16.

136 10 0
                                    

Setelah bell istirahat berbunyi Lucas menjemput ke kelas dan mengajakku makan di kantin bersama. Lucas memintaku datang ke pesta Zafran, hal yang tak pernah kuduga sama sekali. Bahkan Jerico yang berengsek saja sudah tidak menyinggung tentang pesta itu lagi sejak aku setuju untuk menjadi bonekanya.

Jerico juga tidak mengatakan apapun meski kemarin malam aku berinisiatif menggantikan mamah untuk menemaninya ke pesta tersebut. Dia memang tidak ingin mengajakku, kan?

Beruntungnya aku punya alasan untuk menolak, "Nggak bisa, Kak. Malam ini aku pindah ke rumahnya Papah Hendra."

Lucas tidak menutupi rasa kecewanya saat berujar, "Kenapa gak ikut Om Paris aja sih, Jenn? Kita bisa tinggal bareng."

Aku cemberut, "Dan berkelahi sama Celine tiap hari? Papah nggak ngabarin aku lagi setelah makan malam itu. Celine sakitnya tambah parah, ya?"

Lucas menggapai tanganku di atas meja, menggenggamnya, "Maaf soal sifat kekanakan Celine. Aku tau kalau aja dia bersikap dewasa dan gak selalu memonopoli Om Paris, pasti hubungan kamu sama dia juga adem ayem sama kayak kita."

Aku menarik tanganku lagi bersamaan dengan pesanan dua mangkuk bakso kami datang. Ekspresi Lucas jadi prihatin karena aku diam saja. Lucas menambahkan saus dan kecap ke baksoku lalu menyuruhku mengaduknya.

Dia akan selalu melakukan hal itu jika kita makan bakso di kantin.

Lucas berkata lagi, "Aku selalu peduli sama kamu, Jenn."

Aku kehilangan selera makan mendengarnya, menuntut, "Apa berbohong juga termasuk kepedulian?"

Lucas mengernyitkan dahi.

Aku menjawab kebingungannya, "Soal taruhan itu, Kevin udah bilang sama aku."

Lucas menahan napas sebelum ekspresinya kembali tenang, "Aku punya alasan kenapa aku bohongin kamu soal taruhan itu, Jennie."

Lucas mengakuinya semudah itu. Aku sangat marah dan kecewa padanya. Aku kehilangan minat untuk tahu apa pun alasan Lucas membohongiku karena semuanya tidak akan pernah kembali seperti dulu. Amarah membuatku tidak lagi memanggil Lucas dengan hormat.

Aku mencengkeram sendok kuat-kuat, menuduh, "Sebenernya lo mau bikin gue  jadi berantakan, kan? Lo kesel kan karena gue selalu kasar sama Celine?! Sekarang lo ngajak gue ke party temen lo buat jebak gue kan?"

Lucas mencondongkan tubuhnya padaku, berusaha menenangkan, "Kamu ngomong apa sih, Jenn? Aku gak peduli kamu ngapain Celine. Dan soal jebak, jebak apa? Aku ngajak kamu ke sana karena gak tau lagi harus gimana cuma buat jalan dan ngobrol lagi sama adik aku, adik yang aku sayangi."

Aku mengatupkan gigi. Aku sudah tidak percaya lagi pada Lucas seperti rasa kecewaku pada papah, tidak akan pernah bisa sembuh. Semula aku sangat senang karena Lucas memang berperan sebagai kakak dan bahkan mewanti-wanti perihal Jerico yang akan mendekatiku. Namun, nyatanya gara-gara Lucas aku berakhir menjadi boneka Jerico, kakak tiriku yang gila se-ks.

Aku menjauhkan mangkuk bakso dan berdiri, membuat keputusan, "Terserah. Gue gak mau lagi ketemu lo dan gue harap sebisa mungkin kalo kita papasan jangan ada lagi tegur sapa."

Aku akan berjalan pergi tapi Lucas mencekal lenganku, dia juga bangkit dari kursi menahanku untuk tetap diam di meja kami.

Lucas tampak cemas begitupun nada bicaranya, "Jenn, aku minta maaf. Kenapa sih reaksi kamu begitu berlebihan?"

Aku menyentak tanganku, berbalik badan, marah, "Gue berlebihan? Kalo lo gak tau apa yang udah gue alamin gara-gara kebohongan lo mending lo diem aja!"

Wajah kebingungan Lucas semakin membuatku muak. Semua mata murid yang ada di kantin sepertinya tertuju kepadaku dan Lucas yang sedang bersitegang. Kami memilih tempat di pojok ruangan jadi semua pembicaraanku dan dia mungkin tidak akan cukup terdengar oleh mereka.

Lucas menatap dengan permohonan di matanya, "Jangan marah, Jenn. Apa yang kamu alamin bilang sama aku? Aku bakal tanggung jawab. Apa semua ini ada hubungannya sama Jerico? Dia ngapain kamu, Jenn?"

Aku tidak mau lagi mendengar Lucas bicara jadi aku buru-buru berjalan meninggalkan Lucas yang terus mengejarku. Aku sangat heran kenapa dari ketiga kakak tiriku tidak ada satu pun yang benar?

Apa gunanya Lucas tahu apa yang Jerico lakukan padaku sekarang? Semuanya sudah tidak berguna. Mengapa rasanya mereka mempermainkan aku seperti aku ingin mempermainkan keduanya. Apakah kita ini sebenarnya sedang saling memakan satu sama lain?

"Jennie, maaf, Jenn. Kamu marah karena aku bohongin kamu, aku ngaku salah. Aku punya alasan, Jenn."

"Apa alasannya?" Aku berbalik lagi menghadap Lucas dengan  judes. Apakah alasan Lucas sebanding dengan aku yang disiksa hampir setiap malam oleh Jerico?

"Bakal aku kasih tau kalo kamu pergi ke party Zafran malam ini." Lucas kukuh.

"Gue gak sudi pergi sama elo dan gue gak akan pernah dateng!"

Aku berteriak marah padanya dan saat akan pergi dari kantin tiba-tiba saja aku dihadang oleh geng Omorfos dengan Jerico yang menjadi kerucutnya. Dia berdiri di depanku dengan angkuh sambil menatap tajam mataku yang kaget melihatnya. Perkataan Jerico yang ingin teman-temannya menjadikanku lon-te masih bercokol di kepalaku.

Aku takut semua itu menjadi kenyataan karena mereka pikir aku terlalu sombong dalam menolak cinta mereka. Padahal aku memang tidak merasa menyukai salah satu dari mereka. Aku tak ingin menggantungkan hatiku pada siapapun karena aku tidak akan pernah bisa percaya pada siapapun lagi.

Inti Omorfos itu ada sepuluh orang dan mereka sedang bergerombol seolah mengepungku.

Secara refleks aku mundur selangkah, akan tetapi gerakanku malah membuat Lucas menahan pinggangku dan mata Jerico semakin menyala-nyala melihatnya.  Aku menyentak tangan Lucas lalu mengambil langkah ke samping untuk menghindari apapun yang akan terjadi antara Jerico dan Lucas.

Aku tidak sadar bahwa aku adalah masalahnya.

"Jennie bakal pergi ke party Zafran."

Posisiku ada di sebelah kanan dan membelakangi Lucas maupun Jerico. Aku mematung tapi jantungku berloncatan memukul-mukul dadaku hingga rasanya sesak dan menyakitkan. Mengapa Jerico  gemar sekali menguji ketakutanku?

"Jer, udahlah. Jennie bilang gak mau dateng." Itu suara Zafran dan suaranya sangat besar.

"Dia bakal dateng." Nada bicara Jerico terdengar absolut.

"Hak dia mau dateng apa nggak, Jer, lo jangan kebangetan." Zafran membelaku lagi.

"Biasanya, orang yang nentang omongan gue ampe dua kali bakal nyesel."

"Zafran udahlah, jangan ikut campur sama circle anak tiri!"

Meski aku sudah mengakui sebagai boneka milik Jerico itu tetap berkebalikan dengan jiwa bebasku. Dan kini aku dibuat menyesal karena tidak mendengarkan peringatan Jerico untuk tidak dekat dengan Lucas, aku tahu kalimat Jerico barusan ditunjukan untukku.

Aku lupa Jerico itu punya hati yang dingin dan dia selalu mempunyai cara untuk menindasku. Seharusnya aku memang tidak boleh menganggap enteng seorang Jerico Amartha! Dia itu serigala.

Jerico memanggilku dengan dingin, "Jennie."

Aku memejamkan mata, tidak bisa menghindar, aku mendekati Jerico. Lucas bergerak menghalangiku sehingga aku berdiri di depan punggungnya. Aku takut Jerico semakin marah padaku ....

"Awas, gue mau pergi kalau Jerico yang ngajak," desakku pada Lucas.

Akhirnya aku hanya bisa bermain dalam drama yang diciptakan Jerico.

Aku melihat sebelah wajah Lucas yang menoleh padaku. Dia sangat terkejut oleh perkataanku. Kini dia tidak bisa menahanku dan menyingkir meski raut wajahnya menunjukan ketidakrelaan.

"Jenn, kamu pasti nyesel karena lebih pilih dia daripada aku," bisik Lucas ketika aku berjalan melewatinya.

Bahkan meski aku menyesal aku sudah tidak punya waktu untuk menangisi penyesalanku, karena ini pilihanku. Aku menguatkan hati, sekali lagi berkata yang penting Mamah Miranda sudah terbebas dari ancaman Jerico.

Meski begitu, jauh di dalam jiwaku, aku meronta-ronta ingin bebas dari tali tak kasat mata yang  Jerico pasang di tubuhku. Baru satu hari aku menjadi boneka kakak tiriku dan rasanya aku sudah tercekik. Ini kan yang Jerico mau, dia menginginkan aku tidak berdaya melawan semua kata-katanya.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang