Bab 22. Meninggalkan Rumah

184 6 0
                                    

Malam itu, Alisha merasa tak lagi sanggup menahan beban emosional yang menghimpitnya. Dia tak lagi bisa berada di rumah yang selalu menyiksanya seperti neraka. Dengan hati yang berat, dia memutuskan untuk pergi, bahkan jika itu berarti meninggalkan segalanya di belakang.

Dia mengemasi pakaiannya satu per satu dan memasukkannya ke dalam koper tua yang tergeletak di sudut kamar. Setiap pakaian yang dia lipat dan setiap barang yang dia ambil terasa seperti membebaskan dirinya dari belenggu yang telah lama mengikatnya.

Setelah selesai membereskan barang-barangnya yang jumlahnya sangat terbatas, Alisha segera keluar dari kamar— lalu menghampiri Faisal, Nur, Farida dan Farhan yang masih di ruang tengah. Meskipun malam sudah larut, baik Faisal, Farida, maupun Nur tidak menunjukkan tanda-tanda ingin menghentikan Alisha. Mereka terdiam, seolah tak peduli.

Ketika Alisha pamit, suasana ruangan terasa semakin hening. Tak ada kata-kata atau pun tanda-tanda penyesalan, hanya keheningan yang terasa menyiksa. Hanya Farhan yang berusaha membujuk Alisha untuk menunggu sampai pagi jika ingin meninggalkan rumah. Namun, hati Alisha sudah terlalu luka untuk bisa mendengar suara bisikan kebaikan.

Alisha memutuskan untuk tetap pergi pada detik itu juga, meski tanpa sepeser pun uang di saku. Dia tak lagi peduli dengan kekurangan materi, yang lebih penting baginya adalah meninggalkan rumah yang seperti neraka baginya.

***

Dalam keheningan malam yang pekat, Alisha melangkah gontai sambil menyeret kopernya. Setiap langkah terasa begitu berat, seakan-akan mengingatkannya pada beban-beban emosional yang menumpuk di pundaknya.

Pikirannya melayang, berusaha mencari tujuan untuk pergi, namun pikirannya terasa kacau. Satu-satunya tujuan yang mungkin adalah rumah kecil yang pernah dia tinggali bersama keluarganya. Namun, rumah itu kini ditempati oleh adiknya, bersama suami dan anaknya. Pikiran Alisha kacau, bagaimana dia bisa pergi ke sana jika dia tidak memiliki uang dan ponselnya juga mati—sehingga dia tidak bisa memesan taksi.

Hal lain yang membuatnya ragu adalah kondisi adiknya yang belakangan ini juga mengeluhkan masalah ekonomi. Alisha merasa tak ingin menambah beban adiknya dengan kehadirannya, terutama di saat-saat sulit seperti ini. Tetapi di saat yang sama, dia merasa tidak punya tempat lain untuk pergi.

Suara gemuruh motor tiba-tiba memecah kesunyian malam yang hening. Alisha menoleh dengan terkejut, matanya membelalak saat melihat sosok Farhan yang menghentikan motornya di sampingnya. Tatapan heran melintas di wajahnya.

"Farhan? Kamu ngapain?" tanya Alisha dengan nada heran.

"Mbak pikir ngapain? Aku nyusulin kamu lah," jawab Farhan dengan wajah serius.

"Ngapain kamu nyusul aku?"

"Aku kuatir sama kamu, Mbak. Mbak kira ini jam berapa? Ini udah lewat tengah malam, tapi mbak masih luntang-lantung sendiri di jalan," ujar Farhan dengan nada khawatir.

Alisha merasa terharu dengan kebaikan hati Farhan, meskipun pada saat yang sama juga merasa sedikit canggung. "Kamu gak usah kuatir, insya Allah aku bisa jaga diri," kata Alisha dengan lembut, mencoba menenangkan kekhawatiran adik iparnya itu.

"Yakin? Emang kamu gak takut sama sekali? Ini Jakarta, Mbak. Bahaya kalo Mbak pergi-pergi sendiri di jam malam gini, mending aku anter aja," tawar Farhan dengan wajah serius, menunjukkan kepeduliannya pada Alisha.

Alisha segera menggeleng tegas, "Nggak usah, makasih."

"Tapi Mbak—"

Belum sempat Farhan menyelesaikan kalimatnya, Alisha segera menyelanya, "Gak usah bikin masalah baru, Farhan! Sebelumnya kita difitnah karena kamu nganter aku ke bidan, kalau sekarang kamu nganter aku lagi, orang-orang pasti mikir kalau kita beneran ada hubungan. Apalagi ini tengah malam."

Alisha melanjutkan langkahnya dengan tergesa-gesa, menyeret kopernya di belakangnya. Di belakangnya, Farhan melajukan motornya dengan pelan, menjaga jarak agar tetap mengikuti Alisha.

Alisha menoleh pada Farhan dengan wajah heran, "Kenapa lagi?"

"Mbak pikir aku bisa tenang gitu aja biarin Mbak pergi sendiri?" kata Farhan dengan nada khawatir.

"Farhan, aku hargain niat baik kamu. Tapi aku gak mau ada masalah lagi, jadi please, kamu balik aja," Alisha memohon dengan lembut.

"Aku tetep gak bisa," kata Farhan dengan mantap. "Gini aja, aku pesenin taksi buat kamu," tambahnya sambil meraih ponselnya untuk memesan taksi.

"Gak perlu," kata Alisha dengan tegas. "Aku udah mutusin pisah dari kakak kamu, jadi aku bukan kakak ipar kamu lagi. Kamu gak perlu peduli sama aku."

Farhan terdiam sejenak, mengerti bahwa Alisha sudah memutuskan untuk pergi. Namun tentu saja Farhan tetap tak bisa membiarkan kakak iparnya pergi tanpa jaminan keamanan hingga perempuan itu tiba di tujuan. Terlebih dia juga merasa bersalah atas sikap keluarganya yang begitu kejam pada Alisha.

"Kamu keras kepala banget sih, mbak? Mau sampe kapan kamu jalan kayak gak tentu arah gini?" Farhan melanjutkan dengan nada yang lebih serius. "Mbak, kamu sekarang gak sendiri, pikirin juga anak kamu."

Alisha terdiam, refleks tangannya menyentuh perutnya yang masih rata. Tatapan matanya kosong, merenung dalam-dalam, mencoba mencerna kata-kata Farhan. Ucapan itu membuka celah kecil dalam hatinya. Dia menyadari bahwa dia harus mempertimbangkan lebih jauh tentang apa yang terbaik untuk dirinya dan juga bagi anak yang dikandungnya.

"Mbak, mau pergi kemana?" tanya Farhan dengan ponsel di tangannya, seolah siap memesankan taksi untuk kakak iparnya.

Alisha hanya diam, membuat Farhan mengira bahwa perempuan itu tidak memiliki tujuan yang pasti.

"Kalo kamu gak punya tujuan, aku bakal sewain tempat kos buat kamu," tawar Farhan, mencoba memberikan solusi.

"Tapi Farhan..." ucap Alisha, namun dia segera disela oleh Farhan. "Gak usah tapi-tapi, kamu butuh tempat biar segera bisa istirahat. Jangan egois, mbak, inget aja anak kamu."

Farhan segera membuka hp, mencari info tempat kos. Setelah ketemu, dia segera memesan taksi untuk mengantarkan Alisha ke tempat yang sudah disewa. Meskipun hati Alisha masih berat, namun dia menyadari bahwa dia harus menerima bantuan dari Farhan untuk kebaikan dirinya dan anak yang dikandungnya.

Taksi yang dipesan oleh Farhan tiba dengan cepat. Farhan segera membuka pintu taksi, memaksa Alisha untuk masuk, sementara dia juga membantu memasukkan koper ke bagasi dengan gesit. Setelah semuanya siap, mobil pun melaju ke arah tempat kos yang sudah disewa secara online sebelumnya.

Perjalanan tidak begitu panjang, namun suasana dalam mobil terasa hening. Alisha duduk di kursi belakang dengan tatapan kosong, mencoba memikirkan langkah selanjutnya. Sedangkan Farhan, mengendarai motornya di belakang taksi.

Tidak butuh waktu lama, mobil taksi akhirnya sampai di depan tempat kos yang disewa. Farhan turun dari motornya lebih dulu, lalu membantu membawa koper ke dalam.

"Mbak, ini tempat kos yang sudah aku sewa buat kamu," ucap Farhan sambil menunjuk bangunan di depan mereka.

Alisha menatap bangunan itu dengan wajah campur aduk, di satu sisi dia segan menerima kebaikan Farhan, namun di sisi lain dia tidak punya pilihan.

"Makasih banyak, Farhan."

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang