Bersih-Bersih Day

346 34 1
                                    

"Gem, kau harus tau." Blaze berlari mengejar Gempa yang akan masuk kedalam gedung kampusnya. Nafasnya tersenggal-senggal.

"Kau, huh, ada waktu!?" Tanya Blaze. Gempa mengangguk. "Ada sebentar. Kau mau ngomong apa?" Tanya Gempa. Bisa dilihat Blaze masih mengambil nafas. Gedung fakultasnya lumayan jauh dengan gedung fakultas Gempa, karena itu ia sekalian berlari untuk mengejar Gempa sebelum masuk kedalam.

Blaze ada sedikit kesenjangan dengan anak jurusan arsitek, karena itu ia enggan buat masuk kedalam.

"Semalam, tunggu bentar, aku ambil nafas dulu." Ucap Blaze. Gempa diam menurut, dia juga penasaran dengan Blaze yang menahannya. Setelah dirasa sudah bisa bernafas dengan baik, Blaze mengambil ancang-ancang untuk berbicara.

"Semalam ada yang..."

"Weh, Gem. Pak Andik hari ini masuk weh, kita harus masuk lebih dulu." Ucap Faro yang tiba-tiba datang dan merangkul pundak Gempa untuk masuk kedalam. "Yang bener Ro?" Tanya Gempa. Faro mengangguk.

"Makanya kita harus masuk lebih cepat," Ujar Faro.

"Tunggu! Aku mau bicara sama Gempa dulu, jangan asal narik!" Seru Blaze. "Tidak ada waktu, Blaze. Hari ini dosen paling killer di fakultas arsitek bakal masuk. Bicaranya nanti aja." Ucap Faro sembari menarik Gempa.

Bisa dilihat wajah Blaze sudah menggembung marah. Padahal dia sudah berlari dari gedungnya ke gedung Gempa buat beri tau hal penting, malah diambil alih gitu aja. Belum juga ngomong.

"Ceh, awas kau, Faro. Ribut nanti kita!" Serunya pada Faro yang masih tidak jauh darinya.

---

"Tn. Raenggae sudah pulang. Katanya bakal ada meeting sejenak dengan koleganya, setelah itu ia akan pulang kerumah." Ujar seseorang dibalik telefon. Halilintar sudah menelfon ayahnya berkali-kali tapi tidak mendapat jawaban.

Pagi tadi ia melihat sepatu ayahnya bertengger dirak sepatu, tapi saat ia cari keberadaannya tetap tidak ditemukan. Hingga akhirnya ia memilih untuk menelfon sekertaris sekaligus tangan kanan ayahnya selama 5 tahun terakhir yang ia ingat.

"Oke, kalau begitu. Kalau ada kabar lain beritahu aku." Ucap Hali sembari mematikan panggilan secara sepihak.

"Bagaimana katanya, Li?" Tanya Solar yang sedang duduk disebelahnya. "Katanya sudah pulang. Tapi sampai sekarang tidak datang." Ucap Hali.

"Huh, apakah perdebatan kalian serumit itu sampai ayah tidak mau mengangkat telfon? Untung Blaze sudah sembuh, kalau tidak?" Ujar Solar. Hali menggeleng lesu. Ini salahnya karena memilih memberontak dengan ayahnya, karena terkadang dia membutuhkan orang tuanya disaat seperti ini.

"Bagaimana kalau ayah akan mengusir kita juga? Em, seperti Gempa?" Tanya Duri tiba-tiba. Hali mengangkat kepalanya meneliti mata Duri setelah mendengarkannya.

"Apa maksudmu?" Tanya Hali.

"Di mimpi ku, Gempa tampak seperti diusir dari rumah. Kira-kira siapa yang berani mengusirnya? Padahal Gempa anak baik-baik." Ucap Duri.

"Dia memang kejam jika mengusir kita juga. Tapi siapa tau juga dia dengan hati melakukannya." Ujar Ais. Sedari tadi Ais mendengarkan percakapan mereka bertiga dengan setengah sadar.

"Itu terlalu kejam untuk mendefinisikan ayah, Ais. Kau yakin dia akan melakukan itu?" Tanya Hali. Ais hanya mengendikkan bahu tidak peduli.

"Kalau ayah memang berani melakukan itu, artinya dia memang tidak menginginkan kita. Terus buat apa kita dipertahankan sampai sebesar ini kalau dia berani mengusir kita?" Ucap Taufan ikut menimbrung.

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Where stories live. Discover now