Genderang Perang

205 26 25
                                    

"Ada apa Ayah memanggil ku?" Tanya Gempa melihat Ayahnya menatap serius kepada Gempa. "Laut akan menjadi saksi, benar?" Tanya Angkasa yang sedikit ragu. Gempa mengangguk, Laut, anak dari Palung Pashaka itu akan menjadi saksi atas kekejaman keluarganya nanti.

Angkasa menghela nafas berat. Anaknya itu masih satu keluarga dengan Palung, anaknya sendiri malah. Memangnya bisa memberi kesaksian atas seluruh kekejaman keluarganya sendiri?

"Laut itu polos, Yah. Walaupun umurnya sudah kepala tiga, tapi dia penakut. Tapi jangan salah, dia itu masih keturunan keluarga Pashaka. Jika dirinya merasa dia dikhianati oleh keluarga kita, maka dia bisa menjadikan ku dan yang lain sebagai target keluarga Pashaka selanjutnya," Jelas Gempa enteng.

Angkasa memasang raut wajah berpikir juga khawatir. "Bagaimana kalau dirinya justru menjadi seperti ayahnya?" Gumam Angkasa khawatir.

Gempa tersenyum miring. "Jika begitu, jadikan dirinya sebagai Palung kedua. Kau tau pasti beritanya, kan?"

"Kau bicara begitu seperti anak brengsek yang tak tau berterima kasih," sinis Angkasa kepada Gempa. Gempa terkekeh mendekat kepada ayahnya. "Lalu, anak brengsek ini anak Ayah," Angkasa melotot.

"Berani-beraninya kau!"

Gempa mengambil nafas teratur masih tersenyum. "Ayah sinis pada ku seperti aku tak punya malu. Aku tau, Yah. Jelas! Karena itu aku yakin Laut tak akan pernah mengecewakan ku. Dan aku, sedang menbalas budi dengannya, saat ini."

---

"Huh, sudah ku bilang, Ayah bukan berhadapan dengan Angkasa, tapi dengan anaknya!" Laut menatap menyalang kepada Ayahnya. Ia benar-benar mengejek kebodohan Ayahnya itu.

"Heh, anak kecil yang pikirannya belum genap kau takuti? Dia bahkan tidak tau malu meminta ini itu pada mu, dan sekarang dia membuat mu gila!" Palung membuang muka dari hadapan Laut. Tidak sudi memiliki anak sebodoh Laut.

"Kau yang membuat ku gila, Yah! Kau, kau bukan Ayah yang ku kenal dulu!" Lirih Laut. Matanya memerah menahan emosi sepihak. Dirinya sudah hancur dari lama.

"Kau! Heh! Kau masih mengingat bunda mu?" Tanya Palung mengejek. Laut tak dapat menyangkal pertanyaan Palung itu. Dia mengangguk.

"Begini kalau anak terlalu dimanjakan. Sama seperti bunda mu, hingga kau sama bodohnya dengan dirinya! Kau mau tau alasan ku cerai dengannya? Karena itu hanya formalitas. Menikah tidak ada di dalam kamus hidup ku," ucap Palung menunjuk Laut yang sudah berantakan.

"Andaikan bunda mu bisa berguna, akan ku pertahankan. Tapi karena bunda mu sama sekali tak bisa diandalkan, untuk apa dipelihara terlalu lama? Aku tak mau mempelihara hewan yang hanya ingin dimanja setiap waktu!" Laut meremat tangannya.

Setiap anggota keluarga Pashaka pasti sudah menentukan musuh utamanya. Dan dihati yang paling dalam, dengan berat hati dirinya menentukan ayahnya itu sebagai musuh utamanya.

"Bunda bukan hewan, Yah!"

"Kau mau tau? Otak Gempa itu menurun dari ibunya, karena itu, aku membenci Angkasa karena dia mengambil calon ku. Jika aku menikah dengan Mara, si keturunan keluarga Carson itu, aku akan mendapatkan apa pun yang aku inginkan," jelas Palung yang berhasil meremat perasaannya.

"Baiklah kalau begitu. Kau tau, kan? Anak jatuh tidak jauh dari pohonnya?" Tanya Laut.

Palung tersenyum miring mengejek anaknya yang membahas itu. Menurutnya, Laut hanya mewarisi wajahnya saja. Sisanya menurun sifat dan watak dari ibunya.

"Kali ini, akan aku ambil alih hukum yang mengurus kasus Ayah. Dan kau akan berurusan dengan ku, anak mu yang kau bilang bodoh," Laut menjauh dari sel tahanan meninggalkan Palung sendiriaan tanpa pamit sama sekali.

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Where stories live. Discover now