7.

157 9 0
                                    

Aku menunduk serta menggigit bibir bawah kuat-kuat saat pemikiran itu datang. Saat itu aku juga merasakan kepalaku dielus, Jerico yang melakukannya. Aku hanya meliriknya dan membiarkan saja.

"Celine, lo keluar," tegas Jerico.

"Apa? Tapi kenapa?" jerit Celine tidak terima.

"Udah gue peringatin kan kemarin kalau lo gak boleh provokasi Jennie lagi?" tegas Jerico yang dari nada suaranya terdengar sangat marah.

Huh?

"Gue nggak, Jer. Jennie yang emang mulai duluan," sahut Celine membela diri.

"Keluar!"

Final. Celine turun dari mobil dan Jerico langsung menjalankan mobilnya meninggalkan Celine yang menghentakkan kaki di depan rumahku.

"Kenapa lo ngusir Celine?"

"Itu kan yang lo mau?"

"Kalau dia ngadu ke papah gimana?"

"Nggak bakal."

"Pede banget lo. Dia kan anaknya ngaduan."

"Iya gak kek elo. Udah dirudapaksa berkali-kali juga diem aja. Lo kesakitan apa keenakan gue tanya?"

Meski Jerico mengatakannya dengan nada mengejek tapi dia benar. Aku selalu punya kesempatan untuk memberitahukan apa yang telah dia lakukan padaku ke orang-orang, tetapi aku yang terus bungkam. Aku yang tidak punya keberanian untuk bicara pada mereka.

Aku malu.

"Gue takut nggak dipeduliin meski gue cerita," gumamku.

Melihat sikap orang tua kandungku sekarang membuatku tidak lagi percaya pada mereka. Papah hanya ingin Celine bahagia dan mamah sedang jatuh cinta pada papah Hendra. Aku hanya akan kecewa untuk ke sekian kali jika berharap pada keduanya.

Mungkin Jerico tidak mendengar gumamanku dan menjelaskan.

"Dia gak bakal, Jenn. Karena dia suka sama gue. Dan dia akan menunjukan bahwa gue adalah cowok yang baik di depan orang lain. Sama seperti gue yang tadi biarin dia masuk ke mobil, cuma beda konteks. Gue pengen terlihat baik di depan bokap orang yang ...."

Jerico tidak melanjutkan ucapannya.

"Gue sama sekali gak ngerti lo ngomong apa."

"Boneka emang sepatutnya gak ngerti karena boneka gak punya otak."

Jerico sangat bermulut pedas, mengalahkanku.

"Jangan panggil gue boneka!"

Dia tidak membalas lagi dan fokus menyetir. Sekitar lima belas menit lagi mungkin kita akan segera sampai di sekolah.

Jerico tiba-tiba bertanya, "Ngomongin apa tadi sama Om Paris?"

Aku tidak menjawab dan balik bertanya, "Pernah gak sih, lo ngerasa bukan anak kandung Papah Hendra?"

Jerico menjawab cuek, "Gak pernah. Gue bahkan ngerasa gak punya orang tua."

Seketika hatiku miris. Aku sebaiknya tidak perlu adu nasib dengan Jerico. Dia punya segalanya tapi kurang kasih sayang orang tua.

Jerico kembali berkata ringan, "Tapi jadi gue itu enak. Sifat matre lo terpuaskan 'kan sama gue?"

Huh, sindiran itu lagi.

Aku mendengus keras, "Gue gak matre, ya. Gue cuma mau bales lo soal taruhan  itu."

Jerico melirik tajam padaku, "Lo tau gak mamah lo nikah sama siapa? Papah gue itu CEO Amartha Grup, lo kira gue sudi masukin  mobil butut Kevin ke garasi pribadi gue? Mikir!"

Amartha Grup adalah nama perusahaan yang dirintis oleh keluarga Amartha. Dan Jerico Amartha adalah pewaris perusahaan turun temurun itu. Dia memang dari keluarga  old money.

Aku bertanya, "Terus kenapa lo mau jadiin gue pacar lo kalo bukan karena taruhan itu?"

Jerico menoleh padaku, "Gue bukan orang yang suka ngomong dua kali."

Saat itu aku membayangkan lagi ketika Jerico menyatakan cinta padaku, tetapi aku menolaknya. Kini apa yang dimaksud dengan perkataannya?

Sekitar lima menit, kami berada di keheningan. Kemudian aku terpikirkan sesuatu.

"Apa yang lo omongin ke Celine yang gue gak tau?" tuntutku.

Jerico segera sadar aku menanyakan tentang dia yang memberi "peringatan" ke Celine. Sayangnya, Jerico hanya tersenyum menyebalkan. Tidak mau menjawab.

Hening lagi karena aku tidak menuntutnya lebih jauh. Hanya saja aku juga tidak mau diam di saat kondisiku masih terombang-ambing. Kapan terakhir kali aku merasa selelah ini
dalam hidup?

Aku menelan ludah, "Kak Rico, tolong hapus video semalem gue malu."

"Ah, bukannya lo keenakan," ejek Jerico dengan wajah menyebalkan.

Oke, aku sangat malu sekarang. Aku menunduk ketika dengan kurang ajar  Jerico memegang paha kiriku. Aku menyingkirkan tangan Jerico dan dia malah semakin menjadi-jadi dengan menaikkan rokku lalu mengelus kedua pahaku.

"Gue bakal berhenti di tempat sepi kalo lo berulah," ancam Jerico tajam.

Kali ini aku hanya bisa menurut daripada menyesal akhirnya.

"Lo jahat, Kak. Lo videoin gue kayak gitu cuma buat ngancam gue doang, kan?" kataku kesal, hampir menangis.

"Hahaha. Videonya bakal gue simpen, Jenn. Bakal gue sebarin kalo liat lo deket sama Lucas!" Jerico semakin menjadi-jadi.

Aku tidak habis pikir kenapa Jerico malah membawa nama Lucas, kakak tiriku yang pertama. Padahal aku dan Lucas tidak memiliki hubungan khusus. Lagipula, apa masalahnya?

Aku berteriak mengancamnya, "Gue bakal lapor polisi kalo lo terus-terusan lecehin gue kek gini."

Jerico tahu cara membungkamku, "Hukum bisa dibeli, Jenn."

Sial!

Aku masih berusaha, "Gue bakal ngusir lo dari rumah!"

Jerico berkata santai, "Gue tinggal bawa lo ke rumah gue kalo gitu. Sama aja kan."

"Aaaarggggh!"

Jerico menertawakanku dengan gembira.  Kutengok fitur samping wajah Jerico yang tampan. Dia terlihat sangat bahagia di atas penderitaanku. Setelah itu dia menarik lagi tangannya di pahaku untuk fokus lagi menyetir. Sementara aku hanya bisa cemberut sepanjang jalan.

"Baru kali ini gue ngerasa hidup gue berwarna," gumam Jerico.

Aku mendengarnya meski dia bersuara pelan. Aku ingin mencaci-makinya tapi mengobrol dengan Jerico selalu membuatku nyaman tanpa sadar. Aku selalu bertukar kata yang banyak hanya pada Jerico.

Dia kadang menakutkan tapi juga seperti seorang teman.  Dan karena dia mengajakku mengobrol, aku melupakan pikiranku untuk bunuh diri.

Setelah sampai di sekolah, aku langsung kabur dari Jerico menuju kantin untuk sarapan. Lalu mengurung diri di dalam kelas dua IPA-b, aku duduk di bangku paling depan dari baris ke dua. Saat guru datang aku benar-benar memperhatikannya dan menulis di buku catatan.

Begitulah aku sebagai pelajar yang lumayan rajin. Aku tidak menceritakan teman sebangku karena aku tidak punya. Mungkin yang menjadi alasannya adalah ketika kelas satu aku susah didekati jadi mereka enggan berteman denganku. Padahal itu hanya karena aku merasa minder sebab keluargaku tidak seharmonis keluarga mereka.

Aku juga tidak pernah menghiraukan jika ada murid pria yang menyatakan cinta padaku, hanya karena katanya aku yang paling cantik di sekolah, hatiku terlalu batu untuk merasakan jatuh cinta. Namun, selalu ada risiko yang harus ditanggung karena sikap kita sendiri. Aku tidak menyangka  akan mengalaminya sekarang.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang