9.

139 8 0
                                    

Sejurus kemudian seorang pemilik kafe datang menghampiri mejaku. Kami mungkin tidak dekat, tetapi bisa dikatakan teman yang hanya kenal nama dan hal umum lainnya.

"Dek, jangan sakitin pacarnya, dong. Kasihan dari tadi Jennie nangis terus tapi gak mau cerita karena apa," ungkap Kak Ira. "Lagian, Jennie itu mungkin cemburu karena Dek Rico selalu nolongin temennya. Kan Dek Rico juga cemburu kalo pacarnya ditolongin sama cowok lain."

Pemilik kafe pasti sedang bercanda! Dia juga kuketahui bernama Kak Ira. Aku sudah berlangganan di sini sejak lama dan dia sudah hafal kalau aku selalu mengunjungi kafenya.

Yang pastinya Kak Ira juga tahu siapa Jerico karena saat itu aku juga suka mengajak Jerico ke kafe Dara, untuk sekedar nongkrong atau melihat live music di malam Minggu. Mungkin karena seringnya melihatku dengan Jerico dia mengira kami berpacaran. Padahal tidak dan kami hanya saudara tiri.

Hal yang tidak kusangka akan terjadi adalah sikap Jerico melunak. Dia melepas cengkeramannya dari bahuku dan ekspresi wajahnya menjadi lembut. Kupikir dia akan marah karena disalahpahami sebagai pacarku, sebab mengakuiku sebagai adik tiri saja dia tidak mau.

"Pergi lo dasar penguping." Usir Jerico sambil mengibaskan tangan  pada Kak Ira.

"Heh. Penguping ini yang akhirnya menyadarkan perasaan di antara kalian!" seru Kak Ira.

Kak Ira
omong apa, sih? Mana mungkin di antara Jerico dan aku ada kecemburuan? Aku hanya merasa dibohongi oleh sifat Jerico pada Celine. Di depanku dia bisa kasar pada Celine tapi di belakangku dia tetap jadi pahlawan untuknya.

"Pergi," tegas Jerico melirik Kak Ira dengan tajam lalu tatapannya kembali pada wajahku. "Gue gak suka diganggu kalo lagi ngomong sama dia."

Aku menatap Kak Ira dengan maksud  minta maaf atas sikap kasar Jerico. Kak Ira hanya tersenyum tidak berdaya padaku.

"Gak tau diri banget sih lo ngusir yang punya kafe," kecamku pada Jerico.

"Tempatnya gue beli," balas Jerico arogan.

"Gak dijual tuh," sahut Kak Ira.

Jerico meminta Kak Ira untuk mengambil es teh dan aku tahu itu hanya sebagai cara agar Kak Ira pergi dari mejaku. Aku diam Jerico  juga diam. Sebelum akhirnya posisi duduk Jerico jadi lebih nyaman dengan bersandar dan menaikkan salah satu kaki ke kakinya yang lain.

Kak Ira juga tidak kembali lagi saat itu. Dia hanya menyuruh pelayan untuk mengantarkan minuman Jerico. Dia juga sempat berpesan padaku untuk mengadukan semua kelakuan Jerico padanya. Aku sangat ingin bercerita tapi sangat sulit untuk menyuarakan bahwa aku adalah korban pelecehan.

Lagipula aku sadar aku tidak akan mudah lepas dari Jerico karena dia adalah kakak tiriku. Dia juga sangat pintar memanipulasi mamah agar mengizinkannya untuk tinggal bersamaku. Dan jika papah masihlah papah yang menyayangiku, papah akan tahu bahwa Jerico seakan-akan sedang berusaha mengambil hatinya dengan menjagaku.

Padahal sesungguhnya Jerico hanya ingin merusakku saja.

Jerico adalah serigala licik. Sementara aku adalah kelinci kecil yang tidak bisa kabur dalam lubangku sendiri. Sungguh sebuah perumpamaan yang menyedihkan.

Wajah Jerico kembali menyebalkan, "Jadi elo cemburu, Jenn?"

Aku tidak menanggapinya dan bertanya, "Kenapa elo selalu nolong Celine?"

Jerico tersenyum penuh arti, "Ada orang yang butuh bantuan jadi gue tolongin. Sesimple itu."

Darahku rasanya mau mendidih, "Kenapa gue gak dapet kebaikan lo kalo elo emang semurah hati itu? Elo malah ngotorin gue pake tangan lo."

Jerico tertawa ngakak, menatap sinis, dan berkata, "Hahaha. Bener-bener gak tau diri. Lo udah pernah ngerasain kebaikan hati gue, Jennie, tapi elo sia-siain, kan? Lo jangan harap gue bakal selalu baik ke elo saat gue aja gak elo hargai. Lo mainin gue selama ini, Jenn. Apa lo tau? Ah, jangankan mau tau, lo aja nyatanya gak peduli."

Aku tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana ketika Jerico membeberkan fakta bahwa aku adalah seorang gadis tanpa perasaan. Namun, caranya dalam membalasku juga sangat keterlaluan.

Sebenarnya, apakah aku ini semacam pelampiasan karena dia gagal meraih cinta dari masa kecilnya? Mendapat pikiran seperti itu alih-alih sedih aku malah bertambah marah.

Membayangkan Jerico selalu menolong Celine aku jadi ragu apakah dia menyukai Celine atau tidak? Jika benar Jerico menyukai Celine, aku akan mendekatkan gadis penyakitan itu pada Jerico agar pria itu pergi dari hidupku. Saat aku akan melakukan kebaikan seperti demikian, niatku langsung buyar lagi ketika mendengar kalimat Jerico yang mematahkan dugaanku.

"Gue bakal jauhin dan gak peduli sama Celine asal lo senyum lagi ke gue," pinta Jerico.

Kalimatnya mungkin terdengar seperti meminta tapi sebenarnya Jerico memaksa. Dia ingin aku tersenyum?

"Gue gak semunafik itu mesti selalu senyum di hadapan orang yang bikin harga diri gue hancur!"

Sejak Jerico mengotori tubuhku, aku juga tidak ingat apakah aku pernah tersenyum lagi sejak hari itu? Aku sudah kehilangan separuh hatiku sejak papah memilih keluarga barunya dan kini aku kehilangan senyum di wajahku. Aku tidak memiliki perasaan apa-apa selain rasa sakit dan marah karena Jerico.

"Gue gak bisa ngubah apa yang udah terjadi di masa lalu, Jenn, lagipula gue gak nyesal udah nikmatin tubuh lo," pungkas Jerico kurang ajar.

"Gue sangat ingin mukul kepala lo," kataku yang berasal dari hati terdalamku.

"Gak diizinkan," timpal Jerico seraya meraih tanganku. "Soalnya boneka itu yang gerakin majikannya."

"Apaan sih lo, selalu bilang gue ini boneka-boneka," kataku tak suka, menarik lagi tanganku yang digenggam olehnya.

Jerico memajukan badannya dan berbisik dengan nada menyindir, "Karena elo itu gak punya hati."

Aku mengernyit bingung. Mungkinkah hati yang Jerico maksud adalah aku yang tidak pernah menggubris perasaan orang lain?

"Jangan terlalu benci sama Celine, entar lo malah belok lagi karena terlalu sering mikirin tuh cewek," perintah Jerico tajam. "Gue liat lo itu selalu kurang respon sama cowok tapi kalo soal Celine elo selalu menggebu-gebu."

Ah, aneh. Aku meragukan diriku sendiri yang merasa Jerico takut tersaingi oleh Celine? Itu tidak mungkin kan.

Meski katanya rasa benci itu beda tipis sama rasa cinta apakah aku akan jatuh cinta pada perempuan juga? Perkataan Jerico juga punya banyak makna. Dia takut aku akan menjadi les-bi.

Aku melotot padanya, "Mikir lo kejauhan. Gue masih takut masuk ke neraka kalo suka sama sesama jenis!"

Jerico tertawa lagi. Apa aku sangat lucu di matanya sampai Jerico selalu tertawa berulang-ulang jika bersamaku? Menyebalkan.

Aku benci melihatnya bahagia.

Jerico meraih sejumput rambutku dan memutar-memutarnya di telunjuknya, "Kalau gitu lo aromantis?"

Aku bertanya, "Apa tuh gue gak ngerti."

Jerico menjelaskan, "Orang yang gak mau punya hubungan romantis sama orang lain. Dan lo bisa jadi kayak gitu mungkin karena trauma sama perceraian kedua orang tua lo."
 
Aku tidak tahu apakah yang dikatakan Jerico benar atau tidak. Sebab aku merasa belum merasakan bagaimana jatuh cinta sehingga ingin bersama dengan orang yang kucinta atau tidak. Namun, dia menyimpulkan aku orang aromantis seperti sudah mengamatiku sejak lama sekali. Bahkan mungkin sebelum mamah dan papah berpisah.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang