20.

118 13 0
                                    

Kenapa, kok bacanya loncat-loncat? 😔

"Jenn?" Mamah masuk ke kamarku dan melihat penampilanku. "Oh, udah selesai, ya. Tadinya mamah mau liat bahu kamu."

"Telat," sahutku singkat dan  judes.

Ada tiga orang yang menyulapku menjadi  tuan putri dan semuanya adalah orang-orang profesional. Mulai dari pakaian, sepatu, make up, rambut, dan perhiasan semua dipilihkan oleh mereka. Mamah pasti ingin menonjolkan aku di pesta teman Jerico karena kini aku juga bagian dari keluarga Amartha.

Beliau kira pesta yang dibuat teman Jerico hanya acara ulang tahun biasa, biasa dalam artian serba mewah. Aku memakai gaun warna putih berlengan siku dengan rok sebatas paha yang mengembang. Terlihat kkkkkm, anggun, juga ceria cocok untuk dipakai remaja.

Aku pun menyukai penampilanku malam ini, tetapi ini akan memalukan karena tentu saja aku salah kostum. Meski aku lebih tidak mau memakai dress code yang Zafran terapkan. Dalam satu hari aku merasa lelah oleh beberapa hal dan aku masih harus datang ke pesta tidak penting itu.

Mamah menyuruh ketiga orang itu keluar dari kamar.

Mamah mengembuskan napas, mencoba mengalah, "Maaf kalau menurut kamu mamah kurang perhatian lagi sama kamu, Jenn. Mulai detik ini, mamah akan kembali seperti mamah yang dulu. Jadi, mamah mohon jangan bikin malu mamah dengan bersikap seenaknya ke Kak Jerico. Dia kakak kamu sekarang, jangan manfaatin dia tapi contoh dia sebagai panutan kamu, Jenn."

Aku memandang mamah sebal. Ujung-ujungnya beliau membahas pembicaraan di ruang keluarga. Padahal mamah belum terlalu mengenal Jerico tapi sudah menaruh kepercayaan yang besar padanya. Dan aku malah tidak didengarkan sama sekali.

"Terserah mamah mau ngomong apa. Aku mau pergi." Selamanya kalau bisa.

Sejak orang tuaku bercerai emosiku mulai tidak stabil dan mudah berpikiran pendek. Aku selalu menyalahkan Celine dalam setiap kondisi karena dia anak wanita yang sudah merebut papahku. Kini emosiku diganggu lagi oleh kehadiran Jerico, anak tiri mamahku, semua emosiku malah terbenam tak bisa bangkit.

Begini rasanya seorang villain dilahap oleh villain yang lebih besar. Aku sama sekali tidak berdaya. Tak ada bedanya dengan sebuah boneka.

Mamah menatapku kecewa, "Mamah sedih kamu seperti ini, Jenn."

Tidak ada yang akan tahu sekecewa dan sesedih apa yang kurasakan pada diriku sendiri.

Aku menatap mamah nyalang, "Menurut mamah kenapa aku jadi seperti ini? Bukankah karena kalian?"

Mamah tahu yang kumaksud adalah masalah perceraian beliau dengan papahku. Meski Papah Hendra sangat baik dan seorang ayah yang bijaksana, aku masih belum merelakan perpisahan kedua orang tuaku. Jerico ada benarnya, aku selalu ingin dipuja sempurna dan memiliki reputasi tanpa cacat. Termasuk dalam latar belakang keluarga.

Aku pikir mamah akan marah, tapi dia hanya menatapku kasihan lalu pergi tanpa berkata lagi. Hatiku menjadi sunyi sementara aku ditinggalkan sendiri di dalam kamar yang harus kupecahkan misterinya. Apakah benar di kamar ini ada sebuah rahasia?

Atau jangan-jangan Jerico hanya ingin mengurungku di kamar ini selama tiga bulan sebelum kepergiannya ke luar negeri?

"Jennie?"

Suara Jerico yang masuk ke kamarku membuatku menoleh padanya. Dia adalah pria yang tinggi, celana bahan warna putihnya terlihat sangat panjang seperti tiang. Biasanya, wajah Jerico ditutupi oleh poni yang disisir ke samping tapi kini poninya hilang, memperlihatkan keningnya yang halus. Dia terlihat agak dewasa malam ini, gaya rambutnya membuat tekstur wajahnya jadi gagah.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang