Kembalinya Ingatan 2

352 39 17
                                    

"Jika kau tidak menjelaskannya, kau akan mengulang sejarah untuk kedua kalinya dan main hakim sendiri. Lebih baik kau menjelaskannya sebelum terlambat." Ucap Ais. Gempa menatapnya bingung. Mengulang sejarah?

"Mereka tetap tidak mau mengerti kalau aku yang menjelaskannya. Kecuali kalau kau yang menjelaskannya sendiri."

"Maksud mu?" Tanya Gempa.

"Apa perlu aku jelaskan lagi maksud ku, kak? Kau kakak ku kan? Ingat, aku selalu percaya pada mu sejak dulu." Ucap Ais. Mata Gempa membola, ia tidak percaya.

"Aku, kak Taufan dan Duri, dulu yang paling sering menolak keputusan kak Hali yang gegabah. Tapi mereka berdua tidak bisa memberontak, Duri juga berlari mengejar mu hingga ia pingsan tak sadarkan diri. Kak Taufan berdebat hebat dengan kak Hali karena keputusannya. Dan aku yang melawan ayah karena kak Hali yang terlalu penurut padanya. Kenapa kita melakukan itu? Karena kami bertiga percaya dengan mu, kak." Jelas Ais

"Dan kau masih ingin kabur dari kenyataan? Jika kau tidak menjelaskannya, mereka akan tetap salah faham. Kami percaya kau bukan pembunuh, tapi kau menutup mulut seakan kau adalah pelakunya." Lanjutnya.

"Jangan pikirkan tentang ayah, kak. Dia banjingan tengik yang pernah aku temui sebelum Blaze. Jelaskan saja, kumohon." Ucap Ais sembari menepuk bahu Gempa. Gempa menunduk gelisah.

"Kau mengingatnya sejelas itu?" Ais mengangguk.

"Aku ingat dengan jelas semenjak Duri bercerita dengan mu tentang mimpinya saat pingsan." Ucapan Ais mampu membuat seluruh saudaranya terkejut. Ternyata selama ini Ais sudah mengingatnya sendiri.

"Lalu, bagaimana mereka bisa lupa ingatan?" Tanya Gempa. Ais menatap saudaranya, termasuk Blaze yang egonya kalah dengan rasa penasaran.

"Mereka di cuci otak. Karena perintah ayah." Ucapan Ais mampu membuat mereka semua membeku. Taufan memegang tangan Hali dan meremasnya kuat. Kepalanya berdenyut cukup kuat,  rasanya ia tidak tahan.

"Dan, kak Hali dengan kak Taufan yang paling sering dikuras ingatannya, karena mereka paling dekat dengan mu." Ais menatap ke arah Taufan yang semakin lama semakin kesakitan dikepalanya.

Ais ingat dengan jelas disaat Halilintar dan Taufan dipaksa harus meminum obat yang entah apa khasiatnya itu, dan membuat mereka berdua memiliki ingatan yang remang. Karena merasa tidak berhasil, ayahnya memaksa mereka berenam untuk melakukan terapi hinopsis untuk melupakan ingatan mereka.

"Bagaimana caranya? Cuci otak? Itu tidak masuk akal." Gempa terkekeh getir, ia tidak percaya hal seperti itu. Bukan kah masih tidak ada penemuan yang seperti itu kan? Pikirnya.

"kak Hali dan kak Taufan dicekoki obat yang tidak kami ketahui untuk apa dan menyebabkan ingatan mereka sedikit remang. Lalu setelahnya kami dipaksa untuk mengikuti hipnosis agar kami tidak mengingat apa-apa dalam jangka yang panjang. Tapi sayangnya, ayah salah mengira kami tidak akan mengingat tentang mu." Jelas Ais panjang lebar.

"Ayah tidak mengkhawatirkan mu karena kabar kalau kau sudah kehilangan ingatan mu akibat kecelakaan." Lanjutnya.

"Bagaimana bisa?"

"ARKH! SAKIT SEKALI!" Teriak Taufan sembari memegang kepalanya yang membuat mereka panik setengah mati. "Jangan dipaksa Taufan." Ucap Solar yang juga ikut merasa khawatir. Taufan menggeleng kuat, ia tidak bisa berhenti untuk mengingatnya, ini berputar dikepalanya begitu hebat.

"Aku tidak tahan!" Teriaknya lagi. "Kumohon berhenti." Seru Taufan pelan. Tidak lama kemudian Taufan pingsan karena tidak tahan menahan sakit dikepalanya.

Sontak mereka semua langsung membawa Taufan ke kamarnya. Perasaan khawatir mengudara saat ini. Jeritan Taufan sangat memilukan ditelinga mereka tadi. Karena itu mereka berenam langsung mengerubungi Taufan setelah dibawa kekamar.

"Taufan baik-baik saja kan?" Tanya Hali pada dirinya sendiri. Ia menggigit kukunya khawatir, semoga Taufan baik-baik saja.

"Kau tidak bisa menelfon orang itu?" Tanya Gempa sedikit menyentak. Halilintar menatap Gempa yang menyentaknya untuk pertama kali.

"Siapa yang kau maksud orang itu?" Tanya Hali. "A-anu itu, maksud ku ayah." Ucap Gempa.

"Kenapa kau tidak menanggilnya ayah saja?"

"Sudahlah, Li! Kau banyak tanya. Telfon saja ayah." Seru Solar kesal. Halilintar menghela nafas kasar. Kesal dengan adiknya yang selalu kurang ajar padanya. Ya, mereka memang kembar, tapi setidaknya hargai dirinya karena ia yang mengemban beban banyak dari ayahnya.

Hali menelefon ayahnya beberapa kali namun tidak ada jawaban. Hali mengetik pesan untuk mengabarkan ayahnya kalau adiknya sedang kesakitan.

Halilintar berdecih kala pesannya sudah dibaca tapi tidak kunjung dibalas. Ini sudah keberapa kalinya ayahnya mengabaikan mereka.

"Sudah. Hanya dilihat saja, tidak dibalas apapun." Wajah Hali mendatar karena kesal. Ais disana pun hanya menatapnya kasihan, walaupun dirinya masih kesal dengan Hali.

"Fan, kau yakin dia ayah kita?" Tanya Blaze dengan tertawa getir. Bahunya bergetar menahan tangis. Ia terlalu gengsi untuk menangis dihadapan saudara-saudaranya.

"Aku harap, ini semua selesai."

---

"Bukan kah itu Gempa yang ada disalah satu foto keenam anak kembar itu?"

"Iya, dia berpura-pura tidak mengenal mereka."

"Sok jual mahal, paling dia tidak menyukai mereka karena risih, karena itu mereka tidak pernah tampak bersama."

"Kau benar, dia anak yang bermasalah mungkin."

Segala gosip dan rumor memenuhi ruang kelas Gempa. Gempa yang dibicarakan hanya menutup matanya berusaha tidur. Ia risih juga lama-lama.

"Gem, kau tau? Bu Mala hari ini tidak hadir lagi untuk kesekian kalinya setelah kau memberikan jurnal padanya." Ucap Faro sembari tersenyum.

Menurut mereka, bu Mala itu menyeramkan. Walaupun tidak termasuk kedalam dosen killer, tapi auranya sangat mengerikan dan mampu membuat mereka bertekuk lutut. Mereka bilang kalau bu Mala memiliki aura seperti aura pembunuh.

Tapi, hanya Gempa saja yang masih mampu berdiri tegak dan tersenyum dihadapan bu Mala walaupun masih terus mendapatkan deadly gaze (tatapan mematikan) dari bu Mala. Oleh karena itu, bu Mala hanya menyanjung Gempa yang masih bisa tersenyum padanya.

"Lalu?" Tanya Gempa. Faro menatap Gempa kesal. Akhir-akhir ini Gempa selalu mengesalkan, apalagi disaat ada kembarannya disana.

"Tidak apa-apa aku hanya memberi tau. Oh iya, bu Mala tidak memberi titipan tugas yang aneh-aneh kan?" Tanya Faro. Gempa menggeleng, "bu Mala akan digantikan dengan orang lain untuk sementara ini."

"Kenapa?"

"Ada urusan pribadi katanya." Jawab Gempa.

"Oh, baguslah."

"Kau tau, bu Mala itu sepertinya gabut sekali. Dia itu pemilik kampus ini, tapi malah berprofesi jadi dosen untuk sementara waktu. Mana nyeremin lagi komuknya." Oceh Faro sembari menyenderkan pundaknya dikursi dan mengerjakan tugasnya.

"Tunggu, bu Mala pemilik kampus ini?" Tanya Gempa langsung bersemangat. Faro mengangguk santai tidak terlalu terkejut.

"Tapi kan..."

"Memangnya kenapa kalau dia pemilik kampus? Kau meresa beruntung?" Tanya Faro. Gempa menatap Faro kesal. "Sudahlah, aku malah mendengarkan mu hari ini," Ucap Gempa.

"Lah?"

...

Lanjutannya gaes.

Jadi gini, selain karena kemarin aku niat triple up, tapi juga karena aku mungkin bakal hiatus dulu untuk beberapa hari kedepan dari hari kamis, hehe. Aku mau ngurus barang buat pindah rumah soalnya.

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Where stories live. Discover now