih semangat banget? Biasanya udah ngantuk?" gumam Lian, heran melihat Cio masih segar padahal hampir masuk jam tidurnya.
Seolah memahami kata-kata ayahnya, Cio terus mengoceh dengan riang, seakan-akan mengajak Lian untuk berbagi kegembiraan. Lian pun terus menyahuti setiap suara yang keluar dari bibir kecil putra bungsunya.
Saat mereka tiba di depan ruangan Dion, kebetulan Wina dan Damar baru keluar dari ruangan tersebut. Mereka tampak terkejut melihat kedatangan Lian.
"Lian, kamu kok balik lagi?" tanya Damar heran.
"Iya, om. Sebenernya saya lagi nemenin Cantika belanja kebutuhan anak-anak, di supermarket sebelah. Bosen saya nunggu lama, makanya mending ke sini dulu nengokin Dion sebentar," jelas Lian. "Dionnya belum tidur kan?"
"Gak tidur sama sekali dia dari tadi siang. Makasih ya, kamu selalu nyempetin buat jagain Dion," ucap Wina.
"Sama-sama tante, Dion kan bukan orang lain buat saya," jawab Lian dengan senyum hangat.
Wina langsung beralih perhatian pada baby Cio. Dengan penuh kelembutan, dia menggoda bayi gemuk tersebut. "Halo, sayang... Ikut nenek yuk?"
Wina mengulurkan tangannya, ingin menggendong Cio, tapi bayi itu segera menggeleng. "No... No..."
Wina dan Damar tertawa melihat respons lucu dari Cio. Meski bicaranya masih tidak jelas, tetapi tingkahnya sangat menggemaskan.
"Yaudah, kamu masuk sana," kata Wina mempersilakan. "Om sama Tante mau pulang dulu, soalnya udah capek."
"Oke tante. Hati-hati di jalan," ucap Lian dengan lembut saat Wina dan Damar bersiap untuk pergi.
Wina dan Damar pun melangkah pergi, bergerak menjauh di lorong rumah sakit.
Sementara itu, Lian mendorong stroller masuk ke ruangan Dion. "Ong..." sapa Cio semangat saat memasuki ruangan.
Dion yang awalnya berbaring, langsung bangun dan duduk di atas ranjangnya begitu mendengar suara imut itu. Tubuhnya sudah jauh lebih baik sekarang. "Halo, Cio," sambutnya dengan senyum hangat.
"Lo kok balik lagi ke sini? Gabut banget lo?" tanya Dion. Lian mendelik. "Jangan bikin gue ngerasa jadi mokondo yang nggak punya kegiatan, ya!"
"Gak gitu, biasanya kan lo rempong terus. Makanya gue ngerasa gak enak kalo lo yang nemenin gue di rumah sakit," jelas Dion.
"Lo bisa ngerasa gak enak sama gue ternyata?" sindir Lian. Dion terkekeh menanggapi sindiran itu.
Lian memberikan mainan teether pada Cio, dan bayi itu pun spontan mengigitinya. Memastikan bayi itu anteng dengan kesibukannya, Lian mendekat pada Dion dan duduk di kursi yang ada di samping ranjang.
"Katanya dari tadi siang lo gak tidur? Jangan-jangan..." Ucapan Lian terpotong ketika Dion segera menyela.
"Iya, sejak lo nelpon tadi, gue jadi gak bisa tenang. Gue jadi kepikiran Alisha," kata Dion dengan ekspresi cemas. Sebelumnya Lian memang sudah menceritakan apa yang dialami oleh Alisha pada Dion.
"Harusnya gue gak kasih tau lo ya," sesal Lian.
"Gue jadi ngerasa bersalah sama Alisha," tambah Dion.
"Bukan salah lo, dong. Lo cuma korban kecelakaan yang ditolong sama Alisha," ucap Lian sambil meraih apel di meja samping ranjang Dion, lalu mengupasnya.
"Tadi gue sempet hubungin Alisha," kata Dion.
"Terus?" Lian penasaran.
"Gue nanya dikit soal perceraian dia, tapi Alisha kayaknya gak mau bahas itu, malah dia yang nyecar keadaan gue sekarang gimana," jelas Dion.
"Dia emang perempuan baik," komentar Lian. "Mungkin dia juga berpikiran hal yang sama, nggak mau lo ngerasa nggak enak sama dia."
"Iya, itu yang bikin gue makin ngerasa bersalah sama dia. Kalo aja waktu itu dia nggak milih nolongin sampe nungguin gue di rumah sakit, mungkin dia gak akan cerai," sesal Dion.
"Udah takdir, mungkin kelak jodohnya Alisha lebih baik dari suami dia sebelumnya, yang dengan gampangnya buang dia, padahal lagi hamil," kata Lian.
Dion termenung, merenungkan kata-kata bijak yang baru saja didengarnya dari Lian.
Sementara itu, Lian selesai mengupas apelnya. Dion berniat menerima apel yang telah dikupas itu, tapi Lian malah bangkit dan melangkah mendekati stroller Cio. Dengan lembut, ia memberikan sepotong apel pada si bayi. Cio segera melepaskan mainan teether di tangannya, lalu menerima apel itu dengan senang, si kecil itu menggigitnya dengan penuh semangat, meski hanya dengan dua gigi atas dan dua gigi bawah yang baru saja tumbuh.
"Enak sayang?" Tanya Lian dengan senyum.
Dion merengut bete. "Kirain ngupasin gue."
"Iya ngupasin elo, gue bagi Cio sedikit doang," kata Lian sambil mendekat pada Dion dan memberikan sisa apel itu padanya.
"Gosah, udah gak mood gue," sahut Dion, ekspresinya tetap murung.
Lian tertawa, "Apaan sih lo? Ngambek kayak cewek. Kalo gak mau, gue makan sendiri aja."
Dion nyengir lalu merebut apel dari tangan Lian. "Thanks."
"Tadi berlagak nolak? Huu..." ledek Lian.
Dion mulai memakan apelnya, meski sebenarnya dia tak berselera. "Gue pengen ketemu sama Alisha," katanya.
Lian menatap Dion dengan penuh perhatian. "Fokus dulu sama pemulihan lo," katanya sambil kembali duduk di kursi, mengambil apel dan mengupasnya, kali ini untuk dirinya sendiri. "Lagian lo aneh, biasanya lo orangnya acuh tak acuh, bisa cuek di segala situasi. Tapi kali ini kenapa lo gak bisa kayak biasanya?"
"Gue gak bisa cuek kalo sama Alisha, Lian," ungkap Dion, suaranya rendah. "Dulu nyokap Alisha yang ngasuh gue dari kecil, gue juga tumbuh bareng Alisha, karena nyokapnya selalu bawa dia ke rumah gue."
"Berarti lo akrab banget sama dia?" Tanya Lian.
"Ya, cukup deket. Tapi sejak gue kuliah, kami mulai sibuk masing-masing. Alisha gak lanjut kuliah, karena dia keterima kerja di butik yang ada di luar kota. Kami jarang ketemu, tahu-tahu denger kabar kalo dia mau nikah."
Pandangan Dion terlempar ke arah jendela yang tirainya masih terbuka, tatapannya menerawang, memerhatikan langit gelap di luar sana. Lian menyadari perubahan ekspresi wajah Dion yang kini terlihat sedih.
Lian mengernyitkan keningnya, mencoba memahami perasaan Dion. "Muka lo jadi berubah sedih gitu? Jangan-jangan, dulu lo suka sama Alisha?"
Dion tidak menjawab, tapi tatapannya mengisyaratkan bahwa Lian menebak dengan benar. Perasaan yang sulit untuk diungkapkan itu muncul kembali dalam ingatannya.
"Jadi ini alasan dulu lo gak mau dijodohin sama Cantika?" Tebak Lian.
Dion masih tak menjawab. Lian ingin mengejar lebih jauh, tapi tiba-tiba baby Cio merengek. Lian menoleh ke arah bayi itu. "Kenapa sayang?"
Mata lesu bayi itu memberi petunjuk pada Lian bahwa Cio mulai mengantuk. Tanpa ragu, Lian meraih tubuh mungil Cio, menggendongnya lembut, dan mulai menimang-nimang sambil bernyanyi pelan.
Dion tersenyum melihat Lian berinteraksi dengan Cio. Meskipun tak diungkapkan secara langsung, ia merasa lega karena Cio telah secara tidak langsung menyelamatkannya dari cecaran Lian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Mantan Kakak Ipar
RomansaAlisha mengira jika dia menikah dengan pria yang agamis, maka kehidupan rumah tangganya akan harmonis. Namun tampilan seseorang memang bisa menipu, Faisal Rizqi yang dikenal sebagai guru agama yang sholeh, ternyata pria yang hanya pandai mengaji, na...