Pintu lift terbuka, menampakkan kamar-kamar lantai teratas. Jaemin terdiam sejenak, sebelum berjalan menuju tangga darurat. Ia naik ke atas lagi hingga mencapai atap gedung. Begitu membuka pintu atap, angin kencang segera menerpanya. Angin musim dingin masih cukup membuatnya menggigil. Jaemin melangkah hingga tiba di tengah-tengah atap gedung yang lapang, jauh dari bagian pinggir gedung. Ia menatap ke langit malam. Titik-titik salju mulai turun perlahan.
Jaemin jatuh berlutut, menatap ke depan dengan tatapan kosong. Ia memukul-mukul dadanya yang terasa sangat menyesakkan. Bagaimana cara melegakannya? Mengapa semakin hari rasanya semakin sulit? Ia tidak ingin terus menerus menjadi pelampiasan ayahnya. Ia tidak ingin terus menjadi korban kekerasan ayahnya. Apa yang bisa ia lakukan?
Kedua tangannya bertumpu pada lantai atap gedung ketika air matanya berlomba keluar. Ia terisak. Untuk pertama kalinya setelah ibunya meninggal, Jaemin menangis keras. Ia meremat dan memukul dadanya berulangkali. Sakit sekali. Ia tak bisa melepaskan kesesakan di dadanya.
"AAAARGHHHH!" teriak Jaemin, sangat keras. Isakannya terdengar menggema. Ia berteriak berulang kali, memukul aspal atap gedung dengan tangannya hingga memar, berusaha membuat dirinya lega, tetapi dadanya terus terasa sesak. Jaemin menyerah. Ia menelungkupkan wajahnya pada lantai atap gedung.
"Hyunjin-ah, Mama, kenapa kalian tidak membawaku pergi saja?" isaknya. Tangannya meremat kuat pakaian yang berada di depan dadanya, sembari ia pukul berulangkali. Terlalu sesak, rasanya seperti ada beban begitu berat yang dihantamkan di dadanya.
"Disini sangat menyakitkan, aku tidak sanggup lagi," rintih Jaemin, tanpa mengangkat kepalanya. Air matanya terus berjatuhan. Jaemin benar-benar meluapkan semua kesedihan yang selama ini ia rasakan. Kesedihan yang sempat tertahan. Kesedihan yang membuatnya mati rasa hingga tak mampu menangis sedikitpun, hari ini mencapai puncaknya.
Seseorang menariknya, membawanya dalam pelukan. Jaemin masih terisak, merasakan orang itu memeluknya sangat erat dengan tangan yang gemetar dan nafas putus-putus. Terlalu erat, bahkan hingga Jaemin meringis karena seluruh lukanya masih terasa sakit.
"Jika...kau pergi...kami...yang hancur," kata Renjun terbata, orang yang memeluknya, terisak dengan nafas terengah. Jaemin membeku. Air matanya masih berjatuhan, tetapi isakannya segera mereda. Ia sadar tindakan mendadaknya pasti membuat membernya panik.
Terdapat bunyi langkah kaki dan nafas terengah di belakangnya. Kedua orang itu menarik nafas lega bersamaan, lantas jatuh terduduk ke lantai atap. Jeno dan Mark menyusul Renjun melalui tangga darurat, sangat terkejut karena mereka tertinggal jauh dari Renjun. Renjun yang biasanya lebih lemah dari Mark dan Jeno, entah mendapat kekuatan darimana, menaiki tangga dengan kecepatan yang tidak dapat mereka susul. Mereka sadar Renjun sangat ketakutan, terlihat dari kini ia memeluk Jaemin seerat itu. Haechan, Jisung, dan Chenle menyusul dengan menggunakan lift.
"Jangan membuatku...takut..., Jaemin-ah. Tolong," isak Renjun sembari melepaskan pelukan dan menangkup wajah Jaemin dengan kedua tangannya. Mata Jaemin yang memerah, bertemu dengan kedua mata Renjun yang tidak kalah merahnya. Jaemin merasa bersalah lebih dari apapun. Ia bisa merasakan nafas Renjun yang belum juga stabil, bergabung dengan isakan yang membuatnya tampak kesulitan bernafas. Ia juga tampak basah kuyup, berkeringat banyak. Jaemin bisa membayangkan Renjun yang berusaha mati-matian menyusulnya melalui tangga darurat secepat mungkin.
KAMU SEDANG MEMBACA
See You Again Next Winter [✓]
Fanfiction[COMPLETED] Jaemin kehilangan kepercayaannya pada siapapun hingga member harus berusaha keras meyakinkannya, bahwa mereka tidak akan pernah pergi dari sisinya. "Jika dunia masih memusuhimu sekalipun, kami tidak akan menjadi bagian darinya, sampai ka...