Ingatan Yang Mulai Terbuka

489 55 5
                                    

Duri baru saja bangun, nafasnya tidak beraturan, wajahnya pucat, tapi tubuhnya baik-baik saja. Hanya sedikit demam.

Saudara kembarnya yang lain terkejut melihat Duri yang tiba-tiba duduk dengan nafas yang masih ngos-ngosan. Mereka mendekati Duri. Duri merasa pusing karena tubuhnya langsung terangkat setelah pingsan selama dua hari.

Duri menatap sekitarnya, saudaranya menatapnya khawatir. Untung saja dia masih berada dirumah bukan dirumah sakit. Duri benci rumah sakit.

“Duri kenapa? Duri tidak apa-apa kan?” tanya Halilintar kepada Duri. Duri mengangguk lemah.

“Duri tidak apa-apa, kak. Duri cuman kaget aja.” Ucap Duri dengan suara paraunya. Tentu saja dia berbohong. Halilintar dan yang lainnya bernafas lega. Duri memijat pelipisnya, kepalanya berdenyut saat ini.

Taufan mengambil alih situasi. Dia memeriksa Duri keseluruhan, untuk memastikan bahwa Duri baik-baik saja. “Duri istirahat dulu ya? demamnya sudah mendingan. Kepala Duri pusing ya?” tanya Taufan pada Duri. Duri mengangguk kecil.

Melihat jawaban Duri, yang lain dengan cekatan menyiapkan makanan untuk dimakan sebelum minum obat. Jangan salah, walaupun mereka tidak pergi kerumah sakit, mereka malah mendatangkan dokternya kerumah selama itu masih demam biasa.

Taufan dengan sigap menyiapkan obat untuk Duri minum.

“dimakan buburnya Duri. Setelah itu, baru minum obat, lalu tidur.” Ucap Taufan pada adek kembarnya.

Setelah acara minum obat sudah selesai, Duri tidak bisa tidur. Bayangan mimpinya saat itu menakutinya.

Duri melihat ke sekitar. Taufan dan Halilintar tampak berdiskusi sesuatu. Duri tahu, Taufan pasti bernegosiasi dengan kakaknya agar mengembalikan hoverboard miliknya. Kalau diingat-ingat, Halilintar sangat menyeramkan kalau sudah marah.

Ais tidur disofa dengan dipangku oleh Blaze. Blaze sendiri sedang bermain dengan gamenya. Sedangkan Solar sedang menatap dirinya. Matanya sayu, sepertinya sangat lelah karena menjaganya.

Duri mengusap rambut adik kembar satu-satunya. Tersenyum untuk menenangkan Solar yang tampak sangat berantakan sekarang.

“muka Solar kusut, kenapa?” tanya Duri. Yang ditanya hanya menggeleng. Dari muka sudah menjawab semuanya, Solar mengantuk.

“kenapa tidak bobo saja?” Duri menatapnya dengan tanda tanya dikepalanya. Lagi-lagi Solar menggeleng, “nunggu Duri tidur. Duri harus tidur biar obatnya bekerja.” Jelas Solar pada Duri.

“kan Duri baru bangun tidur tadi,”

“Solar tidak tidur karena Duri tidak bangun-bangun. Duri lama sekali pingsannya.” Omel Solar. Duri hanya menyengir tidak enak.

“memangnya Duri tidak bangun berapa lama?” tanya Duri.

“Dua hari. Sampe Hali maksa pulang setelah dikabari sama Taufan.” Balas Solar. Duri membatu mendengar jawaban Solar. Dua hari.

“jadi kak Hali pulang karena dengar Duri pingsan seharian?” Duri sembari menghitung waktu perjalanan Halilintar yang tentu saja tidak sebentar. Kalau ditotal, Halilintar pulang sehari setelah ia pingsan. Dan saat Duri bangun, Halilintar baru saja datang kurang lebih satu, dua jam sebelumnya.

Halilintar yang mendengar percakapan kedua adik bungsunya itu menjawab. “hm, setelah Taufan telfon aku langsung pesan tiket pulang.” Duri menoleh kepada Halilintar yang ikut nimbrung dalam percakapan.

“terus gimana sama pekerjaannya?”

Halilintar mengibaskan tangannya, “aku tidak peduli. Lagi pula, adikku lebih penting dari pada pekerjaan.” Percayalah, demi Halilintar mengatakan itu, mereka semua tersenyum, termasuk Blaze yang sibuk dengan gamenya dan Ais yang sedang setengah tidur. Apalagi Taufan dan Duri yang sudah meleyot dulu, duh.

“kenapa kalian tersenyum begitu? Itu menggelikan. Solar, tidurlah!” omel Hali yang melihat Solar yang terkekeh geli.

it’s for the first time in forever...” Duri menyenandungkan sepenggel lirik lagu disney yang terkenal itu. Semuanya—kecuali Halilintar— tertawa puas. Ini kali pertama Halilintar mengatakan perasaannya tentang adiknya itu selama yang mereka ingat.

---

Mereka berlima pergi bersama menuju kampus. Ya, berlima. Karena Halilintar masih harus menyelesaikan pekerjaannya. Halilintar mengambil kelas online karena keadaannya diluar negeri yang tidak memungkinkan dirinya untuk datang kekampus. Tenang saja, pemilik kampus ini adalah sepupu ayahnya.

Bagaimana dengan hasil negosiasi Taufan pada Halilintar? Tentu saja Halilintar mengembalikannya, dengan syarat. Taufan yang memiliki kesempatan mendapatkan kembali hoverboardnya lebih cepat hanya mengiakan tanpa mempertimbangkan persyaratan yang diberikan oleh Halilintar.

“eh, Duri pergi kejurusan Duri ya. Duri ada kelas lebih cepat hari ini.” ucap Duri berlari meninggalkan keempat saudaranya yang lain sebelum memberikan ijin.

BRUK!!

Duri bertabrakan dengan seseorang digedung yang seharusnya tak ia datangi. Setelah berpamitan, Duri berlari memutari gedungnya menuju gedung yang berada dibelakang gedung jurusan biotani. Gedung tersebut adalah gedung jurusan arsitek.

“m-maaf.” Duri berdiri. Kejadian bertabrakan dengan seseorang bukan disebabkan ketidak sengajaan. Duri sengaja menabrakkan tubuhnya dengan seseorang yang bernama Gempa yang ia cari. Dan meminta maaf atas kesengajaan yang ia buat.

Saat Duri sudah berdiri, anak bermata hijau itu mengulurkan tangannya memberikan bantuan kepada Gempa yang kesusahan berdiri. Gempa nampak seperti sedang memegang kepalanya. Duri jadi merasa bersalah melihatnya.
Gempa menerima uluran tangan milik Duri. Tubuhnya berdiri sejajar dengan si pemilik manik hijau itu. Manik matanya saling beradu pandang sebelum Gempa memutuskan tatapan matanya. Duri paham itu.

“kenapa, kak Gem?” tanya Duri. Duri tetap tahu namanya walaupun saat itu ia lemas. Tapi sekarang dia tidak lemas lagi. Ingatannya pulih walaupun hanya 1%. Gempa terdiam mendengarnya. Respon Duri tidak seperti kemarin-kemarin saat menatap matanya.

“n-nanti, k-kamu pingsan lagi.” Ucap Gempa terbata-bata. Duri tersenyum cerah. “kedepannya tidak lagi, kak.” Mendengar itu Gempa langsung menatap Duri. Duri tidak pingsan atau pun lemas saat melihatnya tadi.

“aku mau bicara sama kakak. Apa kakak punya waktu?”

---

“oh gitu ya kak.” Duri menunduk lesu mendengar penjelasan Gempa.

“kalau semisal Duri bilang kita pernah punya kenangan, apa kakak percaya?” Duri menatap Gempa yang sedang menimang. Gempa hanya menatap kedepan. Tatapannya kosong. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya sebelum ini.

“aku tidak tahu. Apa pun itu semoga itu memang jawaban.” Gempa berdiri menyudahi percakapannya. Meninggalkan Duri yang sedang bimbang.

Bahkan saat ingatan terhapus

Aku, kamu, kita akan tetap bersama

Gempa berjalan meninggalkan Duri. Menyenandungkan sepenggal nada yang pernah mereka senandungkan bersama.

Ikatan ingatan tersebut tetap terkunci diantara ketujuhnya. Sampai waktu yang tidak dapat kita tentukan.

Tidak pernah tahu, bahwa salah satu ikatan tersebut mulai terlepas saat salah satunya mendengarkan penggalan lagu yang pernah mereka senandungkan.

Kita terikat

Walau kebencian menguar didalam dada

Kita akan terus bersama

Salah satunya melanjutkan lirik yang Gempa senandungkan. Bukan Duri, tapi yang lain.

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Where stories live. Discover now