Halilintar Pulang

466 44 2
                                    

"kak Hali kenapa?"

Kalau kalian bertanya tentang suasana rumah anak kembar 7 dikurangi 1 sekarang?

Tegang.

Halilintar, si sulung, pulang dengan wajahnya yang merah padam seperti ingin mengamuk bak orang kesetanan. Seluruh saudaranya terdiam membeku. Ada apa dengan Halilintar hari ini?

Taufan bimbang ingin maju untuk menenangkannya, sebagai adik pertamanya, dia berhak mencari tahu. "Li, ada masalah?" Tanya Taufan, tangannya menepuk pelan pundak Halilintar untuk menenangkannya.

Halilintar diam, tidak ada jawaban yang keluar dari bibirnya.

"Mau Duri buat kan teh hangat untuk mu? Mungkin itu bisa membantu mu untuk menenangkan diri." Duri mendelik protes, kenapa harus dirinya yang disuruh membuat teh. Taufan hanya memberi gestur tangan, menyuruh Duri untuk menurut.

Yang lainnya hanya diam menatap Halilintar yang baru saja datang langsung membuat keadaan rumah tegang. Taufan mendekat untuk memijat pundak Halilintar, "kalau ada apa-apa, kau bisa mengatakan kepada kami." Ucapnya.

Senyap, hingga Duri datang beberapa menit kemudian membawa segelas teh hangat yang ia buat, Duri sengaja menambahkan jahe dan kayu manis agar memberi efek tenang saat meminumnya.

"Silahkan diminum, kak." Ucap Duri yang sudah menyamai pelayanan seperti pelayan cafe bintang lima. Taufan menggeser cangkir berisi teh tersebut agar Halilintar bisa meminumnya. "Minumlah, tenangkan diri mu."

Halilintar melirik secangkir teh hangat yang Duri buatkan untuknya, "kenapa harus ada jahe dan kayu manis?" Tanyanya.

"O-oh, itu, biar saat diminum ada sensasi menenangkan. Duri suka buat teh dengan tambahan jahe dan kayu manis," jelas Duri. Halilintar mengangguk membenarkan posisi duduknya untuk mencoba teh buatan Duri.

Duri benar, rasanya pedas manis dan juga hangat membantunya untuk sedikit tenang. Halilintar menghembuskan nafas kasar saat melihat ke tiga saudaranya yang lain menatapnya penasaran sekaligus takut.

"Orang tua itu..." Ucapannya terhenti saat terselip nada marah dari ucapannya. Meminum tehnya lagi untuk menenangkan diri sebelum bercerita. "Ternyata beberapa hari ini sedang berada di negara ini untuk mengantarkan ibu kembali." Ucapnya. Semua yang mendengarkan tentu saja terkejut.

"Tapi ibu tidak ada kembali pulang, terus kemana ayah dan ibu sekarang?" Tanya Solar heran. Ucapannya tidak bisa ditahan, setidaknya hanya membuat Halilintar kembali menggeram. "Ibu... Aku tidak tahu dia dimana pastinya sekarang, tapi yang pasti ibu ada di negara ini."

"Ta-tapi..." Taufan hendak protes, namun terdiam karena lirikan isyarat mata dari Ais.

"Tapi apa?"

"Tapi bagaimana dengan mu sekarang? Kau akan melanjutkan pekerjaannya?" Tanya Taufan yang langsung saja mengganti protesannya dengan pertanyaan lain. "Aku tidak akan melanjutkannya, aku ingin disini saja melanjutkan kuliah ku." Jawabnya.

"Yah, Hali pulang lagi." Gumam Blaze, namun gumaman Blaze cukup keras hingga terdengar oleh Halilintar. "Ya sudah, kau saja yang pergi." Ucap Hali enteng mengusir Blaze.

"Enak aja! Aku tidak mungkin pergi dari sini!" Seru Blaze tidak terima. Halilintar mengendikkan bahu, "terserah mu,"

---

"Lihat tu, Bu Nala sedang dijemput dengan suaminya."  Ucap Faro sembari menepuk pundak Gempa. Gempa yang sedang berjalan sambil melamun terkejut karena tepukan Fari pada pundaknya.

Gempa menoleh kearah Faro tunjuk, dimana sebuah mobil mewah yang sedang dimasuki oleh seorang wanita. Dibalik kaca mobil yang transparan, Gempa bisa melihat isi bagian dalam mobil mewah tersebut. Gempa bisa melihat paras rupa Angkasa—sang suami ibu dosennya— dari luar mobil. Gempa terkekeh dalam hati merutuki mobil mewah tersebut yang tidak diberi fasilitas kaca yang tidak bisa ditembus dengan mata telanjang orang lain.

"Itu mobil desainnya memang begitu, atau memang karena dia tidak mampu beli mobil yang lebih bagus?" Ironi Gempa. Faro bergidik mendengar ucapan Gempa, baru kali ini Gempa berani mengatai dosennya terang-terangan saat melewati mobil tersebut.

Setelah dirasa sudah jauh mobil tersebut keluar dari pekarangan kampus, Faro bertanya atas dasar apa dia berani mengatakan itu. Mungkin kalau yang mengatakan hal tersebut adalah anak tak tahu sopan santun seperti salah satu anak dikelasnya, dia tidak akan bertanya begini. Tapi ini Gempa, anak yang bahkan tidak lepas menggunakan sopan santunnya bahkan disaat sedang dicaci maki oleh dosennya.

"Kenapa kau berani berkata begitu?" Faro mendelik kaget, jelas sekali dia takut Gempa mendapat masalah karena ini. Gempa mengendikkan bahu lemas, dia tidak tahu kenapa dirinya bicara begitu tadi.

"Entah,"

Faro menepuk dahinya gemas, anak ini benar-benar membuatnya penasaran.

"Apakah kau ada hubungan yang tidak baik dengan Bu Nala? Tadi tidak seperti diri mu saja saat kau mengatakan itu, untung saja Bu Nala tidak turun dan membalas mu didepan semua orang,"

"Maaf Faro, aku sedang tidak bisa mengendalikan emosi ku akhir-akhir ini."

"Ya, tapi tidak dengan dilampiaskan seperti itu juga, itu namanya cari mati!" Seru Faro mengingatkan Gempa akan kesalahannya. Gempa mengangguk lantas permisi untuk pulang.

---

"Kau yakin dengan ayah?" Pertanyaan itu membuyarkan lamunannya. Manik mata Ruby sang sulung mengerjap pelan karena terkejut dengan perkataan orang dihadapannya. Matanya menyapu seluruh adik-adiknya yang sedang bermain bersama untuk menenangkan diri mereka masing-masing paska dikuburkannya sang ibu.

"Mungkin, aku tidak tahu apakah keputusan itu benar." Ucap Halilintar yang saat itu berumur 15 tahun. Pikirannya masih naif, tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk, begitu juga dengan saudaranya yang lain.

"Jadi, kau tetap mengikuti apa kata ayah? Bagaimana kalau ayah membuat hubungan yang kita bangun sejak dulu hancur begitu saja hanya karena ini. Apa kita tidak mencari tahu dulu siapa pelaku sebenarnya?" Omel orang dihadapannya, orang itu adalah Solar. Anak yang memprotes keputusan saudara sulungnya saat ini.

"Lalu, kau ada cara bagaimana agar kita tahu siapa pelaku sebenarnya?"

"Bagaimana pun caranya, aku masih tidak yakin kalau dia pelakunya, dia saudara kita, Li."

Halilintar mengacak rambutnya gusar, percakapannya dengan Solar 5 tahun yang lalu tiba-tiba hinggap di kepalanya akhir-akhir ini saat ia menerima pekerjaan sang ayah. Apa maksud dari percakapan itu? Itu yang Halilintar pikirkan.

Ingatan singkat itu mengganggunya, tanpa konteks yang jelas, bagaimana dia bisa mencari tahu lebih lanjut tentang masa lalunya?

"Kau kenapa? Kenapa kau tampak frustasi begitu?" Tanya yang Taufan tiba-tiba sudah sampai dimeja belajarnya. Halilintar menggeleng lemah, dia tidak ingin menjawabnya.

"Apa kau tidak penasaran untuk mencari masa lalu tentang kita? Kita berenam?" Tanya Hali. Taufan mengambil cemilan yang ia bawa tadi dan mengunyahnya, "kenapa kau tiba-tiba terpikir untuk mencari tahu? Bukan kah kau percaya dengan ayah?" Tanya Taufan enteng.

Halilintar mengendikkan bahu. "Entah lah. Apa sebaiknya aku mencari tahu tentang itu?" Taufan menaikkan satu alisnya.

"Coba saja."

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Where stories live. Discover now