Nur melongok dari jendela rumahnya saat melihat Alisha turun dari ojek tanpa membawa apa pun. Nur pun bergegas keluar rumah. "Mana belanjaan kamu?" tanya Nur dengan nada heran.
Alisha berjalan mendekati Nur yang berdiri di halaman rumah dengan wajah kesal, "Maaf bu, belanjaan aku tadi hilang di jalan," jawab Alisha, agak takut-takut membayangkan kemarahan ibu mertuanya.
Nur melotot tak habis pikir. "Kok bisa hilang sih, Alisha? Kamu tadi belanja apa tidur di pasar sih? Bisa bisanya hilang? Atau jangan-jangan kamu bohongin ibu? Sebenernya uangnya gak kamu belanjain? Makanya jam segini kamu baru pulang."
"Beneran, Bu, tadi belanjaannya hilang waktu aku nolongin kenalan aku yang kecelakaan di jalan," jelas Alisha dengan nada memohon pengertian. "Tadi aku juga udah nelpon mas Faisal buat jelasin kejadiannya."
Nur menatap Alisha dengan tatapan tidak percaya. "Alisha, ibu ini ada darah tinggi, kenapa sih, tiap hari kamu selalu aja bikin ibu emosi?"
"Aku bener-bener minta maaf, Bu. Aku gak maksud bikin ibu marah," ucap Alisha merasa bersalah. "Aku juga gak sengaja hilangin belanjaan aku tadi, aku udah coba cari di jalan, tapi udah gak ada."
Faisal yang mendengar suara keributan Alisha dan Nur akhirnya keluar. Wajahnya terlihat sangat marah saat melihat Alisha. Faisal menghampiri Alisha dengan langkah panjang, wajahnya merah padam. Alisha menghela napas, mengetahui bahwa dia pasti akan menerima kemarahan suaminya.
"Mas," Alisha mencoba bicara, namun Faisal lebih dulu menyela dengan nada tajam, "Dari mana aja kamu?!"
"Tadi kan aku udah ngabarin, Mas. Aku dari rumah sakit, Mas Dion kecelakaan," jawab Alisha tetap berusaha tenang.
"Udah berani bohong, kamu?!" bentak Faisal, wajahnya semakin merah.
"Aku gak bohong!" sahut Alisha dengan tegas, mencoba menahan air mata yang ingin menetes.
"Kalo kamu gak bohong, pasti kamu pulang bawa belanjaan. Ini udah pulang telat, gak bawa belanjaan pula. Sekalian aja gak usah pulang!" tambah Nur, membuat Faisal makin terlihat geram.
Suasana di halaman itu makin tegang, karena Faisal dan Nur bergantian memaki perempuan hamil itu, tanpa peduli apa pun yang terucap sebagai pembelaan.
Suara keributan di halaman itu menarik perhatian beberapa tetangga. Mereka keluar dari rumah masing-masing dan melongok dari pagar-pagar rumah, penasaran dengan apa yang terjadi. Beberapa di antara mereka berbisik-bisik, mencoba menebak-nebak apa yang sedang terjadi di sana.
Tetangga lainnya menyudutkan telinganya lebih dekat ke pagar, mencoba menangkap informasi pertengkaran itu untuk bahan gosip.
Di antara banyaknya tetangga penasaran, salah satu tetangga, Bu Lela, yang rumahnya persis di sebelah rumah Nur, tampak kasihan. Dia melangkah mendekat, memberanikan diri untuk menegur, "Ada apa sih? Kenapa tiap hari Alisha dimaki-maki kayak gitu?"
Nur berusaha tetap ramah pada tetangganya, "Saya sebenernya juga gak mau marah-marah terus sama Alisha. Tapi bayangin aja bu, Alisha ini pergi ke pasar dari jam enam pagi tadi, masa jam segini baru pulang? Udah gitu, dia pulang gak bawa belanjaan. Coba bayangin apa aja yang dia lakuin di luaran sana?"
Lela yang mendengar penjelasan Nur jadi ikut kesal. "Alisha... Kamu kok gitu sih? Kamu kan perempuan yang udah bersuami? Kamu ngapain aja di luar sana?" serunya dengan nada prihatin.
Alisha tidak tahan mendengar komentar tetangganya itu. "Bu Lela gak tau yang sebenarnya, mendingan Bu Lela pulang aja," serunya agak tegas, berharap jika orang luar itu tidak ikut campur masalah keluarganya dan membuat masalahnya semakin runyam.
Lela sontak tersinggung mendengarnya. "Padahal saya cuma nasihatin," desisnya dengan kecewa.
Faisal juga kesal mendengar ucapan Alisha, "Alisha, bu Lela nasihatin bener, kenapa kamu jawabnya gitu sih? Minta maaf sama Bu Lela."
Alisha hanya diam, menahan tangis akibat rasa sakit hatinya yang tertahan.
Melihat Alisha hanya diam, Nur buru-buru minta maaf pada tetangganya itu, "Maaf ya, Bu Lela. Alisha memang gitu, gak bisa dikasih tahu."
Alisha merasa hatinya seperti diremas, semua orang selalu memandangnya salah, menyudutkannya, tanpa ada yang bersedia mendengar sudut pandangnya.
Saat itu tiba-tiba saja mobil sedan berhenti di depan rumah dan memecah keheningan suasana. Semua orang di halaman rumah spontan menoleh ke arah mobil tersebut. Tak lama, Farida dan pacarnya—Tomi turun dari mobil, lalu berjalan ke arah halaman.
"Assalamualaikum," ucap Farida sambil menjulurkan tangan untuk salim pada Nur. Tomi juga mengikutinya dengan menjulurkan tangannya dan memberikan salam pada Nur.
"Waalaikumsalam," balas Nur dengan senyum ramah, menyambut kedatangan mereka dengan hangat. Tomi juga menghampiri Faisal dan mengajaknya bersalaman dengan sopan. "Mas," sapa Tomi.
Faisal mengangguk. "Makasih udah nganter Farida. Masuk dulu, gih," ajak Faisal dengan ramah.
"Ini kenapa pada ngumpul di sini, sih?" tanya Farida heran.
"Biasalah, kakak ipar kamu bikin masalah. Udah gak usah dipeduliin, mending masuk aja," celetuk Nur dengan nada santai, lalu menoleh pada Tomi. "Nak Tomi, ayo masuk."
"Iya bu," jawab Tomi sopan, kemudian Farida menggandeng lengan Tomi dengan mesra, tanpa menghiraukan keberadaan Alisha.
Lela yang melihat Tomi dan Farida melangkah masuk, tersenyum kagum. "Ganteng, kaya, baik lagi. Beruntung banget Farida dapet pacar kayak gitu. Kalo udah nikah pasti adem ayam," komentarnya sambil tersenyum penuh kagum sebelum melangkah kembali ke rumahnya.
Faisal menatap Alisha dengan kesal, "Kamu selalu aja bikin malu."
"Bikin malu apa sih, Mas? Kenapa aku selalu salah di mata kamu?" kesal Alisha.
"Udah salah malah nggak terima dibilang salah," kata Faisal dengan nada geram.
"Apa kamu pikir kamu gak salah, dengan nuduh macam-macam gitu? Bahkan bikin tetangga sampe ikut-ikutan marahin aku juga?" tanya Alisha dengan nada frustrasi.
"Setelah ditegur banyak orang, kamu masih aja nggak bisa mikir, gak bisa bedain mana bener mana salah. Aku udah capek sama kamu, Alisha. Kalo gini terus, kayaknya mending kita cerai aja," ucap Faisal tegas.
Alisha terbelalak shock mendengar ucapan Faisal yang begitu mudahnya, bahkan saat dia sedang hamil muda. Hatinya berdegup kencang, tidak percaya bahwa suaminya begitu cepat mengucapkan kata-kata itu.
"Mas, tega-teganya kamu talak aku, padahal aku lagi hamil anak kamu," keluh Alisha sambil merasakan kepedihan yang mendalam, kedua matanya berkaca-kaca.
"Aku kasih kamu kesempatan buat berubah, kalo masih terus bikin masalah, aku udah nyerah sama kamu," ujar Faisal tegas, kemudian ia berbalik dan masuk ke dalam rumah.
Alisha tetap berdiri di halaman, tatapannya kosong. Namun, airmatanya mulai mengalir, merasakan kehancuran di dalam hatinya yang rapuh. Alisha berjalan gontai masuk ke dalam rumah, langkahnya terasa berat dan penuh dengan kehampaan.
Saat melewati ruang tamu, dia melihat Faisal dan Nur tampak bercanda-canda dengan Farida dan juga Tomi. Senyuman hangat terpancar di wajah mereka, membuat hati Alisha semakin terasa sesak. Rasanya begitu menyakitkan melihat suami dan ibunya begitu bahagia bersama pacar Farida, sementara dia sendiri terus menerima perlakuan buruk setiap harinya.
Kecewa dan terluka, Alisha merenung di sudut ruangan, bertanya-tanya mengapa hidupnya selalu dipenuhi dengan penderitaan dan perlakuan tidak adil.
***
Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan komen dan bintang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menikahi Mantan Kakak Ipar
DragosteAlisha mengira jika dia menikah dengan pria yang agamis, maka kehidupan rumah tangganya akan harmonis. Namun tampilan seseorang memang bisa menipu, Faisal Rizqi yang dikenal sebagai guru agama yang sholeh, ternyata pria yang hanya pandai mengaji, na...