Ais Pingsan

788 62 0
                                    

“Gempa, ini, bu Mala minta tolong untuk dibuatkan jurnal untuknya.” Seseorang tiba-tiba memanggilnya lalu menyerahkan beberapa kertas hasil penelitian milik dosennya. Gempa terkejut kala orang tersebut menahannya untuk pulang dan menyampaikan perintah dosennya padanya.

“Aku Yian, dari jurusan komunikasi. Ini, ambil lah! Kertas laporan penelitian dari bu Mala.”

Yian, memperkenalkan dirinya setelah itu kembali menyerahkan kertas ditangannya. Gempa mengangguk menerimanya lalu mengambil kertas tersebut dari Yian.

“Kenapa bu Mala tidak langsung mengatakannya pada ku saja?” Tanya Gempa pada Yian. Yian mengendikkan bahunya. “Entah, coba saja tanya ke bu Mala langsung,” ucap Yian. Gempa mengangguk kaku. “Terima kasih,” ucap Gempa saat Yian sudah pergi meninggalkannya.

Dikejauhan, Yian menelefon seseorang. “Ternyata dia yang bernama Gempa? Kau yakin dia menginginkan anak itu?” ucapnya dengan lawan bicaranya ditelefon.

---

“Blaze, jangan lari!” Teriak Ais pada Blaze yang berlari meninggalkannya. Ais kesusahan menghirup udara karena lelah berlari mengejar Blaze yang berlari jauh meninggalkanya. Blaze terus berlari tidak menghiraukan saudaranya yang mulai kelelahan.

Ais yang kelelahan tidak sadar tersandung batu disekitar jalan, membuatnya terjatuh. Ais mengaduh kesakitan dan merutuki saudaranya yang sedari tadi berlari meninggalkannya. Dikejauhan, Blaze merasa Ais sangat lambat. Dirinya menoleh ke belakang merasa tidak melihat keberadaan Adik kembarnya, Ais.

Blaze yang merasa lelah pun mencari tempat duduk untuk mengistirahatkan kakinya yang sedari tadi terus berlari.

Blaze selalu seperti ini, saat ia tidak menggunakan kendaraannya dirumah. Menurutnya, justru dengan berlari sesekali membuatnya lebih sehat bugar. Karena itu, ia memilih berjalan dari pada menggunakan kendaraannya tadi. Namun, ia harus berlari sedikit perlahan karena harus pulang bersama saudaranya yang bahkan tidak pernah berolahraga.

Blaze menghela nafas ketika merasa sudah lama menunggu. Apa yang membuat saudaranya begitu lama berlari?

“Dasar pembuat onar! Kaki ku sakit tau tidak.”

Ais datang dengan berjalan pincang serta lagi-lagi mengaduh kesakitan. Melihat itu, Blaze melebarkan matanya kala melihat kaki Ais yang celana sudah robek dan terdapat yang darah masih baru.

“Kenapa kaki mu jadi seperti ini?” Tanya Blaze yang sedikit khawatir dengan saudara kembarnya. “Kalau bukan karena kau yang berlari meninggalkan ku, aku tidak akan terluka karena jatuh.” Jelas Ais sembari menatap tajam kearah Blaze.

Blaze mendengarnya terkejut kala Ais menyalahkannya. “Kenapa bisa aku?” Tanya Blaze. “Karena mu, aku tersandung batu tadi.” Cicit Ais. Mendengar itu, Blaze tertawa. Menertawakan Ais yang berkata tersandung batu.

“Sungguh? Kau kalah dengan batu? Ish, ish. Kau ini lucu sekali! Bagaimana bisa kau tersandung batu jika kau tidak melihat jalan dengan baik?” Blaze mengejek Ais dan menertawakannya.

“Sudah! Kenapa kau masih disini? Menunggu ku, heh?” Ais memotong Blaze yang masih ingin mengejeknya itu agar berhenti. “Ya, kau lambat sekali berlari. Jika bukan karena aku kasihan pada mu  aku tidak akan menunggu disini.” Ais memukul lengan Blaze pelan, kesal mendengarnya.

“Cih, jawaban apa itu?”

“Ayo pulang, ini sudah malam.” Blaze berdiri merasa kakinya sudah membaik. Merenggangkan otot-ototnya bersiap untuk kembali berlari.

“Kau lupa kaki ku sedang sakit?” Tanya Ais menunjukkan kakinya yang sedang kesakitan. Darahnya sudah mulai mengering namun rasa sakitnya masih terasa. “Kali ini kita berjalan saja sampai rumah.” Blaze mengulurkan tangannya berusaha membantu Ais berdiri.

Kasian dengan saudara kembarnya, hingga Blaze berbaik hati agar kembali pulang dengan berjalan, bukan berlari seperti tadi. Saat berdiri, Ais, merangkulkan tangannya dileher Blaze agar membantunya berjalan.

“Blaze, pelan-pelan jalannya. Ya, ampun.” Ais meringis ketika Blaze mempercepatkan jalannya.

“Kau berat, Ais. Kalau kita jalannya pelan-pelan, Bisa-bisa pundak ku encok besok,” oceh Blaze pada saudaranya.

“Pelan-pelan, Blaze, di depan ada tangga.” Ais mengingatkan Blaze agar berjalan perlahan ketika melihat ada tangga didepan.

“Hati-hati!”

Ais memperingati Blaze sekali lagi. Blaze menuruni tangga dengan perlahan mengeratkan pengangan Ais agar mereka dapat turun dengan selamat.

Namun ditengah tangga, mereka dikejutkan dengan siluet manusia lain, yang juga ikut menuruni tangga. Blaze yang ketakutan dengan cepat menuruni tangga tanpa menghiraukan Ais yang kesakitan, membuat sang empu yang dirangkul salah menapakkan kaki di tangga berikutnya.

Ais jatuh menggelinding di tangga. Blaze yang tidak mampu menahan beban Adiknya itu pun ikut terjatuh ditangga.

Ais menjerit kesakitan kala kakinya kembali kesakitan. Darahnya kembali mengucur sedikit lebih deras dari sebelumnya. Ais yang berhenti tepat dibawah tangga meringis kesakitan. Disatu sisi, Blaze yang juga ikut jatuh, pun berhenti tepat diatas tubuh Adik kembarnya yang sedang kesakitan.

Ais pingsan setelahnya. Tubuhnya tak bergerak ketika Blaze berhenti tepat diatas tubuhnya. Hidungnya mengeluarkan darah amis. Blaze kali ini benar-benar khawatir kala Ais tidak sadarkan diri.

“Ais! Ais! Bangun, Ais. Ini bukan waktunya tidur, Ais. Bangun!”

Blaze yang kepalang panik memeriksa detak jantung Ais yang masih berdenyut. Ia menghela nafas. Siluet manusia tadi mendekat. Ia mengenakan topi yang sedikit menutupi wajahnya. Blaze merasa mengenali orang dihadapannya ini walau separuh wajahnya ditutupi oleh topi yang ia kenakan.

Orang itu mendekat, membersihkan luka Ais dengan air, yang entah ia dapat dari mana. Orang tersebut merobek kaus yang ia pakai untuk memperban luka Ais. Blaze terkejut melihatnya.

Orang tersebut lalu memetik daun sirih yang berada disekitar perkarangan rumah orang. Kemudian menggulungnya dan memasukkannya di lubang hidung Ais yang mengalir cairan merah, untuk menghentikan darah yang mengalir.

"Nah, sudah! Emm, tolong dia jangan jalan dulu, ya, emm.... " orang tersebut berdiri sesudah mengobati luka Ais.

"Blaze. Ini, Ais." Jawab Blaze yang mengerti maksud orang itu pun memberitahu namanya.

"Ah, iya! Tolong, Ais, jangan jalan dulu. Setidaknya digendong. Karena lukanya masih belum kering." Orang itu menunjuk Ais kemudian melenggang pergi meninggalkan mereka.

Blaze berusaha menghentikan langkah orang itu.

"Tunggu! Jangan pergi, setidaknya saya bisa melihat mu sekali."

Orang tersebut menolak. "Tidak bisa. Saya sedang terburu-buru."

Blaze masih berusaha menahan orang tersebut, namun, orang itu keburu berlari menjauh meninggalkan mereka. Blaze ingin mengejar orang yang sudah membantu mengobati luka Ais itu tapi tidak jadi, ketika melihat Ais mulai sadarkan diri.

“Terima kasih,” ucap Blaze, sebelum orang itu benar-benar menghilang dari pandangannya.

“Ibu,”

Ais mengigau memanggil ibunya. Blaze merasa kasihan melihatnya. Melihat jam ditangannya yang sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Saudaranya saat ini pasti menunggunya. Blaze pun menggendong tubuh Ais dipunggungnya.

Blaze membawa tubuh saudaranya yang berat itu dipunggungnya hingga sampai dirumahnya.

"Blaze."

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Where stories live. Discover now