Bab 11. Rumor

191 13 0
                                    

Alisha merasa kelelahan ketika ia dan Farhan akhirnya tiba di parkiran klinik bidan Rose. Alisha turun dari motor dan mengusap keringat yang bercucuran di wajahnya. Farhan yang baru melepas helm melihat itu, tampak khawatir melihat Alisha yang terlihat pucat. "Mbak gapapa? Mukanya pucat banget gitu?"

Alisha menggeleng dan berusaha terlihat baik-baik saja, "Mbak gapapa, kok. Kayaknya cuma kecapean aja."

"Capeknya orang hamil itu nggak bisa diremehin, Mbak. Nanti pasti dimarahin sama bu Bidan, kalo tau selama ini kegiatan mbak Alisha banyak banget," cerocos Farhan yang hanya ditanggapi dengan senyuman oleh Alisha.

"Mbak masuk dulu sana, aku nunggu di sini," kata Farhan sambil duduk di kursi yang ada di pinggiran parkiran. Alisha mengangguk dan berniat masuk ke klinik.

Alisha belum sempat meninggalkan area parkir, karena saat itu dia lebih dulu berpapasan dengan Surti— tetangga mereka yang sedang hamil besar dan kebetulan baru selesai periksa juga di bidan Rose. Surti yang mengenali Alisha sontak berjalan menghampiri untuk menyapa, "Alisha?"

"Eh, Bu Surti. Baru selesai periksa, Bu?" tanya Alisha basa-basi. Surti pun mengangguk, sambil mengelus perut besarnya. "Iya, bentar lagi lahiran jadi harus sering-sering periksa."

Surti sempat menoleh ke arah Farhan yang duduk tak jauh dari mereka. Melihat itu, Surti menyimpulkan jika Alisha memang diantar oleh adik iparnya itu.

"Kamu udah isi ya?" Tanya Surti sembari mengusap perut Alisha yang belum menunjukkan tanda-tanda kehamilan. Alisha tersenyum tipis. "Alhamdulillah, udah bu."

Namun, senyumnya memudar ketika Surti melontarkan pertanyaan berikutnya. "Kok yang nganter bukan suaminya? Malah adiknya? Emang ini anak siapa?"

DHEG! Alisha merasa seolah dunianya berhenti berputar sejenak. Farhan yang juga mendengar pertanyaan itu, tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. Dengan cepat, bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Surti.

"Bu, hati-hati kalo ngomong ya! Saya cuma nganter mbak Alisha karena kakak saya lagi ada keperluan lain," ucap Farhan dengan tegas.

Bukannya minta maaf atas ucapannya yang sudah menyentuh ranah sensitif, Surti malah menanggapi kekesalan Farhan dengan tawa renyah. "Sensi banget sih kamu ini? Dasar, nggak bisa diajak bercanda."

"Ibu kira hal semacam itu bisa dibercandain? Yang ada jadi fitnah, Bu," tegur Farhan dengan suara meninggi.

Melihat kemarahan Farhan, Alisha segera menarik lengannya agar tidak terus menggebu-gebu. "Farhan, udah. Ngapain sih malah debat?"

"Udah apa, Mbak? Mbak nyuruh aku diem aja, meski mulutnya Bu Surti ini udah nyablak sembarangan? Ini udah nyangkut reputasi kita," kesal Farhan.

"Gitu doang, marah-marah! Kamu kayaknya kelamaan tinggal di kampung, makanya norak," Surti menyindir sebelum melengos pergi.

"Wah, tu orang udah salah, bukannya minta maaf, malah ngatain norak lagi," gerutu Farhan.

"Makanya— orang kayak gitu emang mendingan gak ditanggepin. Nggak akan ada habisnya," kata Alisha.

Farhan masih terdiam, membiarkan kata-kata Alisha meresap ke dalam pikirannya. Dia menyadari bahwa kemarahannya tidak akan membawa apa-apa kecuali lebih banyak masalah. Dengan menghela napas panjang, dia mencoba menenangkan diri.

"Mulut si mak lampir itu kayaknya nggak pernah disekolahin," kata Farhan.

"Udah tahu gitu, tapi malah kamu tanggepin," kata Alisha lagi, mencoba menenangkan adik iparnya. "Sabar aja kenapa sih?"

Farhan mengangguk pelan, mencoba menuruti saran kakak iparnya. "Iya, Mbak. Maaf ya, aku kesal tadi."

Alisha tersenyum kecil, merasa lega melihat Farhan mulai tenang. "Gak apa-apa, Farhan. Lain kali harus nahan diri kalo ketemu orang semacam itu."

Farhan mengangguk setuju.

"Mbak masuk dulu," ucap Alisha, sebelum berjalan menuju pintu masuk klinik.

Meski Alisha terlihat tenang, sejatinya ucapan Surti tadi cukup mengganggunya. Dia tak ingin terlalu khawatir, namun tetap saja ada keresahan yang menyusup di hatinya, membayangkan jika bukan hanya Surti saja yang berpikir demikian. Tapi Alisha segera mengusir pikiran-pikiran negatif itu dari benaknya. Sekarang, yang terpenting adalah menyelesaikan kunjungannya ke klinik dengan baik.

***

Beberapa hari telah berlalu sejak insiden di parkiran klinik. Awalnya, Alisha dan Farhan berusaha melupakan pertemuan yang menjengkelkan dengan Surti. Namun, sejak saat itu kehidupan mereka tidak akan pernah sama lagi.

Tanpa diduga, rumor mulai menyebar dengan cepat di sekitar kampung— tentang hubungan terlarang antara Farhan dan Alisha. Mulut yang gemar berbicara tidak dapat ditahan, dan seolah-olah api berkobar dengan cepatnya.

Alisha dan Farhan tidak dapat menghindari efek dari rumor itu. Mereka menjadi sasaran gunjingan yang tidak berkesudahan di antara tetangga-tetangga mereka. Setiap tatapan dan bisikan yang mereka dengar, seakan menusuk hati mereka dengan tajam.

Mereka berdua berusaha untuk tidak terpengaruh, tetapi luka hati mereka semakin dalam setiap kali mereka mendengar omongan-omongan itu.

Gosip tentang hubungan terlarang antara Farhan dan Alisha akhirnya mencapai telinga keluarga di rumah. Faisal dan Nur begitu marah mendengar hal itu, sehingga Farhan dan Alisha terpaksa didudukkan untuk diadili di hadapan mereka.

"Farhan, kamu itu baru tinggal lagi di Jakarta, kenapa malah ada kejadian kayak gini? Kamu kan ganteng, muda, pinter, kamu bisa deket sama perempuan mana aja— kenapa harus sama kakak ipar kamu?" tegur Nur, wajahnya terlihat sangat kecewa.

Farhan yang ditatap penuh kecurigaan jadi kesal dan tidak terima. "Aku nggak masalah orang mau nilai aku kayak gimana, mau ngatain kayak apa juga— tapi kenapa ibu juga ngomong kayak gitu? Aku sama mbak Alisha nggak seperti apa yang orang-orang bilang."

"Demi Allah, nggak seperti itu, Bu," Alisha pun berusaha menkelaskan dengan suara gemetar. "Itu cuma salah paham— aku sama Farhan boncengan cuma buat pergi ke klinik, waktu itu Farhan nganterin aku periksa kandungan aja."

Farhan langsung menimpali, mencoba memberikan penjelasan. "Iya, Bu. Aku cuma kasiha liat mbak Alisha."

Nur menatap mereka dengan tajam. "Lagian kamu ngapain sih, pake nganter-nganter Alisha periksa kandungan segala? Alisha itu istri kakak kamu! Wajar kalau orang lain jadi curiga sama hubungan kalian."

"Termasuk ibu sama Mas Faisal?" tanya Farhan dengan nada datar, berusaha menutupi perasaan kecewanya.

"Kamu pikir aja sendiri, gimana mungkin kami nggak curiga kalau kamu itu perhatian banget sama Alisha. Emangnya apa alasan kamu care banget sama dia?" tanya Faisal, berusaha menyudutkan Farhan.

Farhan tidak bisa menahan emosinya lagi. "Bukan aku yang perhatian banget sama mbak Alisha, tapi kamu yang nggak pernah peduli sama istri sendiri! Minggu lalu aku liat mbak Alisha panas-panasan, sendiri nunggu angkot buat pergi ke bidan. Terus kamu di mana?" tanya Farhan dengan nada menyindir. "Hari Minggu harusnya kamu libur ngajar, kan? Kenapa nggak nganter Mbak Alisha? Urusan apa yang lebih penting dari nemenin istri kamu periksa kandungan?"

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang