10.

165 9 0
                                    

Kalo menurut kamu novel ini seru, komen ya 😊


Rasanya hari ini waktu begitu panjang. Namun, kafe Dara adalah tempat ternyamanku setelah rumah. Saat Jerico mengajakku pulang dan aku juga sudah sangat ingin tidur, telepon Jerico berdering. Jerico menunjukan layar gawainya, rupanya panggilan dari mamah.

"Nak, kok kamu belum dateng? Jennie sama kamu, kan?"

Aku menatap Jerico karena tidak paham apa yang mamah katakan. Dia malah mengusap wajahnya lalu nyengir padaku.

"Sebentar lagi kami sampai."

Aku tidak mendapatkan jawabannya karena Jerico langsung menarik tanganku pergi dari sana. Setelah duduk di dalam mobil dan mengendarainya, dia berkata lupa bahwa orang tua kami meminta untuk makan malam bersama. Aku sungguh kesal padanya.

"Bisa-bisanya lo lupa hal sepenting itu," makiku.

"Kalo lo gak kabur-kaburan gue juga gak bakal lupa," decak Jerico.

Pada dasarnya semua akan menjadi salahku. Aku menunduk dan melihat gawaiku sendiri, tidak ada pesan atau telepon dari mamah. Beliau hanya mengabari acara makan malam itu ke anak tirinya.

"Jangan pernah berpikir kalo gue bakal seperti Celine, Jenn. Dia cuma ngabarin gue ya karena pengen kita akrab sebagai saudara," jelas Jerico tanpa kuminta. "Secara gak langsung dia minta gue deketin lo agar kita bisa saling ngomong. Dia mungkin masih gak lupa sama respon lo ke gue, saat lo demam."

Aku berbicara sangat lambat, "Celine nyita semua perhatian dan waktu papah. Apa lo bakal gitu ke mamah gue?"

Jerico menoleh dengan seringai di wajahnya, "Daripada step mom gue kan lebih milih step sister."

Sungguh menjijikkan!

Hanya saja Jerico memang tidak seperti Celine dan perbedaan antara kedua anak tiri dari orang tuaku juga besar. Jerico masih menyebut mamahku sebagai "mamah lo" atau "nyokap lo" dia belum mengakuinya sebagai ibu tiri.

Aku mengambil napas dan mengembuskannya, bertanya, "Kenapa, Kak Rico, repot-repot jelasin?"

Jerico menahan tawa, "Lo manggil gue 'Kak Rico' lagi?"

Aku memutar mata, "Lo kan emang tua."

Jerico menyemburkan tawanya sekarang, "Meski kita beda tahun lahir, Jennie, kita cuma selisih lima bulan doang."

Aku tanpa sadar menyampingkan dudukku menghadap Jerico, "Lo masih inget tanggal lahir gue?"

Jerico menjawab ringan, "Sebelas Januari."

Begitulah. Meski kadang menyebalkan hingga aku ingin mencekik lehernya, Jerico adalah orang yang bisa membawa lawan bicaranya merasa nyaman dan terus menanggapi setiap katanya,  setidaknya itu yang aku rasakan.

Jerico itu punya karakter seperti bunglon. Dia akan berubah-ubah tergantung pada siapa dia berbicara dan ada di kondisi bagaimana dirinya. Dia bisa menurunkan kewaspadaanku padanya hanya sekedar dengan obrolan ringan.

Semakin aku mengenal dirinya, semakin ketakutan pula alam bawah sadarku. Seharusnya tidak begini. Aku tidak boleh terlena dengan orang yang sudah merusak harga diriku!

Kini aku sedang terdiam mengamati tempat Jerico menghentikan mobilnya.

Aku sangat kesal, "Kok di sini?"

Jerico mengangkat dagunya angkuh, "Tempatnya bener, kok."

Dia pasti tahu yang aku maksudkan tapi tetap bertingkah menyebalkan.

Dia dan aku masih memakai seragam sekolah bahkan belum mandi lagi sejak tadi pagi. Namun, ternyata janji makan malam itu bertempat di restoran yang mewah. Aku kira itu di rumah papah Hendra sehingga aku bisa mandi dulu sebelum makan malam bersama keluarga baruku.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang