Bab 12. Wanita Lain

193 12 0
                                    

"Aku ada urusan!" balas Faisal sekenanya.

"Iya, aku tadi kan tanya urusan apa yang lebih penting dari nganterin istri kamu ke bidan buat periksa kandungan?!" sindir Farhan, lalu dia menoleh pada Nur. "Ibu tahu, minggu kemarin Mas Faisal ngapain?"

Nur hanya diam, mengingat saat itu Faisal memang berada di rumah tanpa kesibukan apapun.

"Minggu kemarin aku sempet liat Mas sebelum aku pergi ke minimarket, kayaknya Mas gak ngapa-ngapain kan? Makanya aku heran, pas balik dari minimarket malah jetemu mbak Alisha duduk sendirian nunggu angkot. Kenapa mbak mbak Alisha dibiarin pergi sendiri? Panas-panasan lagi," lanjut Farhan, merasa semakin kesal. "Terus sekarang aku yang salah, karena nganter mbak Alisha?"

"Terus kamu mau nyalahin siapa kalau sekarang kamu digosipin orang sekampung? Mau nyalahin aku, iya?!" bentak Faisal.

"Aku nggak nyalahin kamu, Mas! Aku cuma minta pengertian kamu, biar nggak terus-terusan nyalahin aku atau pun mbak Alisha," sahut Farhan menahan geram. "Satu lagi, aku harap kamu bisa lebih pengertian sama istri kamu, wanita hamil itu harusnya dikasih lebih banyak perhatian."

"Gak usah sok nasihatin! Kamu sendiri belum nikah, kamu belum tau susahnya jadi suami! Apalagi kalo istrinya banyak tingkah!" bentak Faisal yang seketika membuat Alisha terbelalak shock. Banyak tingkah apa maksudnya? Alisha tak habis pikir dengan pola pikir Faisal yang terus saja menganggapnya bersalah dalam setiap situasi.

Farhan pun tak mengerti maksud ucapan Faisal

"Mas, kamu ngomong apa barusan? Maksud kamu aku banyak tingkah?" Alisha berdiri dari duduknya, tak terima dengan ucapan suaminya barusan.

"Gak usah baper, aku gak bilang gitu," Faisal mengelak. Namun Alisha tak puas dengan jawaban itu.

Farhan tersenyum sarkas sembari sembari menatap Faisal dengan tatapan tak habis pikir. "Dahlah, emang percuma ngomong sama kamu. Gak pernah mau dianggap salah— orang kayak kamu nggak bakal bisa introspeksi."

Situasi semakin tegang, Farhan dan Faisal kini saling pandang tajam, seolah keduanya bisa saja saling baku hantam jika dibiarkan. Alisha merasa gelisah, merasakan situasi yang makin memanas.

Nur berusaha menenangkan situasi, mencoba meredakan emosi mereka. "Ini kenapa masalahnya jadi melebar kemana-mana sih? Tadi kan kita cuma bahas masalah rumor Farhan sama Alisha, dan masalahnya udah clear, yang terjadi itu cuma salah paham," ucap Nur, mencoba mengalihkan perhatian Farhan dan Faisal.

Namun, baik Farhan dan Faisal masih bersitatap tegang, seolah urusan mereka masih belum bisa diakhiri begitu saja meskipun Nur berusaha meredakan situasi.

"Udah ya, gak usah diterusin. Ibu mau urusannya selesai sampai di sini!" titah Nur, lalu menarik Farhan. "Farhan, mending kamu anterin ibu."

"Kemana?" tanya Farhan, meskipun sebenarnya dia tahu Nur hanya ingin menjauhkannya dari Faisal agar tidak terjadi perkelahian lebih lanjut di antara mereka.

"Udah, ikut aja, " jawab Nur, lalu dia pun pamit pada Faisal dan Alisha. "Ibu sama Farhan pergi dulu."

Setelah kepergian Farhan dan Nur, Faisal menatap tegas pada Alisha. Alisha merasa kesal ditatap seperti itu.

"Kenapa kamu liat aku kayak gitu? Kamu juga mau curiga sama aku?" tanya Alisha dengan nada kesal, ia masih tersinggung dengan ucapan Faisal sebelumnya.

"Lain kali, kamu tolak aja kalo Farhan mau nganter kamu," ucap Faisal dengan tegas.

"Aku juga gak akan mau dianter sama Farhan kalau kamu sendiri mau nganter aku, Mas!" tegas Alisha, sebelum akhirnya pergi meninggalkan Faisal begitu saja.

Sisa ketegangan masih terasa di udara, Faisal mendengus kesal karena sikap Alisha yang menurutnya semakin berani dan selalu membangkang itu. Saat perasaannya masih dipenuhi kekesalan, tiba-tiba terdengar suara salam seorang perempuan, "Assalamualaikum..."

Faisal pun segera berjalan ke depan. Setelah membuka pintu, dia melihat Rahma— rekan sesama guru di sekolah tempatnya mengajar sedang berdiri di depan sambil mendekap map cokelat dan menenteng kantong plastik. Faisal nyaris saja tidak mengenali perempuan tersebut, karena saat ini wanita tersebut terlihat casual dengan setelan tunik dan celana panjang berwarna cokelat pastel. Faisal begitu terpesona melihat wajah cantik Rahma meski hanya dihias make up tipis.

"Assalamualaikum," ucap Rahma lagi, karena sejak membuka pintu Faisal hanya termenung sambil menatapnya tanpa berkata apa-apa.

"Wa— waalaikumsalam," sahut Faisal. "Maaf, tadi saya agak pangling, saya kira siapa, ternyata bu Rahma," sahut Faisal.

"Kok bisa pangling sih, Pak? Lagian kita kan nggak ketemu pas week end aja," ucap Rahma sambil tersenyum, membuat lesung di kedua pipinya terlihat jelas— dan Faisal makin merasa jika senyuman itu membuatnya makin manis.

"Soalnya bu Rahma kalau pakai setelan casual gini, emang jauh lebih cantik. Saya kira Zaskia Mecca tadi," canda Faisal, membuat Rahma tersenyum malu. "Pak Faisal bisa aja."

"Maaf, Bu Rahma ada urusan apa?"

Rahma lalu memberikan map cokelat yang sejak tadi didekapnya pada Faisal. "Ini pak, ada titipan dari pak Kepala Sekolah. Ini list murid bermasalah. Di harapkan mulai hari ini, masing-masing wali kelas mulai nyicil buat datangin rumah orangtua mereka, pak. Sebenernya tadi pak Kepala Sekolah pengen ketemu langsung sama Pak Faisal, tapi ternyata tadi bapak udah pulang duluan. Makanya saya yang antar ke sini."

"Jadi ngerepotin bu Rahma nih," gumam Faisal tidak enak hati, lalu membuka map cokelat untuk melihat isinya. "Banyak juga ini list-nya. Murid dari kelas ibu ada yang masuk juga, Bu?" tanya Faisal.

"Banyak kok, pak," jawab Rahma sambil hela napas.

"Murid jaman sekarang banyak yang probelmatik ya, bu." Faisal geleng kepala, kemudian dia baru teringat sesuatu. "Sampai lupa saya persilakan masuk, mari bu... jangan berdiri di teras mulu."

Rahma tampak celingak celinguk, tidak enak hati. "Jangan, pak. Saya nggak enak kalau diliat sama istri pak Faisal."

"Kenapa ngerasa nggak enak segala sih, Bu? Lagian kita kan cuma rekan kerja, ibu datang ke sini juga karena ada urusan sama kerjaan, udah ayo masuk." Faisal meyakinkan dengan ramah.

Rahma akhirnya mengangguk, lalu masuk bersama Faisal. "Oh ya, Pak. Tadi saya bikin kue bolu, jadinya agak banyak. Saya bawain sekalian buat keluarga pak Faisal." Rahma menyodorkan kantong plastik yang dibawanya pada Faisal.

Faisal kaget, tapi menerimanya dengan senang hati. "Masya Allah, makasih banyak ya, Bu. Jadi ngerasa makin ngerepotin nih, udah bawain saya catatan list siswa bermasalah, pake dibawain bolu segala."

"Sama sekali nggak ngerepotin, Pak. Saya kan emang hobi bikin-bikin kue gitu. Masalahnya saya cuma tinggal berdua sama bapak, jadi daripada nggak habis, mending saya bagi sama Pak Faisal— alhamdulillah kalau keluarga bapak juga suka."

"Sekali lagi makasih ya, Bu," ucap Faisal.

Alisha yang mendengar suara pembicaraan dari arah luar membuka pintu kamarnya, dia mengintip ke arah ruang tamu karena penasaran dengan siapa yang datang. Hatinya berdebar kencang saat dia melihat perempuan cantik yang sedang berbicara dengan suaminya.

Tiba-tiba, perasaan kecewa melanda hati Alisha begitu dia melihat tatapan Faisal yang ramah dan tutur bahasanya yang lembut saat berinteraksi dengan wanita lain. Sedangkan saat bicara padanya, Faisal terus menunjukkan wajah masam dan ucapan yang selalu tajam.

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang