2.

389 18 0
                                    

Senin ini aku terpaksa bolos sekolah. Aku tidak dapat menemukan gawaiku berada di mana untuk menghubungi ketua kelas alasan ketidakhadiranku. Karena perbuatan pria itu kemarin membuat aku demam tinggi dan tidak bisa meninggalkan tempat tidur.

Butuh usaha keras juga bagiku untuk menempati kamarku sendiri dan membuang kain seprai yang ada bekas noda darahku, di kamar yang dulunya milik mamah dan papah.

Bi Mina, orang yang mamah tugaskan untuk bebersih rumah dan memasak di pagi dan sore hari sudah mengabari bahwa pekerjaannya sudah selesai, dia akan kembali lagi sore nanti untuk masak makan malam. Rumahku memang jadi kosong karena mamah lebih suka berada di tempat kerja sementara aku membunuh sepiku di Kafe Dara. Kami memangkas art dan hanya memanggil tukang jika diperlukan.

Rasa lemas karena sakit membuatku jatuh tidur berkali-kali. Hingga berjam-jam kemudian, sayup-sayup aku mendengar suara mamahku, bernama Miranda, sedang berbicara dengan entah siapa. Kulihat itu adalah jam empat sore saat aku bangun dan duduk di tempat tidur.

Pintu kamar dibuka dari luar.

Aku terkejut melihat siapa yang datang, berteriak marah, "Ngapain, Mamah, bawa dia ke sini? Suruh dia pergi!"

Mamah berjalan terburu-buru mendekatiku, panik, "Jennie, kok kamu kasar gitu, sih? Dia kakak kamu sekarang! Hormati dia."

Aku menggeleng kepala menolak untuk patuh pada ucapannya.

Dia jahat, Mah. Dia sudah merudapaksaku. Kalimat barusan hanya bisa diutarakan hatiku yang menangis pilu. Entah mengapa aku tidak bisa untuk memberitahunya, lidahku seakan kelu untuk mengadu.

Aku sangat ingin mengatakannya.

Sementara Mamah akhirnya sadar bahwa aku sangat pucat dan mengecek suhu tubuhku dengan tangan, kulihat Jerico tengah memandangi seisi kamarku yang bernuansa oranye karena aku suka buah jeruk. Di tangannya juga ada parsel buah yang isinya jeruk semua. Pasti mamah yang membeli untukku.

  "Ya ampun, Jenn, badan kamu panas banget! Kita ke rumah sakit sekarang, yuk?" Mamah terlihat panik.

Kulihat sekarang Jerico memusatkan pandangannya padaku, aku kemudian menatap mamah.

"Gak mau, Mah," tolakku. "Suruh dia pergi aja."

"Ssst, jangan gitu dong, Jennie. Kamu harus baik sama dia karena Kak Jerico itu sangat perhatian sama kamu. Kak Jerico sendiri lho, yang ngajakin Mamah nengok kamu ke sini. Tadi pagi Mamah nitipin bekal makan siang ke Kak Jerico untuk kamu tapi  katanya kamu gak sekolah. Dan ternyata kamu sakit. Coba kalo Kak Jerico gak inisiatif ajak Mamah liat kamu, siapa yang bakal tahu kamu sakit? Kamu kalo sakit kan gak bisa ngapa-ngapain selain tidur."

Entah bagaimana aku mendengar mamah sangat memuji-muji anak tirinya secara tidak langsung. Aku tidak suka.

"Kamu belum makan, 'kan? Mamah buatin bubur ya?"

Aku hanya diam dan kembali berbaring, bahkan sampai menutupi seluruh kepala dengan selimut. Entah seperti apa tingkah Jerico di rumah mereka sampai-sampai mamah menyukainya.

Kudengar mamah menghela napas dan berbalik pergi.

"Nak, bisa minta tolong jaga Jennie sebentar? Mamah mau ke dapur buatin dia bubur. Sekalian masakin kamu makan. Jadi mungkin agak lama, bisa ya?"

"Oke."

Hatiku bergetar takut tahu akan ditinggal berdua dengan Jerico. Jadi, aku membuka selimut seraya duduk lagi tapi itu bersamaan dengan mamah yang melangkah keluar dari kamar.

Aku membuka mulut, berteriak kalut, "BIAR BI MINA AJA, MAH, YANG MASAK! JANGAN PERGI!"

Aku melihat Jerico menyeringai dan dagunya terangkat tinggi, seolah-olah menantang akan sejauh mana aku bersikap di depannya. Aku merasa sangat tegang di tengah kegundahan hatiku.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang