Rindu Gempa

599 50 0
                                    

"Taufan, Blaze, Ais, Duri dan Solar." Halilintar mengabsen satu-satu nama adiknya, ia merasa ada yang kurang ketika mengabsennya. Halilintar mengambil nafas berat sebelum melanjutkan perkataannya.

"Aku disini untuk minta tolong kerja sama ke kalian," Halilintar menatap ke arah Taufan agar ia dapat menguatkan dirinya, siapa tau Taufan akan menyemangatinya.

"Tolong apa?" Tanya Blaze.

"Kita harus bekerja sama agar kita mendapatkan kembali ingatan kita bersama." Ucap Hali. Setelah berkelahi dengan pikirannya, akhirnya sekarang dia dapat mengatakannya dengan gamblang. Yang lain terdiam kecuali Halilintar dan Taufan, mereka saling pandang untuk mempertimbangkan perkataan kakaknya.

Blaze mengangkat tangan tinggi, Halilintar mempersilahkannya untuk berbicara. "Aku mau, asalkan kau memberikan seluruh uang jajan ku perbulan yang kau tahan di rekening mu." Ucap Blaze bernegosiasi.

"Bagaimana bisa, nanti kau," Halilintar hendak protes namun Blaze menyahut lagi. "Kau kembalikan seluruh uang jajan ku, maka aku akan mau bekerja sama dengan mu. Jika kau tidak mau, maka aku tidak mau bekerja sama dalam bentuk apa pun dengan mu." Jelas Blaze, pernyataannya tidak mau diganggu gugat. Ini sudah 3 bulan semenjak uangnya ditahan di rekeningnya, ia tidak tahan lagi.

"Akan ku pikirkan lagi, Blaze. Yang lainnya bagaimana?" Halilintar mengambil nafas berat sekali lagi. Hal ini yang ia tidak inginkan dari saudaranya, licik.

Yang lain mengangguk setuju, begitu juga Taufan.

---

"BAH!" Duri mengagetkan seseorang yang ia ikuti dari kampus sampai rumahnya. Gempa, orang itu terkejut melihat keberadaan Duri didekatnya.

"Kenapa kau bisa berada disini? Kau mengikuti ku!" Seru Gempa. Jantungnya serasa mau copot saat Duri tiba-tiba mengagetkannya. Duri terkekeh kecil, dia tadi terlintas dipikirannya untuk mengikuti Gempa saat pulang kerumahnya, untung saja Gempa pulang kerumahnya dengan berjalan.

"Aku merindukan kak Gempa!" Seru Duri memeluk Gempa. Tanpa sadar Gempa tersenyum, ia merindukan pelukan ini. "Sudahlah, Dur. Ayuh, masuk ke dalam. Aku lapar ingin makan." Ucap Gempa melepaskan pelukan Duri. Duri tersenyum cerah, entah kenapa rasanya ia merindukan eksistensi Gempa dikehidupannya.

"Nah, masakannya sudah jadi!" Seru Gempa meletakkan sepiring makanan miliknya dan Duri di meja makan. Duri menatap antusias masakan tersebut, aroma masakannya sangat nikmat, membuat perut Duri berbunyi lapar. Duri mengambil sesendok makanan tersebut dan memakannya, matanya berbinar saat merasakan masakan tersebut.

"Enak banget!" Seru Duri, setelahnya ia melahap isi piringnya seperti orang yang sudah tidak diberi makan berhari-hari. Gempa tersenyum bahagia, ia suka melihat senyum saudaranya saat seperti ini. Senyum saudaranya menjadi penyemangat Gempa untuk selalu bertahan hidup.

"Nanti kak Gempa masakin yang banyak buat kamu gimana?" Tanya Gempa sembari melahap makanannya. Mata Duri berbinar mendengarnya. "MAU!" Ucapnya. Sepertinya nanti ia akan beritahukan kepada saudaranya yang lain kalau masakan Gempa memang yang terbaik!

"Masakan kak Taufan dengan kak Hali juga enak, tapi tidak seenak ini. Ini masakannya Kak Gempa enak banget! Sepertinya nanti Duri bakal sering dateng kesini buat makan masakannya kak Gempa" Seru Duri. Mulutnya penuh dengan makanan yang ia puji-puji sedari tadi.

Gempa terkekeh senang, ia tidak masalah bahkan kalau seluruh saudaranya datang, ia justru senang bukan main. "Tidak apa, sering-seringlah datang kemari, aku akan membuatkan makanan yang kau mau." Ucap Gempa, Duri tentu saja mengangguk senang jika dipersilahkan untuk datang setiap hari.

Usai makan, Gempa membersihkan alat makan yang ia gunakan tadi. Duri juga sudah menawarkan diri untuk membantu Gempa, namun Gempa menolak dengan alasan tidak ingin merepotkan. Jadilah sekarang Duri duduk diruang tamu sembari melihat setiap sudut rumah Gempa. Rumah Gempa sangat kecil dibandingkan rumahnya yang sangat besar.

"Kak Gempa selalu sendirian dirumah ini?" Tanya Duri, Gempa mengangguk. Setelahnya hening, Duri mencari topik agar tidak mati percakapan.

"Kak Gempa kerja apa sekarang? Tidak mungkin kan kak Gempa tidak kerja?" Tanya Duri, dalam hati Duri merutuki dirinya sendiri karena mati topik. Seharusnya dia memikirkan akan berbicara apa sebelum bertemu dengan Gempa.

"Oh, hanya kerja jual jasa aja. Kalau perlu uang, kak Gempa coba jual jasa ke orang yang membutuhkan." Jelas Gempa.

"Wah, gitu yaa, pasti lelah! Kalau aku si sudah dapat uang jajan dari ayah, tapi sesekali kak Hali disuruh mengambil alih pekerjaan ayah." Jelas Duri. Gempa mengangkat kedua alisnya bersiap mendengarkan.

"Kak Hali kerja mengambil alih pekerjaan ayah bukan di perusahaan yang ada di negara ini, selalu disuruh keluar negeri."

"Terus gimana dengan kuliahnya?" Tanya Gempa. Duri tampak berfikir, "katanya si homecampus, mau bilang homeschooling tapi kak Hali sudah kuliah." Jelas Duri.

"Eh, homecampus? Memangnya ada yang seperti itu? Aku baru tau." Ujar Gempa bingung, baru sekarang ia tau ada yang namanya kuliah dirumah.

"Eum, yah, yang kuliahnya di Hp itu loh. Kalau Duri tanya ke kak Taufan, katanya homecampus. Karena itu Duri juga bingung." Jelas Duri. Gempa akhirnya paham, ternyata kata homecampus itu berasal dari Taufan, padahal lebih tepatnya bisa dikatakan kuliah online daripada homecampus.

"Tidak ada yang namanya homecampus, itu namanya kuliah online, Duri. Taufan itu buat-buat nama aja, aslinya tidak ada yang namanya homecampus." Ujar Gempa membimbing Duri ke arah yang benar. Duri memangut paham, akhirnya ada yang membimbingnya ke jalan yang benar.

"Tapi jaman kuliah online itu sudah lewat loh, memangnya bisa ya kuliah online begitu?" Duri mengangguk kuat. "Bisa, karena pemilik kampusnya itu sepupu ayah sendiri." Jelas Duri.

"Sepupu ayah? Siapa namanya?" Tanya Gempa. Duri tampak berfikir lagi, Duri sepertinya lupa dengan silsilah keluarganya karena itu ia tidak mengingat nama sepupu ayahnya. "Duri tidak ingat, kak. Setahu Duri, sepupu ayah hanya ada satu." Gempa mengangguk, segala ingatan berputar dipikirannya, tentang seseorang yang begitu kejam padanya dulu.

"Oh, memangnya Duri tidak mengingat apa pun sampai saat ini?" Tanya Gempa, Duri menggeleng lemah. "Setiap Duri mencoba mengingat lebih lanjut, kepala Duri selalu sakit, Duri tidak berani memaksanya karena takut Duri pingsan lagi. Jujur, mimpi Duri saat itu benar-benar mengerikan, Duri tidak berani." Jelas Duri.

Gempa mengerti, ia pernah merasakan itu juga, mungkin pengecualian untuk yang pingsan. Gempa mengusak pucuk kepala Duri, "kalau Duri akhirnya ingat, beritahu kakak, ya?" Duri mengangguk semangat. Duri masih tidak mengerti apa yang menimpa kepada mereka, yang ia tau hanya kebersamaan dan kasih sayang, selain itu ia masih berusaha mencernanya.

Gempa Pembunuh? [Tamat] ✓ (Revisi) Where stories live. Discover now