13.

138 9 0
                                    


Aku merasa seperti mimpi  ketika tubuhku melayang tinggi sebelum jatuh lagi di tempat yang empuk tapi sempit. Setengah sadar aku membuka mata, tidak tahu mengapa Jerico memindahkan tubuhku dari tempat tidurnya ke sebuah sofa di ruang keluarga, dia bahkan menyalakan televisi. Kemudian Jerico lari ke ruang depan dan aku tiba-tiba mendengar suara mamah dari luar.

"Ya ampun, kalian ketiduran di sini, nonton apa, sih, semalem?"

Aku masih linglung dengan apa yang terjadi, "Apa?"

Jerico menguap di samping tubuh mamah lalu menjatuhkan diri ke sofa di depanku dan seolah masih mengantuk, matanya terpejam rapat. Bajunya sudah berganti piama dan kakinya tampak sangat panjang ketika duduk melonjor. Pakaianku sendiri sudah berbeda, aku duduk tegak ....

"Jenn, kok kamu pake baju spiderman. Itu baju siapa?" tanya mamah menyelidik.

Jantungku berdetak kencang. Apakah kemarin malam aku ketiduran di kamar mandi sampai tidak tahu Jerico sudah menggantikan seragamku dengan bajunya? Mamah menanyakannya karena baju ini memiliki potongan baju pria dan beliau mengenalku sebagai seorang anak gadis yang girly.

Aku menatap mata mamah dengan wajah mengantuk, "Ini baju pacar aku, Mah."

Mamah kaget, pandangannya mengelilingi ruang keluarga, "Kamu udah punya pacar? Siapa? Dia nginep di sini?"

Aku membantah kesal, "Kita cuma tukeran barang doang. Masa dia nginep di sini."

Mamah masih tidak melepasku dengan bertanya, "Barang apa yang kamu tuker sama dia?"

Aku sedikit terdiam, lalu mendengus, "Apa, sih. Itu privasi."

Mamah memandangku curiga lalu melirik ke Jerico yang sepertinya tidur lagi di sofa. Mamah mematikan televisi dan menyuruhku untuk mandi. Beliau pergi ke dapur dan sepertinya akan memasak sarapan.

"Akting lo cukup baik," puji Jerico sambil menatapku dengan senyuman bahagia.

Dia hanya pura-pura tidur ternyata. Sedikit-sedikit aku menyadari skenario yang dibangun Jerico pagi ini.

Aku balas menatap Jerico dengan remeh, "Kenapa lo harus pindahin gue dari kamar lo? Bukannya ini tujuan lo, kepergok saat lo ma gue tidur bareng?"

Jerico pasti punya rasa takut jika perbuatannya padaku diketahui oleh orang lain.

Jerico berkata pelan, "Setelah berpikir semalam, gue bakal ngehargain mamah lo dan gak akan bikin dia sakit hati dengan kelakuan gue ke anak kesayangannya. Gue juga akan tarik  ancaman soal mamah lo waktu itu ke elo."

Manusia memang bisa berubah setiap waktu, tetapi perubahan Jerico terlalu drastis. Apakah karena curahan hatiku kemarin akhirnya bisa membuat Jerico luluh?

"Tapi gue minta hal lain sebagai gantinya."

Aku salah. Jerico sama sekali tidak berubah. Dia masih lah serigala yang licik.

Jantungku berdebar menyakitkan ketika dia menatap tajam padaku.

"Lo harus jadi boneka gue."

Sebelumnya Jerico juga mengatakan aku adalah boneka miliknya. Namun, kali ini dia ingin mempertegas kekuasaanya terhadapku. Aku seperti harus menandatangi kontrak menjadi boneka seumur hidup di atas materai. Dia memang tidak mau mamah kecewa akan kelakuannya padaku, tetapi itu berarti aku yang harus bungkam selama sisa hidupku.

"Gue gak sudi," tolakku keras.

Aku berdiri dan berjalan pergi meninggalkannya di sofa.

"Semua keputusan ada di tangan lo, Jenn."

Aku mendengarnya tapi aku tetap pergi ke kamarku di lantai atas dan bersiap-siap pergi ke sekolah. Saat kembali turun ke lantai dasar, aku tidak melihat Jerico di meja makan. Hanya ada mamah yang menyambutku dengan senyuman hangat.

"Mamah bahagia hidup sama Papah Hendra?" tanyaku begitu duduk di sebelahnya.

Kulihat hanya ada enam sosis goreng ukuran jumbo dan roti tawar di meja. Mungkin mamah datang pagi-pagi ke sini untuk mengecek bahan pangan di rumahku agar beliau isi lagi nanti siang.

Mamah tersenyum malu-malu, "Papah barumu lebih bisa menghargai mamah, Jennie. Dia juga tipe lelaki setia. Setelah anaknya berusia delapan belas tahun, dia baru mau menikah lagi. Mamah bahagia dan semoga mamah menjadi istri terakhir Papah Hendra."

Kesetiaan Papah Hendra mungkin saja menurun pada anaknya, Jerico. Dan karena itulah posisiku sangat genting. Dia menyukai gadis lain, mamah bahagia dengan suami barunya, sedangkan aku menjadi tumbal untuk mereka.

Aku tidak mau merusak kebahagiaan mamah dan Jerico mungkin juga tidak mau merusak kebahagiaan orang yang dicintainya. Dia lebih memilih melampiaskan napsu binatangnya padaku daripada pergi mencari gadis itu. Sungguh sial, bukan?

Aku ikut tersenyum untuk menutupi luka hatiku, "Aku seneng mamah bahagia."

Sebelumnya, demi mamah. Sekarang pun, demi mamah. Aku akan melakukan apapun untuk mamah agar senyum di wajahnya tidak lagi hilang. Meski dengan cara menyakiti diriku sendiri di tangan kakak tiriku yang jahat.

Mamah memegang tanganku penuh harapan, "Kamu juga harus bahagia kayak mamah, Jenn."

Aku gak pernah bahagia lagi, mah. Aku semakin hancur setiap hari. Aku menunduk lalu memberi mamah sebuah senyum palsu ketika menatap wajah beliau lagi.

"Jenn, ini mamah bawa vitamin buat kamu. Harus diminum setiap hari, ya. Biar kamu fit terus," kata mamah menunjukan tabung mini di tangannya. "Kalau vitaminnya habis kamu harus bilang ke mamah, nanti mamah yang beliin lagi."

Aku menerimanya dan menimbang-nimbang tabung itu. Sambil berpikir, adakah obat untuk luka hidupku? Bukan hanya hati, tapi seluruh hidupku rasanya babak belur sejak orang tuaku bercerai dan mengenal sosok jahat seorang Jerico.

Lamunanku goyah saat mendengar suara kursi ditarik kemudian melihat Jerico sudah duduk di sebelahku, lengkap dengan seragam dan tas. Dia menoleh dan menyapa mamah dengan anggukan.

"Pagi ini kalian makan sosis dulu, ya," kata mamah semangat. "Oya, mamah udah bikin daftar belanjaan dapur untuk kalian beli."

Aku protes, "Kok aku yang beli, Mah? Kan biasanya udah disediain sama mamah."

Mamah tersenyum bersemangat saat Jerico mengambil sosis dengan garpu lalu memotongnya bulat-bulat dengan elegan menggunakan pisau. Aku jadi ikut melihat apa yang dilakukan pria itu. Sepertinya ini pertama kalinya Jerico makan apa yang mamah buat sehingga mamah jadi senang.

"Lo mau punya gue?" tawar Jerico yang langsung memberikannya padaku. "Nih."

Aku menusuk sosisku sendiri dan langsung memakannya dari garpu. Mengabaikan Jerico.

"Maaf ya, Nak Rico. Jennie ini memang gengsian," sahut mamah dengan wajah tidak enak. "Jenn, hargain dong pemberian kakak kamu."

Aku menghela napas dan mengambil piring yang disodorkan Jerico di meja makan. Dia tersenyum kecil lalu mengambil sosis yang lain. Bagiku, ketika dia memakan masakan yang mamah buat sudah memperlihatkan bahwa dia benar-benar akan menghargai mamahku sebagai ibu tirinya.

Namun, mengapa itu tidak berarti dia juga mengakuiku sebagai adik tirinya dan malah menjadikanku boneka yang tidak berharga!

"Oya, apa pacar kamu itu cowok yang suka ngajak kamu jalan-jalan itu, Jenn. Siapa sih dia, Sayang? Kok gak pernah dikenalin ke mamah?"

Sebelum aku bisa menjawab, mamah berbicara lagi ke Jerico. Sebetulnya, mamah tidak mau tahu urusanku, bukan? Aku tersenyum miris.

"Nak Rico, kamu mau gak belanja sama Jennie biar dia gak sibuk pacaran terus?"

Siapa pacarku? Aku saja tidak tahu!

"Saya ada hal lain yang mesti diurus setelah pulang sekolah," tolak Jerico.

Mamah tidak memaksa dan malah mengakhiri pagi itu dengan senyuman. Sebuah senyum yang tidak kuketahui maknanya.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang