Gempa

449 33 0
                                    

"ada apa?" Tanya Solar kepada Halilintar. Halilintar tiba-tiba saja datang dan masuk ke kamarnya tanpa mengetuk pintu membuat Solar yang sedang belajar itu terkejut.

"Uh huh, kau harus membantu ku." Ujar Halilintar. Ia masuk menutup pintu kamar Solar dan menguncinya.

"Membantu apa?"

"Kau tahu Gempa yang waktu itu kau bius dengan cairan buatan mu agar dapat melumpuhkannya?" Tanya Hali. Solar mengangguk.

"Kau bisa mencari tahu tentangnya lebih lanjut? Mungkin kau bisa meretas aplikasi database kampus untuk mencari tahu tentangnya." Jelas Hali. Solar ragu, tapi ia tetap membuka komputernya untuk meretas aplikasi database kampus.

"Untuk apa mencari tahu tentangnya?" Tanya Solar. Tatapannya masih fokus dengan komputernya. "Entahlah aku rasa data Gempa sangat penting. Aku memerlukan nama panjangnya."

"Untuk apa?"

"Aku perlu nama keluarganya." Ucap Halilintar.

Beberapa lama berselancar di komputernya untuk meretas database kampus, akhirnya ketemu juga.

"Namanya hanya Gempa saja, tidak ada nama keluarganya," Ujar Solar ketika menemukan data pribadi milik Gempa di database kampus.

"Rasanya itu begitu aneh bukan? Kenapa kita merasa seperti pernah begitu dekat dengannya, tapi kita tidak mengingat apapun?" Monolog Halilintar yang masih dapat didengar oleh Solar.

"Mungkin ada kesengajaan disini. Kau merasakan hal yang sama dengan ku? Sejak kapan?"

"Kesengajaan dalam bentuk apa?" Halilintar tenggelam dalam pikirannya.

"Aku bertanya pada mu, sejak kapan kau merasakannya? Kenapa aku seperti melewatkan banyak hal?" Sanggah Solar.

"Merasakan apa?"

"Merasakan kalau kita seperti pernah dekat dengan anak yang bernama Gempa." Jawab Solar.

"Oh, itu apa kau tidak mengingatnya? Saat itu kau memintaku untuk memikirkan ulang keputusan ku, kau menyinggung tentang saudara..." Jelas Hali.

"Heh, aku tidak mengingat itu sama sekali, aku tidak merasa pernah mengatakannya.  Kapan itu terjadi?" Ujar Solar yang masih berusaha mengingat.

"Sudah ku duga kau tidak mengingatnya, itu percakapan 5 tahun yang lalu sepertinya. Aku tiba-tiba mengingatnya saat akan pergi ke luar negeri," Hali menjeda ucapannya sejenak untuk mengambil nafas.

"Apa kau mengingat seluruhnya?"

"Tidak, aku hanya teringat sepenggal percakapan kita, itu saja."

"Apa yang membuat mu percaya kalau itu adalah ingatan mu, bukan hayalan mu semata?" Tanya Solar lagi untuk kesekian kalinya.

"Hei, shut up! Kenapa kau jadi banyak bertanya? Kau berlaku selayaknya psikolog saja, simpan pertanyaan itu diotak mu, jangan membuat ku tambah pusing!" Ucap Hali yang berdiri untuk meninggalkan kamar Solar.

"Tunggu!" Panggil Solar tepat saat Halilintar ingin membuka pintu kamar yang ia kunci tadi.

"Aku melihat ada yang unik di formulir ini, aku yakin ini menjawab segala hal yang kita pertanyakan." Ujar Solar sembari menatap komputernya.

"Apa itu?"

"Tanggal lahirnya sama dengan tanggal lahir kita!" Ucap Solar. "13 Maret 2004, sama persis seperti tanggal lahir kita bukan?"

"Lihat!"

Halilintar berjalan mendekat untuk melihat komputer Solar. Persis seperti yang Solar katakan, tanggal lahir Gempa sama persis dengan tanggal lahir mereka.

"Tidak mungkin, kebetulan yang mengejutkan bukan, jika mereka bukan keluarga kita? Apa yang akan kau lakukan setelahnya, Li?" Solar menatap kakak kembar sulungnya yang sedang syok melihat data Gempa yang sebenarnya tidak lengkap. Hanya tanggal lahirnya saja sudah mengatakan semuanya.

"Aku akan menemuinya,"

"Sebagai apa?"

"Sebagai kakaknya lah! Sebagai apa lagi memang?" Seru Hali gemas dengan jawaban Solar. Solar terkekeh kecil. "Kau yakin ingin menemuinya sebagai kakaknya? Ia pasti akan menghindari mu begitu saja jika kau melakukan itu, itu sangat mencurigakan apa lagi jika kau masih tidak mengingat apa pun!"

"Jadi aku harus menemuinya sebagai apa?"

---

"Kak Hali dari mana saja? Aku mencari mu kemana-mana." Seru Duri menemui Halilintar yang baru saja kembali ke ruang tamu.

"Aku baru aja keluar dari kamar Solar,"

"Pantas saja. Kak Hali ngapain disana? Tadi Duri mau minta bantuan kakak buat bantu beri pupuk seluruh tanaman ku, tapi tidak jadi karena sudah selesai dibantu sama kak Taufan sama kak Blaze." Jelas Duri. Halilintar mengangguk.

"Kak Hali tau, pohon buahnya sudah berbunga, ada beberapa yang sudah tumbuh buah kecil. Kemungkinan 2 sampai 3 bulan lagi kita bisa panen buah bareng. Terus, pohon cabainya juga sudah berbuah, cabainya masih banyak hijau tapi ada yang sudah berwarna merah sekitar 3 sampai 4 cabai. Tomatnya juga..."

Duri terus mengoceh tentang kebunnya,  dari kebun buahnya, kebun sayurnya,  hingga kebun bunganya. Sedangkan Halilintar terus mengangguk menanggapi, tapi pikirannya sekarang entah ada dimana sedang memikirkan tentang orang yang sempat ia temui dimakam hari itu.

"Terus bunga mawar kuningnya sudah hampir mekar. Kuncupnya sudah terbuka. Entah kenapa aku merasa kalau mawar kuning itu spesial sekali, sampai-sampai bunga itu harus tetap ada dikebun ku. Bunga-bunga yang lain juga sudah memenuhi pekarangan rumah, sampai aku mikir untuk buka toko bunga," lanjut Duri.

Duri menatap Halilintar yang hanya mengangguk, tapi tatapan matanya kosong. Entah kemana pikiran Halilintar nengembara sekarang, ia tampak melamun.

"Kak?" Panggil Duri. Duri mengguncang tubuh kakaknya itu beberapa kali tapi tidak ada jawaban.

"Kak Hali!" Seru Duri lagi sembari mengguncang pundak kakaknya lebih kuat. Halilintar mengaduh terkejut karena merasa tersentak.

"Maaf Duri, ada apa?" Tanya Hali.

"Kakak tidak dengar Duri bicara ya?" Tanya Duri balik.

"Maaf Duri," Halilintar menunduk, ia memang tidak benar-benar mendengarkan Duri sedari tadi. "Kak Hali ada masalah apa? Duri pikir kak Hali dengerin tadi."

"Huh, aku mikir tentang seseorang,"

"Siapa? Perempuan apa laki-laki? Atau mungkin pacar kakak?" Tanya Duri bersemangat.

"Aduh, mana aku punya pacar? Tu loh, anak yang namanya Gempa, bukannya Blaze, Duri dan Solar yang menemukan dia?" Ucap Hali.

"Oh, kak Gempa, memangnya kenapa sama kak Gempa?" Duri terkekeh kecil menanggapi jawaban Halilintar.

"Aku penasaran dengannya," Halilintar menatap Duri yang masih terkekeh. "Kenapa tidak menemuinya saja kalau kau penasaran dengannya?" Jawab Duri.

"Aku tidak yakin dia bakal nerima aku, lagi pula aku orang asing baginya kurasa,"

Duri menggeleng kecil, "kalau kau pikir begitu, dia tidak akan menerima mu, kak. Yakinlah pada dirimu,"

"Menurut mu bagaimana?" Tanya Hali memastikan dirinya sekali lagi.

"Itu tidak buruk untuk menemuinya dengan baik-baik,"

"Bisa kau menemaniku menemuinya, Duri? Kau tau dimana dia sekarang?" Tawar Hali dengan dahi berkerut, ia berfikir cara untuk menemui Gempa saat ini.

"Aku tau, tapi berjanji pada ku untuk menemuinya dengan baik-baik." Seru Duri. "Baiklah, aku janji."

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Where stories live. Discover now