Bab 33. Harusnya Jangan Nekad!

83 2 0
                                    

Beberapa preman itu terus maju, seolah-olah akan menyerang Alisha juga, mengancamnya dengan tatapan yang ganas. Namun, tiba-tiba terdengar suara tegas dari salah satu preman yang berada di belakang.

"Cukup!" serunya dengan lantang.

Para preman lainnya menoleh ke arah preman yang berseru tadi. Pria tegap dengan sekujur tato di tubuhnya melangkah maju mendekati mereka.

"Kita mungkin preman, tapi harusnya kita tidak menyentuh wanita apalagi yang sedang hamil begitu. Kita cabut sekarang," ujarnya dengan suara yang berwibawa.

Namun, salah satu dari preman yang lain sempat memprotes, "Tapi, bos..."

Pemimpin mereka, yang disebut sebagai bos, menatap tajam preman yang protes. Dalam sekejap, preman itu mengangguk patuh.

"Oke, bos. Kita cabut," ucapnya singkat.

Para preman itu pun akhirnya meninggalkan tempat itu, meninggalkan Alisha dan Farhan yang masih terbaring lemas di tanah. Sesak lega terasa di dadanya saat mereka pergi, tapi Alisha masih gemetar ketakutan.

Setelah para preman pergi, Alisha masih terdiam dalam keadaan gemetar. Sementara Farhan mencoba bangkit dengan susah payah. Dengan tatapan khawatir, Farhan memerhatikan Alisha. "Mbak, kamu gapapa?"

Perhatian Alisha teralih pada Farhan, perasaannya masih campur aduk. Namun dia terlihat kesal dan juga khawatir saat menjawab pertanyaan Farhan. "Seharusnya kamu tanya sama diri sendiri, Farhan. Coba liat kamu, luka-luka kayak gini."

Farhan tersenyum lembut, mencoba menenangkan Alisha, "Tenang aja, Mbak. Ini cuma luka kecil. Yang penting kamu baik-baik saja."

Alisha menggeleng pelan, masih merasa cemas. "Luka kecil gimana? Kamu babak belur."

Farhan tersenyum, terharu dengan perhatian Alisha yang terasa begitu tulus. Alisha mengernyit heran, melihat Farhan yang malah bengong sambil tersenyum.

"Kenapa kamu malah senyum-senyum sih, Farhan? Aku aja masih gemetaran gara-gara liat kamu berantem tadi." Alisha meremas remas tangannya sendiri, berusaha menenangkan dirinya sendiri.

"Maaf ya, Mbak. Bikin mbak khawatir sampe gemetaran. Tapi aku makasih banget, mbak udah nolongin aku tadi. Kalo mbak nggak ada, mungkin mereka gak bakalan pergi." Farhan menghela napas panjang, teringat saat Alisha menerobos kerumunan dan memeluk tubuhnya demi menjadi tameng dari serangan para preman.

Meski di dalam hatinya merasa sangat terharu, namun Farhan masih ketakutan jika teringat hal itu. Jika sampai terjadi sesuatu pada Alisha dan bayinya, Farhan tentu tak bisa memaafkan dirinya sendiri. "Tapi lain kali, mbak Alisha jangan nekat kayak gitu— nyadar gak sih tadi kamu ngebahayain diri sendiri? Aku hampir hilang akal tadi tuh..."

"Kalo pun waktu bisa diputar lagi, aku bakal tetep ngelakuin hal yang sama, Farhan. Mana bisa aku ngebiarin kamu jadi bulan-bulanan para preman itu?" tegas Alisha.

Farhan merasakan kehangatan menyelimuti dadanya, dia terdiam sejenak seolah mencerna ucapan Alisha barusan— sekaligus mengingat tindakan berani mantan kakak iparnya itu sebelumnya. Farhan terenyuh karena kepedulian Alisha yang begitu tulus. Perasaan terima kasih dan kagum pada Alisha mengalir di dalam dirinya, dan di antara semua itu, ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang menggelitik di hatinya—sebuah perasaan yang baru, namun begitu kuat dan sulit dijelaskan.

"Farhan? Kenapa? Kamu ngerasa sakit banget? Aku anter ke rumah sakit ya?" tawar Alisha yang cemas malihat Farhan terus diam. Farhan seolah baru tersadar dari lamunannya, buru-buru menggeleng. "Gak usah mbak. Gapapa kok."

"Yakin gapapa?" tanya Alisha memastikan. Farhan mengangguk. Alisha masih terus memerhatikan Farhan. "Sebenarnya apa yang terjadi, Farhan? Kenapa kamu bisa sampai berurusan sama para preman itu?" tanya Alisha.

Farhan menghela napas dan mulai menceritakan insiden itu. "Tadi aku berhenti di pinggir jalan, niatnya pengen beli nasi goreng di warung depan. Tapi tiba-tiba ada beberapa preman yang nyamperin aku, mereka mau ngerampok aku, Mbak," jelas Farhan. Alisha mendengarkan dengan seksama. "Tapi aku langsung ngelawan mereka, makanya mereka marah sampe nyudutin aku di gang ini," lanjut Farhan dengan nada kesal.

"Kalo udah kedesak, harusnya tadi kamu kasih mereka beberapa uang, dan suruh mereka pergi— kamu gak perlu nekad ngadepin mereka sendiri," saran Alisha. Farhan mendengus tak terima.

"Ini juga buat harga diri laki-laki, Mbak. Mendingan aku ribut daripada jadi pengecut."

Alisha geleng kepala melihat Farhan yang keras kepala. "Batu banget kamu! Lain kali harus inget kalau keselamatan kamu itu harus jadi yang paling utama."

Farhan nyengir mendengar ucapan Alisha, "Mbak harusnya ngomong kayak gitu sama diri sendiri."

Alisha tersenyum mendengar sindiran Farhan. "Pokoknya kedepannya harus lebih hati-hati."

Farhan mengangguk sambil tersenyum meski terlihat lemas. "Sekarang kita balik yuk, aku anter mbak ke kosan dulu."

Alisha ragu, "Gak usah, Farhan. Kamu lagi luka-luka gini, harusnya kamu ke rumah sakit aja."

"Aku kan udah bilang gapapa. Aku masih kuat nganter kamu kok. Lagian aku gak bakal bisa tenang kalo kamu pulang sendiri," kata Farhan. "Yuk, aku anter."

Alisha tak bisa menolak lagi. Mereka akhirnya berjalan menuju tempat parkir di mana motor Farhan terparkir. Setiap langkah yang diambil Farhan terasa berat, kadang-kadang terdengar desahan kesakitan. Alisha yang berjalan di sampingnya jadi khawatir.

"Farhan, kamu kesakitan?" tanya Alisha.

Farhan mencoba tersenyum, "Cuma sakit sedikit."

"Gak usah keras kepala lagi deh, mending ke rumah sakit ya? Mumpung masih deket sama rumah sakit," usul Alisha.

Farhan menggeleng mantap, "Gak usah, Mbak. Ribet. Nanti pasti lama di rumah sakit. Lebih baik aku pulang aja. Lagian, aku cuma butuh istirahat."

Meskipun ragu, Alisha tak bisa memaksa Farhan.

Mereka akhirnya tiba di tempat motor Farhan diparkir. Farhan segera membuka jok motor untuk meraih helm cadangan untuk Alisha. Alisha mengangguk pasrah saat menerima helm yang diserahkan Farhan. Motor melaju di jalan raya yang riuh.

Mereka tiba di depan kos Alisha. Alisha segera turun dari boncengan dan mengembalikan helm kepada Farhan. "Makasih ya," kata Alisha.

"Iya, sama-sama." Farhan turun dari motor untuk menyimpan helm cadangan di bawah jok. Setelah menyimpan helm, Farhan segera pamit, "Aku balik dulu, mbak," ujarnya.

Alisha mengangguk, "Hati-hati."

Farhan hendak naik ke motornya, namun tiba-tiba pandangannya kabur. Farhan merasa tubuhnya mendadak terasa seringan kapas, namun dia tak sanggup mengendalikannya. Farhan seketika terhuyung. Alisha yang melihat itu kaget, dia buru-buru menahan tubuh Farhan. "Farhan? Kamu kenapa?" tanyanya khawatir.

Farhan ingin menjawab, tapi otaknya seperti tak bisa memberi perintah pada tubuhnya. Hingga tiba-tiba pandangannya semakin gelap. Alisha makin panik ketika tubuh Farhan makin merosot karena dia tak sanggup lagi menahannya.

Alisha panik melihat Farhan yang tiba-tiba kehilangan kesadaran. Dengan gemetar, dia mencoba menyadarkan Farhan, "Farhan! Bangun! Astaghfirullah, Farhan..." Alisha merasa kebingungan dan mencoba mengguncang tubuh Farhan, namun tak ada respons sama sekali pada pemuda itu.

"Toloong! Toloong!!" teriak Alisha yang putus asa melihat Farhan yang tak kunjung menunjukkan tanda-tanda kesadaran.

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang