Bab 8. Merasa Salah Memilih Istri

113 3 0
                                    

Alisha kaget melihat kemunculan Faisal yang tiba-tiba. Ia bangkit dengan ekspresi panik, takut jika suaminya salah paham. Farhan, yang masih mencuci piring, menoleh sekilas, tetapi terlihat tetap tenang. Dia lalu melanjutkan kegiatannya.

"Mas, itu... aku cuma ngobrol sama Farhan," jelas Alisha dengan cepat.

"Ngobrol apa?" Faisal menanggapi dengan nada sinis.

"Ngobrol biasa aja kok, Mas," jawab Alisha, mencoba meredakan ketegangan.

Faisal menegur tajam, "Kalo gak ada sesuatu yang penting, harusnya kamu nggak perlu ngobrol sama Farhan. Ingat, kamu itu perempuan yang udah bersuami."

Farhan yang mendengar kritik pedas Faisal jadi kesal. Dia menghentikan aktivitas mencuci piring dan menoleh pada Faisal. "Mbak Alisha tadi sebenernya nasihatin aku, biar gak bikin ribut lagi. Itu penting atau nggak, tergantung penilaian kamu, Mas," katanya tegas.

Faisal menatap Farhan dengan sengit, tapi Farhan sama sekali tidak terintimidasi oleh tatapan itu. Ekspresi Farhan tetap tenang. Faisal lalu menoleh pada Alisha, "Kamu kalo gak ada kepentingan, mendingan di kamar."

Alisha hanya mengangguk patuh. "Iya, Mas," jawabnya singkat, lalu bergegas meninggalkan dapur dan melangkah menuju kamar. Faisal mengikuti di belakangnya.

Farhan terlihat kesal saat memerhatikan kepergian kakaknya. "Kalo istrinya ngobrol sama orang lain aja, sewot dia. Padahal tadi dia sendiri malah bercanda-canda sama temen ceweknya," gerutu Farhan sambil melanjutkan mencuci piring dengan gerakan yang agak kasar.

***

Alisha masuk ke dalam kamar disusul oleh Faisal. Saat Alisha baru saja duduk di tepi kasur, Faisal menatapnya dengan tatapan tajam. "Seru banget kamu ngobrol sama Farhan tadi, sampe ilang semua pusing dan mual kamu?" sindir Faisal dengan nada mengejek.

Alisha kaget mendengar sindiran Faisal. "Maksud kamu apa, Mas? Kamu pikir aku ada apa-apa sama Farhan?"

"Aku gak bilang gitu," jawab Faisal dengan sikap cuek. Dia kemudian duduk di samping Alisha, membuka laci meja, dan meraih sebungkus rokok beserta korek di sana.

"Tapi omongan kamu barusan mengarah ke sana, padahal tadi Farhan udah jelasin ke kamu kan?" ucap Alisha, mencoba menjelaskan.

"Farhan emang selalu belain kamu," ucap Faisal sambil mengambil sebatang rokok dari bungkusnya dan menyalakannya.

Alisha tak habis pikir dengan kelakuan Faisal yang malah menyalakan rokok di dalam kamar. Tanpa ragu, Alisha segera meraih rokok tersebut, meremasnya, dan membuangnya ke tempat sampah.

"Kamu apa-apaan sih?" keluh Faisal.

"Kamu yang apaan? Aku ini lagi hamil, kenapa malah ngerokok di sini?!" kesal Alisha, yang hanya direspon dengan dengusan singkat dari Faisal.

"Aku ini lagi stres, kamu tahu sendiri kalau aku lagi stres, aku butuh rokok!" Faisal membela diri.

"Kamu ngerokok di sini, sama aja kamu nyuruh aku jadi perokok pasif juga? Kamu jangan egois dong, Mas. Sekarang ada calon anak kita juga di sini," tegas Alisha.

"Tiap hari ngajak ribut mulu kamu ini, mending aku keluar!" kesal Faisal, lalu bangkit dari duduknya, dan meninggalkan kamar dengan langkah cepat. Alisha menatap kepergian Faisal dengan ekspresi tak habis pikir.

Faisal berjalan keluar rumah dengan wajah yang dipenuhi kemarahan. Nur yang sedang menyiram tanaman di halaman, terkejut melihat anak sulungnya terlihat begitu kesal. "Faisal? Kenapa sih? Muka kamu kayak lagi kesel gitu?" tanyanya heran.

"Biasa, Bu, abis ribut sama Alisha," jawab Faisal dengan nada lesu.

"Tiap hari ribut mulu sih?" Nur menjadi khawatir, lalu menghentikan aktivitas menyiram tanaman.

Setelah mematikan keran air, Nur menarik Faisal untuk duduk di kursi teras. "Kali ini kenapa lagi?" tanya Nur dengan penuh perhatian.

Faisal terlihat kesal saat menjelaskan, "Tadi aku lihat Alisha ngobrol di dapur sama Farhan, Bu. Keliatan enjoy. Aku kesel liatnya. Soalnya ibu tahu sendiri, kan? Alisha itu tiap hari, tiap waktu mengeluh pusing, mual. Giliran pas ngobrol sama Farhan, kayak sama sekali gak pusing, gak mual gitu."

Nur mendengar penjelasan itu dengan rasa curiga yang tumbuh di dalam hatinya.

"Aku gak mau suudzon, Bu. Tapi lihat sikap Farhan selama ini, yang selalu belain Alisha, aku jadi ngerasa kalau mereka ada sesuatu," ucap Faisal dengan hati yang resah.

Nur mengangguk serius. "Ibu juga ngerasa gitu, Faisal. Tapi kita gak boleh buru-buru menuduh tanpa bukti yang kuat. Jangan sampai kecurigaanmu, bikin masalah makin rumit. Apalagi Farhan itu adik kandungmu."

"Iya, Bu. Aku juga gak maksud curiga," jelas Faisal.

"Ibu yakin, kalau Farhan itu anak baik-baik. Kalau pun belakangan ini dia sering bikin kita kesel, bikin kita marah, ibu yakin itu cuma karena salah paham aja," tambah Nur dengan penuh keyakinan. "Soalnya Farida bilang, Alisha sering cerita macem-macem sama Farhan. Itu pasti yang bikin Farhan jadi sering marah sama kita."

Faisal terdiam, termenung mendengar penjelasan ibunya. "Padahal dulu, aku selalu ngira kalau Alisha itu wanita paling sempurna buat dijadikan istri, Bu. Ternyata setelah nikah, malah banyak masalah yang muncul gara-gara dia. Aku minta maaf ya, Bu.'"

Nur mengusap bahu Faisal dengan lembut. "Kamu gak usah minta maaf, kan kamu gak salah. Istri kamu aja yang problematik, kamu yang sabar aja ngadepin istri seperti itu."

"Iya, Bu. Aku bakal berusaha sabar. Mau gimana juga, aku yang udah milih Alisha buat jadi istri aku," ujar Faisal dengan ekspresi penuh penyesalan.

Nur menatapnya serius. "Apa sekarang kamu ngerasa, kalau kamu salah milih istri?" Tanyanya dengan nada provokatif.

Faisal terdiam, seolah merenungi pertanyaan Nur sebelum menjawab, "Sejujurnya iya, Bu."

Di balik pintu ruang tamu, Alisha mendengar pembicaraan Nur dan Faisal. Alisha menahan diri untuk tidak berteriak, meskipun hatinya terasa seperti diremas dari dalam.

Alisha menyadari bahwa ia tidak sempurna, ia memiliki banyak kekurangan dan kesalahan. Namun, selama ini dia telah berjuang keras untuk menjadi istri dan menantu yang baik. Dia telah mengorbankan segalanya tanpa mengeluh, bahkan ketika harus melakukan pekerjaan rumah tangga seperti seorang pembantu.

Namun, kerja keras dan pengorbanannya selalu diabaikan dan tidak dihargai. Dia selalu menjadi kambing hitam atas setiap masalah yang terjadi di rumah tangga. Alisha merasa putus asa, merasa bahwa segala usahanya telah sia-sia.

Air mata tak terbendung lagi mengalir di pipinya. Dia merasa sendirian dan terluka, terpukul oleh kata-kata pahit yang terus-menerus dilontarkan oleh orang-orang yang seharusnya mencintainya dan mendukungnya.

Di ambang keputusasaan, Alisha bergegas kembali ke kamarnya dan mengunci pintu. Tubuhnya lunglai, merosot hingga akhirnya duduk di lantai dengan punggung bersandar pada pintu. Airmatanya terus mengalir, sementara bahunya terguncang oleh derasnya emosi yang membanjiri hatinya.

"Bapak, ibu... Aku kangen... Kenapa kalian cepat banget ninggalin aku?" keluh Alisha, teringat akan kedua orangtuanya. "Sekarang aku memang sudah punya keluarga sendiri, pak, bu, tapi aku merasa asing di sini..." Tangisannya semakin menjadi, ia menyesali nasibnya.

Tangan Alisha bergerak, mengusap perutnya yang masih rata. "Maafkan ibu, Nak. Kamu pasti ikut sedih kalau ibu sedih," ucapnya, mencoba menguatkan diri sendiri. Dia lalu mengusap airmatanya, tidak ingin menjadi egois. Dia harus bisa mengendalikan emosinya demi bayinya.

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang