3.

329 18 0
                                    

Aku merasa seperti kelinci kecil yang terjebak bersama serigala licik di dalam sebuah lubang gelap.

Jerico benar tentang perkataannya. Dia sungguh tinggal di rumahku ketika aku membuka mata pagi ini. Bahkan beberapa pakaiannya sudah tertata rapi di kamar yang ada di lantai satu.

Aku menutup pintu lemari yang kini milik Jerico, kakak tiriku, si binatang buas.

"Sekarang lo percaya bahwa omongan gue bisa jadi nyata?" tanyanya retoris.

Jerico memelukku dari belakang. Dari kaca lemari, aku bisa melihat dirinya yang sudah siap pergi ke sekolah, sedangkan aku masih memakai gaun tidur selutut. Masih tidak punya tenaga untuk kembali beraktivitas seperti pelajar lainnya.

Bisa sampai ke sini pun aku digendong turun oleh Jerico dari lantai dua kamarku, secara paksa. Saat aku bangun tidur, dia masih berada di kamarku dan mengatakan akan tinggal bersamaku di rumah ini. Yang lebih membuatku tidak percaya adalah, mamah bahkan tak menengokku lagi ke kamar karena sudah ditelepon suami barunya setelah memasak di rumahku.

Setidaknya itu yang Jerico ceritakan.

"Apa yang lo bilang ke mamah sampai dia izinin cowok asing tinggal sama anak gadisnya?" Aku bertanya balik dengan sarkatik.

"Mudah aja, Jennie. Secara status kita sekarang adalah keluarga. Gue ingin mencoba akrab dengan lo dan sebagai kakak yang baik, mana mungkin gue tega biarin adik gue yang cantik ini tinggal sendirian di rumah?" jawabnya semakin mengeratkan tangan di perutku. "Mamah lo jelas kuatir misalkan ada orang jahat yang mau rampok rumah, atau bahkan ... rudapaksa elo."

Dadaku menggebu-gebu marah mendengar Jerico menjelaskannya, menyindir, "Orang jahat, perampok, dan tukang ngerudapaksa itu udah masuk ke rumah."

Jerico tertawa geli di telingaku, "Bener, lo bener, Jenn! Dan mamah lo malah percaya gue bakal jaga anaknya tetep aman sama gue. Padahal gue rencana mau makan lo tiap hari. Hahahaha."

Aku menggeliat tak nyaman di pelukannya, "Sekarang bisa, lo ngusir diri lo sendiri?"

Jerico tidak melepasku, dia malah menggigit kupingku, "Punya tawanan secantik ini mana mungkin gue tinggalin?"

Rasa marahku berganti menjadi kesenduan yang menyakiti hatiku sendiri. Aku mulai membuang napas dan mencoba merendahkan diri agar dia mengasianiku, walau sedikit. Bagaimanapun alam bawah sadarku seakan memberiku pertanda bahwa berurusan dengan Jerico dalam jangka panjang itu ... menakutkan.

"Kak Rico, aku minta maaf karena udah bikin lo jadi dendam sama gue. Gue nyimpen semua barang dari lo, Kak. Nggak gue makan atau gue gunain. Kalo lo gak percaya, gue bisa tunjukin kotak tempat gue nyimpen barang-barang yang gue minta dari elo, saat kita pura-pura pdkt dulu," kataku menatap ke matanya, "Ini sama sekali gak setimpal dengan lo nidurin gue berkali-kali. Gue gak semurah itu."

Aku menyimpan semua barang mahal pemberian atau yang aku minta dari Jerico dengan baik. Supaya suatu hari nanti bisa aku lempar ke wajahnya, bila dia mencoba mengungkit kematreanku. Sayangnya dia malah merebut satu-satunya hal yang aku punya.

Harga diri.

Aku tidak tahu mengapa Jerico malah terkekeh, wajahnya menunjukan kebengisan, tapi sorot matanya tampak terluka. Aku tak mengerti sebenarnya dia orang yang seperti apa?

"Bahkan makanan kayak cokelat pun gak lo makan?" ulangnya bertanya, memutar tubuhku menghadapnya.

Aku menggeleng lemah. Hal tak terduga adalah Jerico langsung pergi setelah mendorong tubuhku, aku nyaris menabrak lemari bila saja kedua tanganku tidak menahannya. Anehnya yang membuatku merasa ngeri adalah dia berbalik memunggungiku tanpa sepatah kata. Seolah-olah entah bagaimana aku telah sangat mengecewakannya.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang