Anak Istimewa

464 40 0
                                    

Anak kecil berumur 7 tahun itu berjalan bergandengan dengan saudara lainnya. Senyumannya terbit dengan manis, mereka bergandengan bersama, saling menautkan tangan satu sama lain.

Gempa, anak itu melepaskan tautannya, meminta ijin untuk pergi kekamar mandi. Yang lain mengangguk antusias bersiap menunggu salah satu dari mereka untuk kembali.

Gempa berjalan dengan baik. Gempa anak yang istimewa, insting kepemimpinan lebih kuat dari sang sulung, dan juga insting bertahan hidupnya. Ia keluar dari kamar mandi setelah menyelesaikan hajatnya, tas yang ia letakkan diluar kamar mandi ia gendong kembali.

Tap! Tap! Tap!

Seseorang berjalan kearahnya, anak tersebut bisa membedakan mana bahaya dengan yang tidak. Sontak Gempa berjalan ke arah yang berlawanan untuk menghindari seseorang yang selama ini selalu mendatanginya. Bahkan dari suara langkah kakinya, Gempa sudah mengenali siapa orang tersebut.

Semakin cepat Gempa berlari menyusuri sekolahnya, semakin cepat pula langkah kaki tersebut mendekat. Gempa terpojok saat sudah sampai dipojok taman, kakinya tergelincir tidak mampu berlari lagi. Suara langkah kaki tersebut berhenti dihadapannya, sepatu hak tinggi berwarna merah berada didepan matanya.

Mata Gempa memanas, orang ini selalu mengganggunya semenjak kejadian yang tidak ingin ia ingat membuat Gempa menjadi salah satunya saksi.

"Gambarkan seperti apa yang kau dengar," orang tersebut memberikan selembat kertas dengan sebatang pensil, meminta Gempa menggambarkan apa yang ia dengar dari kejadian tersebut. Gempa menggeleng kuat, ia tidak inggin ikut campur dengan masalah orang ini.

Orang tersebut menginjak tangan mungil dengan sepatu hak tingginya pelan. "Gambarkan seperti apa yang kau dengar, jika tidak, aku akan terus menganggu hidup mu anak manis." Ucap orang tersebut. Gempa menangis dalam diam, dia mengangguk pelan, "a-asalkan kau tidak akan mengganggu ku lagi, a-aku akan menggambarkannya." Gempa mengambil selembar kertas tersebut setelah tangannya tidak lagi diinjak.

Gempa adalah saksi kekejaman yang orang dihadapannya lakukan, ia tidak melihat kejadiannya, namun telinganya tampak seperti CCTV. Apa yang ia dengar, ia dapat menggambarkan situasi tersebut dengan rinci. Itu yang membuat Gempa menjadi anak yang istimewa.

Gempa memberikan hasil gambarnya kepada orang dihadapannya, orang tersebut tersenyum miring. "Kau memang genius, nak. Bagaimana kau bisa menggambarkan kejadian tersebut seakurat ini?" Orang tersebut menyamakan tingginya dengan Gempa, lalu mengelus pucuk kepala Gempa. Gempa menggeleng tidak tahu, bahkan ia pikir semua orang sama seperti dirinya, namun ia salah karena seluruh saudaranya tidak memiliki kemampuan seperti itu juga.

"Kemana saja kau, Gempa?" Tanya Hali, si sulung. Gempa tersenyum ramah, "Gempa tadi kekamar mandi tapi ada kecoak, jadi Gempa basmi dulu kecoaknya." Gempa beralibi, ia tidak pernah mengatakan kepada siapa pun kejadian tersebut, atau bahkan tentang dirinya yang selalu dihantui oleh wanita tanpa perasaan itu.

"Ohh, kecoaknya tidak terbang ke Gempa kan?" Tanya Blaze dengan senyum nakalnya. Gempa menggeleng kuat, "tidak, kecoaknya kan takut sama Gempa."

---

"Gem!" Teriak seseorang pada Gempa. Gempa berbalik mencari tahu siapa yang memanggilnya dengan suara lengkingnya. Itu Yian, anak dari jurusan komunikasi. Gempa tersenyum kecil, ia baru saja sampai ke kampus, tapi tiba-tiba langsung disapa oleh orang lain.

"Hai, Yian!" Ucap Gempa. Yian mendekat, anak dengan wajah Tiongkok ini entah kenapa mendatangi Gempa.

"Apa kabar mu? Kemarin-kemarin aku tidak melihat mu, kata Faro kau sedang ijin?" Ucap Yian. Gempa mengangguk, ia tidak heran karena Faro memiliki relasi yang lumayan banyak di setara kampus ini. "Aku baik, kau juga? Aku kemarin memang ada keluarga yang meninggal, oleh karena itu aku tidak masuk." Jelas Gempa. Yian mengangguk paham.

"Oh, iya, ini Bu Mala memberikan hadiah pada mu karena jurnal yang kau buat berhasil masuk ke jurnal internasional." Yian memberikan kotak pemberian dosennya kepada Gempa, Gempa terdiam. Benarkah?

Yian mengangguk antusias. Merasa Gempa masih terlalu banyak berfikir, ia langsung menarik tangan Gempa agar menerima hadiah tersebut. "Ambilah, ini bentuk ucapan terima kasih dari Bu Mala, jangan sungkan-sungkan." Gempa mengangguk pelan, menerima hadiah tersebut.

Setelahnya Yian pamit untuk pulang karena jadwal kelas paginya sudah selesai.

"Wuis, jadian kah?" Suara Faro menginterupsi perhatian Gempa. Gempa balas menatap Faro datar. Ia memberikan kotak hadiah tersebut pada Faro, Gempa tidak minat untuk menerimanya. "Astaga, kasian Yian nanti kit heart kalau tau."

"Tidak peduli."

"Kenapa kau jadi aneh begini, hah?" Faro berjalan mengikuti langkah kaki Gempa, Gempa menggeleng malas, ia tidak perduli.

Penasaran, Faro memilih berhenti dan membuka kotak tersebut. Ia tercengang dengan isinya, aneka makanan berada didalamnya dan juga terdapat pisau yang dililit oleh kain transparan, yang dapat dilihat didalamnya terdapat bercak darah yang mengering. Letak pisau tersebut berada di bagian paling bawah aneka makanan tersebut.

"Ada masalah apa dengannya dan Yian?"

---

"Bagaimana, kau ada perkembangan?" Tanya Taufan pada Halilintar. Halilintar menggeleng. "Bagaimana aku bisa mendapatkan kembali ingatan ku?" Tanya Hali, Taufan mengendikkan bahunya. Taufan sendiri sampai sekarang masih tidak mendapatkan ingatannya sama sekali, jadi bagaimana dia bisa mendapatkan ingatannya kembali?

"Aku tidak tahu, Li. Semua sudah tidur, sepertinya kita harus bekerja sama untuk mendapatkan ingatan kita kembali."

"Jadi maksud mu, aku harus bekerja sama dengan mereka?" Tanya Hali, Taufan mengangguk semangat.

"Kita lahir bersama-sama, dan harus ingat bersama-sama. Jadi kau harus mendekat kepada mereka, setidaknya sampai kau mendapatkan kembali ingatan mu. Siapa tahu kau yang dulu ternyata lebih friendly dengan mereka dari pada sekarang yang selalu menjaga jarak?" Jelas Taufan panjang lebar. Taufan malam ini tidak bisa tidur, ia juga selalu mendapatkan mimpi buruk akhir-akhir ini yang membuatnya selalu susah tidur.

"Mungkin Blaze yang kau kenal sekarang berbeda dengan Blaze yang kau kenal dulu, mungkin dia lebih pendiam daripada yang sekarang?" Lanjut Taufan. Halilintar juga berfikir demikian, mungkin memang seharusnya ia meminta bergerak bersama adiknya untuk mendapatkan kembali ingatan mereka.

"Bahkan mungkin sampai sekarang ada yang memang memaksa kita untuk kehilangan ingatan kita untuk melakukan hal yang dulu ingin kita lawan dan hindari, secara kita terbangun dalam keadaan bersih dan sehat namun tidak mengingat apapun." Lanjutnya lagi.

"Jadi kita harus mengingat apapun sebelum hal buruk menimpa kepada kita, bukan?"

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Where stories live. Discover now