34.

64 10 1
                                    

Up ini untuk merayakan kemenangan timnas 🇲🇨 vs 🇸🇦 tadi malam😍😍😍🥳

Suasana hatiku tidak pernah baik sejak Jerico menjadi orang paling bajingan di hidupku. Namun, suasana rumah ini cukup lengang untuk aku pergi tanpa berpamitan. Meski begitu aku masih tidak ingin mamah khawatir dan meminta sopir  mengantarku pergi jalan-jalan.

Aku memasuki kafe Dara. Di sana sudah ada Lucas yang menunggu. Dia menyambutku dengan senyum senang.

Aku mendudukkan diri dengan kesal. Dia menyiapkan meja di pojok kanan dan agak jauh dari meja-meja yang diisi oleh pengunjung lain. Dia segera menawarkan aku minum.

Aku tidak mengindahkannya, "Kak, aku gak tau kalo kamu bakal senekat itu."

Lucas menatapku sambil cemberut, "Apa, Jenn?"

Aku memelototinya, hanya mampu berbisik, "Kakak, pengen Jerico mati?"

Lucas terkejut, "Maksud kamu apa, sih, Jenn? Aku bahkan belum ada nyentuh dia dan dia udah kecelakaan duluan."

Aku terhenyak mendengarnya.

Aku bertanya pelan, "Rencana kakak apa sebenernya?"

Lucas mengembuskan napas keras, "Beri pelajaran doang, sih. Aku nunggu dia di jalan, sama anak-anak. Tapi temenku ngabarin, katanya Jerico kecelakaan. Pantes aja mobilnya gak ada lewat, ternyata dia dibonceng sama temen sekelas kamu, Jennie."

Sulit untuk percaya pada Lucas setelah dia juga pernah membohongiku. Hanya saja, percaya pada versi Jerico juga memberatkan hatiku. Jika apa yang dikatakan Lucas adalah kebenaran, maka Jerico merekayasa kecelakaannya sendiri. Namun, andai mobil Jerico memang disabotase berarti Lucas sama berbahayanya dengan Jerico.

Aku sangat marah, kesal, dan kebencian semakin membabi buta di darahku. Pada saat bersamaan aku juga merasa lelah luar biasa. Meski kedua-duanya berbohong, apa yang bisa aku perjuangkan sekarang?

Keputusan yang diambil Papah Hendra dan mamah untuk aku ikut ke luar negeri bersama Jerico sudah final.

Sebetulnya inilah yang membuatku sangat tersakiti, keputusan orang tuaku tanpa melibatkan kehadiranku. Apakah kata-kataku selama ini tidak pernah mamah dengarkan? Aku hanya ingin sebuah perhatian tapi mamah  membuangku sangat jauh darinya.

Aku memejamkan mata erat-erat. Mencoba meredam segala hal buruk yang bergejolak di dada.

"Jenn." Lucas mengusap lembut kepalaku. "Tolong, pikirin perasaan aku ke kamu."

Aku tidak bisa. Perasaanku pada Lucas hanyalah sebuah kemarahan. Dia membuatku tidak bisa berkutik dari serigala kejam seperti Jerico dua kali.

Pertama, tentang taruhan itu. Kedua, kerjasama kami malah membuat nyawa mamah berada dalam bahaya. Aku tidak ingin ada yang ketiga kalinya hingga membuat hidupku manjadi lebih buruk lagi.

Aku menatap Lucas teguh, "Aku udah nyaman kalau kamu cuma jadi kakak aku aja. Please, jangan begini. Aku gak butuh siapapun untuk aku cintai, kak."

Lucas terlihat kecewa sebelum akhirnya bergegas duduk di sebelahku. Dia mengusap air mata yang aku saja tidak tahu sudah mengucur dengan deras. Kemudian, dia memelukku dengan lembut.

Dia bersikeras, "Izinin aku berjuang buat luluhin hati kamu, Jennie."

Aku menggeleng dalam pelukannya, membuat Lucas menunduk ke arah lain. Jerico selalu menindasku dengan kejam bila aku berhubungan dengan Lucas. Walau aku merasa tidak ada yang istimewa dari saudara tiriku ini, Jerico melihat Lucas sebagai sesuatu yang menjengkelkan di matanya. Itu berakibat fatal untukku.

Aku sudah kehilangan sosok papah dan mamah, aku tidak mau kehilangan seseorang yang sudah aku anggap sebagai kakak juga. Aku ingin Lucas mengerti, hanya dengan dia menjadi kakak tiriku, aku bisa menyayanginya. Aku tidak bisa jatuh cinta padanya, pada siapapun, saat aku sadar bahwa hidupku berada dalam genggaman erat Jerico seorang.

Aku membiarkan Lucas tetap memelukku. Sebuah hal yang tidak bisa Lucas dapatkan jika dia bersikeras dengan perasaannya padaku. Aku terlanjur melihatnya sebagai seorang kakak, keluarga, dan bukan seperti pria yang bisa aku cintai suatu hari nanti.

Seorang pelayan datang mengantar hidangan, mungkin Lucas sudah memesannya sebelum aku datang. Tidak ada dari kami yang menyentuh makanan. Kini di mataku segalanya terasa hambar setelah banyaknya kepedihan yang aku rasakan.

Setelah sekian lama, Lucas melepas tubuhku dengan raut wajah yang berat. Dia kembali membuka mulutnya. Sadar akan waktu yang terus berjalan dan dunia semakin gelap.

"Aku anter pulang, ya?" ucap Lucas.

"Aku sama sopir," tolakku.

"Sampe mana sih kamu mau nolak aku, Jenn?" tanya Lucas bernada bercanda.

Aku yakin kini Lucas sedang berusaha menutupi suasana hatinya, yang mana aku juga tidak mau tahu. Lebih baik begini saja. Dia melupakan perasaan dan aku menganggap semua ini tidak pernah terjadi.

Lagipula, bukan tidak mungkin Jerico juga akan balas dendam pada Lucas kalau benar Lucas yang menyabotase mobilnya. Dan aku harus jadi orang pertama yang menjauhi Lucas mulai sekarang. Sudah cukup aku merasakan dampak menyakitkan dari yang sudah orang-orang lakukan.

Jika aku menangis maka Lucas juga harus menangis karena Jerico. Masa bodo dengan dia mencintaiku atau tidak. Sedikit banyak, aku juga tidak begitu memercayai perasaannya.

Lucas terus membujuk rayuku untuk ikut pulang bersamanya dan sekuat itu juga aku menolak karena takut dengan konsekuensi yang harus kutanggung, bila Jerico tahu dan tidak senang.

Jam sebelas malam, aku sudah berada di dalam mobil lagi.  Waktu terus berjalan dan rasa sakitku tak kunjung hilang. Aku di sini, sendiri. Dipukuli  rasa sakit yang semua orang beri.

Dan masih ada Jerico yang harus aku hadapi, setelah sampai di mansion. Dia duduk di pinggir tempat tidurku dengan wajah yang sangat tenang. Ketenangan yang menakutkan.

"Ngerencanain sesuatu yang bahaya lagi?" tanyanya santai.

Aku menggeleng kaku.

"Jangan cuma diem di depan pintu. Pergi mandi terus baju bekas pakenya langsung buang!" perintahnya.

Aku mengangguk takut, menuruti kata Jerico. Selesai mandi dan kembali ke tempat tidur, aku melihat Jerico sedang membuka buku paketku sambil duduk melonjor di karpet. Aku menghela napas, semoga kami hanya benar-benar belajar.

Tapi aku merasa ini sudah terlalu larut malam untuk belajar ....

"Ada yang mau lo tanyain?" Kepala Jerico masih tertunduk ke buku paket.

Aku menggaruk belakang kepala sambil berdiri di depannya, "Itu ... buku apa?"

Jerico menutup buku paket dengan perlahan, lalu menatap wajahku, "Lucas."

Wajahku pasti sudah pucat pasi. Aku rasa, Jerico tahu aku ke mana dan berbuat apa saja. Aku sudah tidak heran mengapa dia bisa tahu aktivitasku. Bahkan gerak-gerik mamah saja bisa dia pantau untuk bisa dia celakai setiap saat, jika aku mencoba sesuatu yang buruk kepadanya.

Jerico selalu memiliki orang-orang yang menuruti segala titah kejamnya. Kini meski Jerico hanya diam saja, itu terlihat sangat menyeramkan di mataku. Raut wajah marahnya lebih bisa aku terima daripada yang tanpa ekspresi begini.

Aku hanya bisa menjelaskan, "Gue udah gak ada apa-apa sama Lucas.  Tadi juga ketemuan terakhir gue ma dia, Kak Rico."

Jerico tersenyum dingin, "Kenapa harus buru-buru pisah ma dia? Keknya elo butuh nanya sesuatu ke dia. Karena ... mungkin dia juga punya rahasia tentang elo."

Aku sedikit terdiam. Apalagi ini? Jika itu sebuah rahasia seseorang mana mungkin orang itu akan membaginya dengan suka rela. Sepertinya Jerico hanya memancing agar aku bertanya padanya, bukan pada Lucas.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang