Bab 33. Dalam Satu Meja (2)

5 1 0
                                    

Kini mereka semua berkumpul di dalam satu meja, entah keberuntungan atau sesuatu yang seharusnya dihindari, kursi Alina berada tepat diseberang kursi Aqsa yang duduk sendiri di sisi lain meja, sementara disisi kiri mereka ada Yagiz dan Andra diikuti Hera yang duduk tepat disamping Alina, sesuai posisi awal mereka.

Alina berusaha menyembunyikan keterkejutannya, Ia tidak menyangka bisa bertemu Aqsa disini lagi, setelah insiden dirumah sakit waktu itu. Ditambah rumor yang berkembang, cukup membuat Gadis itu merasa tidak nyaman bertemu Aqsa untuk saat ini, Gadis itu melirik sekilas pada air muka Hera yang nampak tenang tetapi Ia bisa membaca jika ada binar kebahagiaan di wajahnya.

"Karena semua sudah berkumpul, ayo dinikmati makanannya, kali ini biar Aku yang mentraktir sisanya" Yagiz yang menyadari kecanggungan di antara mereka, segera memulai obrolan.

"Tentu saja, Aku akan menghargai pemberianmu. Dengan menikmati semua makanan ini!" Celetuk Andra di selingi tawa ringan, meski begitu Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari ketiga orang di hadapannya saat ini.

"Bagaimana keadaanmu Aqsa? Maksudmu luka di bahumu apa sudah membaik?" Suara Hera dan suara gelas kaca yang diletakkan di atas meja kayu bisa terdengar pada saat yang sama.

Alina yang segera menyadari kearah mana pembicaraan ini buru-buru menyesap minuman yang Ia pesan. Ia berusaha tenang meski hatinya tidak karuan.

Aqsa terdiam sejenak, tanpa di sadari Ia melirik sekilas pada Alina sebelum menjawab pertanyaan Hera. "Tentu saja, semua sudah ditangani dengan baik oleh dokter. Terimakasih sudah menanyakan keadaanku Hera"

Hera kemudian melirik pada Alina yang masih terdiam diposisinya. "Alina, bagaimana denganmu? Apa kamu baik-baik saja? Bukankah malam itu kamu juga korban dari kejadian itu," Nada bicara Hera masih terdengar ramah seperti di awal.

"Tidak ada masalah, Kak. hanya terkena lecet sedikit." Ia membalas seperlunya.

Hening sejenak, semua orang terlihat sibuk dengan makanan mereka masing-masing.

Andra berdeham cukup keras "Halooo... apa aku sedang sendirian disini? Ayolah guys kapan lagi kita bisa ketemu kayak gini!," Ucap Andra tiba-tiba. Memaksa mereka semua segera menoleh kearah Pemuda itu.

Mendengar ucapan Andra, Yagiz melempar tatapan sinis pada sahabatnya itu, padahal baru saja beberapa saat yang lalu Andra terlihat menggerutu karena dipaksa menemani Yagiz kemari, sekarang Ia malah lebih bersemangat dari yang lain.

"Alina, jangan terlalu tegang. Anggap saja kita adalah teman bukan senior atau semacamnya" ucap Yagiz, Ia nampak menyadari ketidaknyamanan Alina.

"Bukankan itu benar, Hera, Andra dan Aqsa?" Tambahnya sambil melirik yang lain.

Tanpa sengaja Alina mengarahkan pandangannya pada Aqsa. Tetapi buru-buru mengalihkannya kearah jendela dimana sinar matahari sore memantul lembut dibalik siluet Pemuda itu.

"Benar, anggap saja kami temanmu" Dengan tenang, Aqsa setuju, diikuti anggukan Hera yang terlihat masih dengan senyuman ramahnya.

"Astaga! Lenganku terkena tumpahan kopi. Aqsa, tolong pinjamkan sapu tanganmu. Kau pasti membawanya, kan? Sapu tangan biru itu..."

"Biarkan aku yang mengambilnya," tambahnya cepat. buru-buru Andra meraih tas yang diletakkan Aqsa di kursi kosong di sampingnya. Namun, Aqsa dengan sigap menangkap tangan Andra, lalu membisikkan sesuatu.

"Aku tidak membawanya, Andra. Lagipula, bukankah masih ada banyak tisu di sini? Kenapa tiba-tiba kau mencari sapu tangan?"

Ucapan Aqsa dibalas dengan tawa kikuk Andra yang menampakkan deretan giginya yang rapi.

~•◇•~

Percakapan itu berakhir ringan, dan suasana di antara mereka mulai mencair. Ketegangan di awal perlahan memudar, meski Alina masih tidak banyak berbicara. Ia hanya menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ditujukan padanya. Begitu pula dengan Aqsa, yang berbicara seperlunya, Ia tampak tenang sepanjang obrolan.

Tak lama kemudian, Alina berpamitan lebih dahulu dari yang lain. "Saya masih harus membantu ibu di toko bunga," ujarnya dengan sopan. Alasan itu terdengar cukup ampuh hingga Hera dan yang lainnya enggan menahannya lebih lama.

"Tentu saja! Aku akan mampir ke toko bungamu kalau sewaktu-waktu butuh buket atau karangan bunga," ujar Hera sambil tersenyum ramah sebelum Alina benar-benar meninggalkan meja mereka.

~•♡•~

Itu adalah hari yang cukup melelahkan, setelah mengantar beberapa paket bunga, sorenya kedua Gadis itu terlihat berjalan dengan santai melintasi trotoar di pinggir jalan raya. Alina dan Sasha terjebak dalam pikiran  masing-masing. Namun, sesekali Mereka terlibat dalam obrolan kecil.

Alina menengadahkan pandangannya ke langit, Bersih tanpa awan, hanya ada hamparan langit biru yang luas tak berujung. Gadis itu kemudian berhenti sebentar, merogoh saku tas yang Ia bawa, mengeluarkan sapu tangan mawar miliknya yang berwarna biru, persis seperti langit diatas.

"Apa sapu tangan yang dibicarakan Kak Andra di cafe, adalah sapu tangan yang sama dengan yang aku lihat di depan stadion waktu itu?" Gumamnya.

Menyelam terlalu lama ke dalam pikirannya, Alina yang masih melamun hampir saja tersandung sepatunya sendiri ketika Sasha mendadak menarik gadis itu ke tepi jalan. Bersamaan dengan itu terdengar suara klakson mobil yang dibunyikan cukup keras, ditujukan kepada Mereka berdua.

"Alinaaa...!!! ada apa, Al? Kamu ngelamun? Itu lampu merah!" Sasha yang panik tanpa sadar mengeluarkan suara alto-nya yang khas hingga membuat pejalan kaki disekitar Mereka terkejut.

"Maaf aku nggak sadar" jawab Alina dengan suara pelan.

"Apa kamu ada masalah? di sekolah?,"

"Tidak, tidak ada masalah" bantah Alina cepat. Ia sendiri juga tidak mengerti kenapa mendadak Ia teringat tentang ucapan Kak Andra soal sapu tangan waktu itu.

Mereka kembali lebih awal dari perkiraan dan sampai ditoko ketika hari masih cerah. Keduanya kemudian berpisah dipintu masuk Oddflorist dan kembali fokus pada urusan masing-masing, Sasha yang segera menempati posnya, sementara Alina duduk kursi kayu diujung ruangan, mengistirahatkan dirinya sejenak.

Gadis itu akan memejamkan matanya, namun terdistraksi oleh suara ponsel yang tiba-tiba berdering.

Kak Nadita's Call..... 📲

Berita dari Kak Nadita hari itu ibarat, (Alina) seorang pengembara yang akhirnya menemukan oasis setelah berjalan ratusan km di padang pasir.

Alina menepuk pipinya pelan, memastikan jika apa yang Ia dengar barusan bukanlah mimpi.

Alina membaca email itu sekali lagi. Dan ya, tulisannya masih sama. Ucapan selamat karena karya tulis yang Alina kirim akan dijadikan salah satu dari dua perwakilan yang akan mewakili sekolah dalam lomba penulisan artikel ilmiah yang diadakan oleh kementerian Pendidikan.

"Selamat Mbak Alinaa... Aku turut berbangga atas pencapaianmu!" Sasha yang mendengar teriakan Alina segera berlari kearah Gadis itu dan memeluknya erat.

Kehebohan keduanya berakhir tatkala suara lonceng dipintu masuk Oddflorist berbunyi, yang berarti seorang pelanggan sudah masuk dan saatnya kembali bekerja.

Alina menyipitkan matanya, memastikan jika apa yang baru saja Ia lihat bukanlah ilusi optik atau semacamnya.

Seorang Gadis berpakaian yang memadukan warna hitam-putih. Dengan celana wide-leg pants, blouse oversize, dan pasmina hitam yang ditata rapi di kepalanya, berdiri diambang pintu.

"Kak Hera??"

"Alina? Apa aku mengganggumu? Tapi tokonya masih buka kan?" Ia bertanya dengan ramah.

Sementara Alina masih terpaku ditempatnya. Pertanyaan-pertanyaan aneh bermunculan dikepalanya. Darimana Hera tau alamat tokonya?.

"Jangan kaget seperti itu," Hera mengeluarkan ponselnya sembari menunjukkan kontak milik Gaza yang terlihat jelas disana..

"Nih, aku mendapatkan alamat mu dari sini. Sumber terpercaya dan relevan."

To Be Continued...

The OddloveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang