Korupsi

187 29 13
                                    

Kini mereka semua tengah menikmati makanan dihadapan mereka. Baru saja beberapa koki datang membawa banyak hidangan, membuat perut mereka bunyi tidak karuan.

Untung saja makanan yang mereka buat tidak seperti di 'Restoran Ternama' yang biasanya menjual makanan yang sekali suap itu dengan harga yang mencapai jutaan. Jika tidak, lambung mereka bisa menderita penyakit kronis seperti 'asam lambung' sangking laparnya.

Banyak sekali raut wajah yang mereka tunjukkan saat makan bersama dengan Angkasa. Terakhir kali mereka makan bersama saat sebelum sidang pertama dimulai, saat Gempa yang diadili.

Yang begitu jelas menunjukkan raut wajahnya adalah Duri. Ia tampak tidak suka menatap Angkasa sama sekali, bahkan hanya untuk melirik. Setiap kali mereka beradu tatap, Duri langsung memalingkan wajahnya atau menatap datar sang ayah. Entah kenapa, Duri benar-benar tidak suka menatap Angkasa.

"Ekhm, bagaimana rumah ini menurut kalian?" Tanya Angkasa memulai pembicaraan saat melihat isi piring anak-anaknya mulai tersisa sedikit.

"Rumah? Kau merendah untuk meroket, tuan?" Sindir Ais yang sudah kesal dengan setiap inci rumah ini. Bayangkan saja, mereka sudah memperhatikan jalan dengan baik, tapi mereka tetap saja tersesat.

Angkasa terkekeh mendengar sindiran Ais. Ia sudah mendengar cerita tentang Halilintar, Ais dan Solar yang tersesat saat menuju ruang makan. Ia merasa puas sekali melihat ketiga anaknya itu wajahnya tampak pias, tidak seperti sehari-harinya yang tampak tenang dan datar.

"Baiklah, apakah sebutan mansion cukup untuk mendeksripsikan rumah ini?" Tanya Angkasa. Halilintar menggeleng. Ini tidak cocok disebut sebagai mansion.

"Kurasa mansion masih terlalu kecil untuk mendeksripsikan itu. Aku sudah beberapa kali memasuki banyak mansion para pengusaha diluar sana, tidak pernah aku tersesat seperti saat ini. Lebar dan panjangnya tidak sebesar ini," jelas Hali sembali meletakkan pisau makannya setelah memotong 5 sampai 4 potong daging untuk dilahap.

"Jadi?"

"Ini lebih cocok dinamai istana." Sahut Solar sembari membenarkan kacamata minusnya. Angkasa mengangguk mengerti, ia sendiri sudah tau bahwa tempat ini tidak bisa disebut sebagai rumah, dan lebih cocok disebut sebagai istana.

"Yah, kenapa kau tidak memilih perbanyak rumah dan tanah untuk investasi, daripada membuat rumah sebesar ini?" Tanya Blaze yang penasaran.

"Hm, untuk apa investasi kalau ujung-ujungnya dunia tidak bisa dibawa ke akhirat?" Tanya Angkasa.

"Kalau begitu, lebih baik hartanya digunakan untuk mensejahterakan rakyat jelata, aku lihat kasihan sekali banyak orang dan keluarga yang masih tidak punya rumah? Mereka memilih mengontrak karena tidak memiliki cukup uang untuk membuat rumah." Tanya Gempa memberi saran.

"Saran mu begitu bagus dan sangat berbudi pekerti. Tapi,"

"Kau sudah seperti menceritakan dirimu sendiri, Gem." Sahut Blaze memotong Angkasa yang akan berbicara.

"Ya, sedikit. Mungkin? Kalau aku ingat aku saudara kalian waktu itu, mungkin aku akan bom rumah ini dari lama," celoteh Gempa membuat Blaze terkekeh puas.

"Kalau kau mengebom rumah ini, kami akan tinggal dimana setelahnya." Tanya Taufan yang juga ikut tertawa mendengar celotehan Gempa. "Ayah, kan, uangnya banyak, minta aja rumah padanya." setelahnya tawa Blaze dan Taufan pecah menggema keseluruh ruang makan. Yang lain juga ikut tertawa juga ada yang hanya tersenyum tipis.

"Pembicaraan kalian dark sekali," celetuk Hali dengan wajahnya yang masih tetap datar.

Blaze menyeringai senang, "Alah, cuma segitu doang! Oh, iya, Gem, Hali tak usah diajak, dia nyebelin orangnya kalau lagi ngobrol." Ia terkekeh setelahnya. Melihat Hali yang tidak terusik dengan perkataannya.

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Where stories live. Discover now