Perang

268 32 24
                                    

Pemadaman baru berhenti saat pagi hari. Mereka semua mengeluh panas dari semalam. Malam itu mereka berkumpul diruang tengah untuk tidur bersama. Membawa masing-masing bantal dan selimut, lalu tidur saling memeluk satu sama lain.

Tidak pernah terjadi pemadaman selama ini dirumah mereka. Angkasa sendiri sudah menghubungi tukang listrik namun mereka bilang ada korsleting listrik. Jadi, mereka semua hanya bisa menunggu hingga pemadaman ini selesai.

"Kau kenapa, Gempa?" Tanya Angkasa yang sudah berpeluh kepanasan sedari tadi. Dia melihat Gempa yang masih belum tertidur, justru masih duduk sembari melamun. Gempa menggeleng menjawab pertanyaan ayahnya, dia hanya memikirkan tentang rencananya besok.

"Pemadaman ini, semua sesuai perkiraan ku," celetuk Gempa saat Angkasa baru saja akan menutup matanya lagi. Gempa tidur tidak jauh dari tempat Angkasa tidur. Dirinya tidur memeluk guling, dirinya memang tidak bisa tidur tanpa guling itu sejak 5 tahun terakhir.

"Apa maksud mu?" Tanya Angkasa yang bingung. "Palung berhasil kabur dari penjara. Kita semua, tak terkecuali aku, harus berperang dengannya." Jawab Gempa yang sudah seperti cenayang.

"Bagaimana kau bisa tau?" Tanya Angkasa. "Perkiraan saja," Jawab Gempa. Gempa kembali melamun membuat Angkasa jengah dan memutuskan untuk tidur.

Setelahnya mereka semua terlelap dan mengembara di alam mimpi masing-masing. Gempa menatap datar mereka semua. Keluarganya, apakah dia harus terus berjuang agar bisa bahagia bersama mereka semua?

Apa benar dirinya akan bahagia? Itu yang selalu Gempa pikirkan selalu. Dia mengorbankan banyak hal untuk bisa bersama mereka, tapi sekarang dia ragu.

Perkataan Ais selalu terngiang dikepalanya sesaat setelah dirinya telah mencoba memakai sepatu barunya.

"Kak, Ais pernah berharap hal yang sama seperti apa yang Kak Gempa harapkan. Tapi, harapan Ais harus pupus saat menerima kenyataan bahwa kita tidak saling mengenal satu sama lain."

Gempa menatap keenam saudaranya yang saling memeluk saat tidur. Gempa tersenyum miring. Dirinya merasa miris. Dia selalu berusaha untuk muncul diingatan mereka setiap waktu. Jika katanya dia mendapatkan masalah dari luar, maka itu salah. Masalahnya ada pada dirinya sendiri. Dia ingin disayang dan dihargai oleh mereka.

"Kau benar, Ais. Harapan ku harus pupus, karena kenyataannya kita tidak saling mengenal. Tapi, aku percaya bahwa kita akan menjadi keluarga seperti yang kita inginkan. Tak ada yang disembunyikan, juga tak ada wajah palsu yang ditampilkan." Gempa mengusap pelan kepala Ais yang tubuhnya tengah dipeluk oleh Blaze. Tanpa menyadari, bahwa sang empu yang dielus ternyata masih setengah sadar.

Mereka semua terbangun saat pagi hari. Pendingin ruangan sudah menyala dari satu jam yang lalu. Dan mereka bertujuh saling memperebutkan pendingin ruangan dirumahnya.

---

"WOI! KATANYA MAU TAKZIAH!?" Tanya Blaze yang sudah siap kepada Solar dan Halilintar. "Ayok!" Seru mereka.

Mereka semua mulai berjalan menuju TPU tempat Mara dimakamkan. Tak lupa mereka membali bunga untuk diletakkan dimakam Mara. Mereka datang kesana dengan tatapan yang berkaca-kaca. Tenyata sudah begitu lama mereka ditinggal oleh sang ibu.

Mereka semua terdiam dengan pikirannya masing-masing, ada yang menangis, ada yang menyesal, ada yang terkaku. Begitu juga Gempa yang sudah terdiam menatap makam ibunya sedang dibacakan doa oleh saudaranya.

Setelah beberapa lama kemudian, Gempa tersenyum mengajak mereka untuk pulang. Mereka semua mengangguk lalu pulang kerumah.

---

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Where stories live. Discover now