19.

137 9 2
                                    

Aku berjalan sambil menunduk ketika menuruni tangga. Suara sendal Jerico terdengar dua langkah di depanku. Aku memakai baju berlengan panjang dan leher tinggi untuk menutupi bercak-bercak merah yang dibuat Jerico pada tubuhku.

Sejujurnya pikiranku masih linglung dan tidak percaya, kelinci kecil sepertiku kini malah mengikuti serigala yang selama ini ingin sekali kusingkirkan.

Dia dan aku saling diam saat melewati beberapa ruangan hingga akhirnya sampai di meja makan. Kini aku menegakkan kepalaku dan berusaha tampil sebaik mungkin di depan mamah dan papah baruku. Mamah tersenyum begitu melihatku, beliau duduk di kursi sebelah kanan.

Sementara itu Jerico menarik kursi di sisi kiri meja makan dan mengodeku untuk duduk di sana, dia sendiri duduk di sampingku. Jadi, posisi kami: Papah Hendra di kursi kepala, Jerico dan mamah duduk berhadapan, lalu aku di samping kakak tiriku.

Raut wajah mamah terlihat heran dengan posisi yang dibentuk oleh Jerico, tetapi wajahnya kembali berseri-seri. Mungkin beliau berpikir bahwa hubunganku dan Jerico sudah seperti adik-kakak sungguhan.

"Papah, maaf tadi aku ketiduran jadi gak sempet nyapa," kataku sebagai bentuk formalitas.

"Tidak apa, Jennie, belajar di sekolah juga pasti melelahkan," balas Papah Hendra bijaksana. "Papah seneng akhirnya kamu mau tinggal di sini sama kita."

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Semua makanan lezat sudah di masak oleh koki pribadi dan dihidangkan dengan menarik di meja makan. Sayangnya, aku sama sekali tidak berselera untuk makan.

Meski begitu, aku tetap memasukan makanan ke perutku. Kami berempat makan dengan tenang. Dan setelah selesai, Papah Hendra menyuruh untuk bersantai di ruang keluarga.

Jerico lagi-lagi membuatku duduk di sebelahnya, di sofa dua dudukkan. Papah Hendra tampak rileks menyandar ke sofa single. Mamah tadi menerima telepon dan belum datang. Aku menghela napas.

Seorang pelayan menyajikan teh juga cemilan ringan di atas meja. Tidak ada yang menyentuhnya.

Aku hanya menduduk, mendengarkan argumen dua orang bermarga Amartha.

"Rico, kata Bu Susan kamu di undang sama beberapa universitas mentereng di luar negeri. Kamu sudah pilih mau masuk ke yang mana?"

"Ya. Aku rasa universitas itu cocok untukku, Pah."

"Papah percaya sama pilihan kamu asalkan kamu memilih jurusan bisnis."

"Tentu aja. Aku suka dunia bisnis seperti, Papah."

Ujian kelulusan kelas tiga baru akan dimulai bulan depan dan undangan masuk ke universitas bergengsi sudah berdatangan. Aku mengeluh karena merasa Jerico sangat hebat.

Aku benci mengakui ini. Tapi Jerico itu tidak hanya tampan juga kaya, dia punya otak yang terbilang jenius. Aku hanya mendengar gosipnya jika dari sekolah dasar sampai sekarang, SMA, dia selalu mendapatkan nilai sempurna. Belum lagi ratusan piagam dari lomba olimpiade yang sudah di menangkan dan sumbangkan untuk sekolah, dari sekolah dasar hingga kini.

Bahkan ketika dulu aku sedang bosan dan akhirnya menonton siaran televisi, aku secara tidak sengaja melihat Jerico sedang berdebat dalam bahasa Inggris dan saat itu umurnya baru enam belas. Sebagai manusia Jerico sangat sempurna. Tapi kesempurnaan itu  hanya berlaku di kaca mata orang yang tidak tahu dalamnya seorang Jerico Amartha.

Bagiku dia tetap penjahat di dalam hidupku!

"Bagaimana sama kamu, Jennie? Apakah kamu sudah punya universitas favoritmu?"

Aku baru akan lulus tahun depan tapi Papah Hendra memang bijaksana. Dia bertanya dengan adil kepada anak-anaknya.

"Aku sebenernya mau nunda kuliah. Aku mau mulai berakting, Pah," cetusku.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang