Self Harm

306 31 8
                                    

"Satu-satu, aku sayang ibu. Dua-dua, juga sayang ibu. Tiga-tiga, sayang kakak Gempa. Satu, dua, tiga, sayang semuanya." Duri bersenandung kecil dengan berjalan bersama Gempa. Pagi ini Gempa sudah mengajaknya jalan-jalan bersama.

Duri bosan sendiri dirumah. Taufan dan Blaze sedang ada kelas. Ais yang kebiasaannya molor sehabis ngampus tidak bisa diajak jalan-jalan. Terlebih lagi kemarin lusa Blaze mengajaknya jalan-jalan seharian.

Solar sendiri? Yah, anak itu memang bisa diajak jalan-jalan, tapi selama perjalanan pasti akan membahas tentang teori-teori yang bahkan Duri tidak sampai otaknya. Jadi akhirnya Duri mengajak Gempa.

Gempa sebenarnya masih harus beristirahat hingga 2 hari kedepan. Ia diperbolehkan pulang setelah perbannya bisa dilepas. Gempa kasihan melihat Duri yang hanya duduk termenung sendiri karena bosan, jadinya ia menurut saja Duri akan mengajaknya kemana.

"Duri tak ada kelas, kah?" Tanya Gempa. Duri menggeleng. "Hari ini Duri hanya ada kelas online pagi buta tadi. Jadi sekarang Duri tidak ada kelas." Duri menatap Gempa yang memperhatikannya. Gempa mengangguk mengerti.

"Mau bertemu ayah tidak? Perusahaan ayah ada didekat sini." Tawar Gempa. Duri menggeleng, ia tidak mau. "Kenapa?" Tanya Gempa.

"Ayah jahat," kata Duri.

Gempa terus berjalan dengan menggenggam tangan saudaranya. Mereka melewati sebuah rumah yang bagian depannya begitu panjang. Gerbangnya menjulang tinggi.

"Ini rumah siapa si? Besar banget. Duri setiap jalan lewat sini, tuh, kesel banget karena rumahnya kebesaran. Duri sampai harus berjalan begitu jauh." Oceh Duri. Gempa mengendikkan bahunya tidak tahu.

Duri dan Gempa terus berjalan. Pandangan mereka ditundukkan untuk memastikan tidak menyenggol batu hingga tersandung. Sangking fokusnya menatap bawah, Duri harus bertabrakan dengan punggung seseorang. Dapat Duri lihat itu adalah punggung seorang bodyguard yang tubuhnya bahkan tidak oleng sedikit pun.

"Jalan yang benar, Duri." Gempa memperingati Duri yang terlanjur menabrak seseorang. Duri melantunkan kata maaf kepada orang dihadapannya, tapi sayangnya tidak ada respon.

"Maaf," ucap Duri lagi. Lagi dan lagi tidak ada respon. Duri menggeram kesal lalu bersiap untuk melanjutkan perjalanan, namun ditahan oleh bodyguard tadi.

"Ish! Aku mau pulang. Jangan ditahan!" Seru Duri kesal, Gempa menahannya agar tidak kelepasan.

"Sudah Duri, sabar."

"Yah, ni orang ngeselin tau, Kak Gem." Seru Duri kesal. Beberapa detik kemudian sebuah mobil mewah berjalan melewati pagar yang sudah dijaga kanan kirinya oleh bodyguard. Duri dan Gempa mematung melihatnya.

"Itu Bu Nala?" Seru Duri saat melihat siapa yang berada dibalik mobil tersebut. Gempa juga terdiam. Mobil ini persis seperti mobil yang dipakai Bu Nala saat dikampusnya.

Nala yang baru saja keluar dari pagar rumahnya terkejut saat melihat anak kembarannya. Ia membuka kaca mobil. Mereka bertiga sama-sama terkejut.

"Kalian?" Seru Nala. Mereka bertiga saling pandang.

"Ibu punya rumah lagi?" Tanya Duri tidak percaya. Nala jelas tekejut seperti sedang terciduk sesuatu. "Kenapa kalian bisa berada disini?" Tanya Nala.

"Keliling sejenak." Kompak Gempa dan Duri bersamaan.

Dibelakang mobil terdengar suara seseorang menyahuti Nala. "Kenapa kau berhenti?" Tanya orang itu yang ternyata adalah Angkasa. Mereka semua jelas saling terkejut.

"AYAH BENAR-BENAR PUNYA RUMAH LAGI?" Duri berseru kaget saat melihat presensi ayahnya. Jelas apa yang mereka lihat adalah Angkasa. Ternyata rumah yang begitu panjang dengan gerbang yang menjulang tinggi ini ternyata milik ayahnya.

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Where stories live. Discover now