Bab 27. Bersama Wanita Lain

122 5 0
                                    

Alisha kaget melihat Lian dan Farhan memasuki butik. Farhan tersenyum hangat saat menghampirinya. "Halo, Mbak," sapanya lembut.

Lian juga ikut tersenyum, bayi di gendongannya pun melambai-lambai saat melihat Cantika, seolah merindukan sumber kehidupannya. "Nenen, nenen," celoteh bayi itu sambil mengulurkan tangannya ke arah Cantika.

Cantika tertawa riang dan segera meraih tubuh bayi dari gendongan Lian. "Maaf ya, Alisha, aku cuma bisa nganter sampe sini. Anak aku kelaparan, dia ingin nenen," jelas Cantika.

Alisha mengangguk memahami. Matanya memperhatikan Cantika yang membawa bayi itu masuk ke dalam, sementara Alisha kembali menatap Lian dan Farhan. "Saya nggak nyangka ternyata Mas Lian suaminya Mbak Cantika. Kebetulan banget," ucapnya.

Lian tersenyum ramah. "Aku lebih kelihatan kayak baby sitter ya?" godanya.

Alisha tertawa kecil. "Gak gitu, Mas."

Farhan ikut berbicara, memuji Lian. "Lo lebih mirip model, Kak. Kalo si kecil gak nempelin lo mulu, pasti bakal banyak yang ngejar-ngejar lo."

"Sak ae lo, mending gue ditempelin bocil sih daripada dikejar-kejar yang lain," sahut Lian.

"Bener sih, idup lo udah sempurna. Bini cantik, tajir lagi," komen Farhan yang kagum dengan kehidupan Lian yang sekarang terlihat tanpa kekurangan.

"Gak ada rumah tangga yang sempurna, asal lo tau," Lian terkekeh, lalu menoleh pada Cantika. "Ngomong-ngomong, kamu ke sini ada perlu sama Cantika atau mau beli sesuatu?"

"Aku ngelamar kerja jadi penjahit di sini, Mas," ucapnya Alisha.

"Keterima, Mbak?" tanyanya Farhan penasaran. Alisha mengangguk pelan.

"Alhamdulillah," seru Farhan terlihat puas.

Namun Alisha hanya terdiam dan terlihat canggung. Melihat reaksi itu, Farhan jadi bingung. "Kenapa, Mbak? Jadi ragu ya, soalnya aku kerja di sini juga?"

Alisha menggeleng cepat. "Gak gitu, Farhan. Aku cuma agak kaget aja."

Alisha dan Farhan kemudian sama-sama diam, keduanya jadi terlihat canggung. Lian memerhatikan mereka berdua bergantian dengan ekspresi bingung. "Kalian kenapa sih? Kok jadi kayak canggung gitu?" Tanya Lian dengan polosnya.

Baik Farhan mau pun Alisha tak ada yang menjawab pertanyaan Lian, seolah bingung harus memberikan jawaban bagaimana. "Kenapa sih?" ulang Lian bingung. "Kalian lagi ada masalah ya? Gini aja, kita omongin di dalem," ajak Lian mencoba meredakan kecanggungan.

Alisha menggeleng lembut. "Maaf, Mas. Saya masih ada urusan, saya langsung pamit aja. Besok saya ke sini lagi dan mulai kerja," ujarnya dengan sopan. Dengan senyum kecil, dia memberi salam kepada Lian dan Farhan, kemudian segera meninggalkan ruangan.

Lian memperhatikan kepergian Alisha dengan heran. Kemudian, dia menoleh ke arah Farhan. "Kalian kenapa sih? Aneh banget," ucap Lian.

Farhan mencoba menjelaskan, "Sebenernya gak ada yang aneh, Kak. Tapi gimana ya, mungkin Mbak Alisha ngerasa gak enak ke gue karena baru aja cerai sama kakak gue."

Lian terbelalak kaget, "Cerai? Waktu kita ketemu di rumah sakit, lo masih ngenalin Alisha sebagai kakap ipar lo— berarti saat itu mereka belum cerai kan?"

Farhan menggeleng, "Sekarang juga belum resmi cerai sih, masih proses. Kakak gue udah mulai ngurus."

Lian melihat wajah sedih Farhan. "Gue ikut sedih, Farhan."

"Ikut sedih buat Mbak Alisha? Gue juga, Kak. Gue kesel juga sama kakak gue. Kenapa karena masalah-masalah sepele, dia ceraiin bininya yang lagi hamil."

"Alisha lagi hamil?" tanya Lian. Farhan mengangguk kecil.

"Masalah sepele yang lo maksud itu—" Lian menghentikan kalimatnya, seolah dia menyadari jika pertanyaannya kurang pantas dilayangkan, mengingat hal tersebut merupakan ranah pribadi keluarga Farhan.

Namun Farhan seolah tak menganggap Lian sebagai orang lain, dan segera menceritakan, "Hidup gue drama banget, Kak. Sebelumnya gue sama Mbak Alisha dituduh punya hubungan terlarang karena gue pernah nganter dia ke bidan, kita boncengan gitu," cerita Farhan. "Gue jadi bahan omongan orang sekampung, bahkan keluarga gue juga kayak gak percaya sama gue— sama mbak Alisha juga."

"Itu yang bikin Alisha cerai sama kakak lo?" tanya Lian hati-hati.

Farhan menggeleng, "Gak cuma itu sih. Lo inget waktu Mbak Alisha nganter Dion ke rumah sakit, terus nungguin dia sampe siang. Itu bikin kakak, ibu sama adek gue marah besar, mbak Alisha dituduh macem-macem."

Lian terbelalak shock. Tak menyangka jika pertolongan Alisha pada sahabatnya berdampak sangat fatal pada kehidupan rumah tangganya.

***

Faisal dan Rahma keluar dari ruang guru, kemudian melangkah menuju parkiran motornya yang terletak di sudut halaman sekolah sambil berbincang-bincang.

"Jadi kamu mutusin cerai sama istri kamu, Pak?" Tanya Rahma dengan wajah prihatin.

Faisal menghentikan langkahnya sejenak, meresapi pertanyaan Rahma, lalu menghela napas. "Iya, Bu. Saya merasa ini pilihan terbaik, apalagi keluarga juga dukung saya," jelas Faisal.

Rahma mengangguk perlahan, bibirnya tersenyum tipis. "Semoga masalahnya cepat selesai ya, pak. Saya harap setelahnya kamu dapat istri yang lebih baik."

"Terima kasih, Bu Rahma. Saya juga berharap begitu," kata Faisal sambil membalas senyuman Rahma.

Tiba di parkiran, Faisal dan Rahma melangkah mendekati motor masing-masing. Rahma kaget dan bingung saat melihat motornya yang bannya kempes. "Yah, motor saya bannya kempes," keluhnya.

Faisal mendekat, melihat ban motor Rahma yang kempes. "Gimana kalau Bu Rahma bareng saya aja? Nanti saya anter," tawarnya dengan ramah.

Rahma tersenyum terenyuh, tidak menyangka Faisal akan menawarkan bantuan. "Gak ngerepotin pak?" tanyanya, mencoba memastikan.

"Sama sekali nggak kok, Bu," jawab Faisal dengan tulus.

"Kalau gitu, makasih pak Faisal," ucap Rahma sambil tersenyum malu. "Tapi motor matic saya gimana dong, Pak? Masa ditinggal di sekolah??" tanya Rahma, cemas.

"Ditinggal gapapa, Bu. Nanti biar saya yang urus deh, Bu Rahma tinggal terima jadi," jawab Faisal penuh perhatian.

Rahma tersenyum tersipu, merasa senang dengan perhatian Faisal. "Makasih banyak, Pak Faisal perhatian banget."

"Udah seharusnya," gumamnya pelan.

Faisal naik motornya, sementara Rahma segera mengambil helm dari motornya sendiri. Dia lalu naik boncengan di belakang Faisal.

"Pegangan ya, Bu. Biar gak jatuh," pesan Faisal dengan lembut.

"Iya, Pak," jawab Rahma, lalu melingkarkan tangannya di pinggang Faisal.

Faisal segera melajukan motornya keluar dari gerbang sekolah, kemudian melalui keramaian jalan raya Jakarta yang padat. Bunyi klakson dan suara kendaraan yang bising mengisi udara. Rahma, yang duduk di belakang, menikmati perjalanan dengan tersenyum. Mereka berbagi cerita lucu dan tertawa kecil, seolah tidak terganggu oleh kemacetan di sekitar mereka.

Sementara itu, di dalam angkot yang penuh sesak, Alisha merasakan buliran keringat yang membasahi wajahnya. Angkot melaju perlahan di tengah kemacetan. Alisha menoleh ke arah lain dan tanpa sengaja melihat Faisal yang berboncengan dengan Rahma. Mereka tertawa riang, menambah kesan kebersamaan di antara mereka.

Alisha merasa tercekat, perasaannya campur aduk. Dia marah, kecewa, sedih, dan tak habis pikir. Bagaimana bisa Faisal begitu santai membawa wanita lain sambil tertawa-tawa seperti itu? Bahkan saat proses perceraian mereka belum selesai.

Menikahi Mantan Kakak IparTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang