33.

154 11 2
                                        

Jerico datang ke kamarku membawa nampan makan. Sebelumnya memang aku selalu menolak makanan yang datang diantar oleh pelayan suruhan mamah. Aku tidak mau makan, aku tidak bisa makan, saat seluruh hidupku berantakan.

Sepertinya Jerico baru pulang sekolah, dia bahkan belum mengganti seragamnya. Aku membalikkan badan ke kanan, masih rebahan. Pusing.

"Kenapa lagi?" tanyanya begitu duduk di sisi tempat tidurku. "Lo bisa sakit kalo telat makan terus."

"Apa peduli lo?" kataku sinis.

"Peduli gue banyak ke elo, cuma elonya gak bisa liat," jawabnya.

"Emangnya gue buta?" teriakku.

"Hati lo yang buta," selanya.

"Daripada lo gak punya hati," makiku.

"Gimana kalo kita sambungin aja hati kitanya biar hati buta lo jadi terang, hati gue yang mati bisa hidup lagi."

"Jijik banget sumpah."

"Hahahaha. Gue sakit hati lho dengernya."

Aku pasti sudah gila karena sekarang aku tersenyum, meski aku berusaha keras untuk menahannya. Jerico menarik lenganku sampai aku balik badan ke arahnya. Sepertinya suasana hati Jerico sangat baik.

Itu sudah pasti. Aku kira, itu mungkin karena Putri telah menolongnya sehingga hubungan mereka menjadi lebih dekat. Sekarang aku tidak bisa melihat bagaimana Jerico dan Putri di sekolah lagi.

Memikirkan sekolah, aku jadi teringat sesuatu.

"Kenapa lo mau gue ikut ke luar negeri?" tuntutku marah, gregetan. "Bukannya lo mau bawa cewek lo ke sana? Tugas gue nemenin lo di sana apa, Kak Rico?"

"Apalagi?" Jerico tersenyum manis. "Lo kan boneka gue."

Aku harus mengingatkannya, "Tapi, kita kan bikin perjanjian kalo gue bisa nemuin rahasia di kamar ini, lo bakal lepasin gue."

Jerico merendahkanku, "Gue tanya, lo ada gambaran gak ruang itu ada di mana? Gue berpikir lo gak akan pernah bisa nemuin ruang itu, Jenn. Elo kalah."

Aku jadi curiga. Jangan-jangan ruang rahasia itu hanyalah akal-akalan Jerico saja untuk menipuku. Nyatanya tidak ada hal tersembunyi di kamar ini!

Sial. Sial. Sialaaan!!!

"Semua udah diatur sama orang tua kita, Jenn," tegas Jerico saat melihat aku akan mengamuk padanya.

Aku benar-benar jengkel. Padahal aku sudah berusaha keras mencari-cari ruangan rahasia itu. Nyatanya aku hanya dibodohi.

Aku menuntut, "Terus cewek lo gimana? Lo mau bawa dia kan?"

Jerico memandangiku lalu menghela napas. Dia bahkan mengusap wajahnya dan tampak agak frustasi. Sebetulnya, aku juga frustasi melihatnya demikian.

"Iya, Jenn."

"Kenapa kok elo lemes? Bukannya lo cinta mati ke dia?"

"Iya, Jenn."

Aku jadi kesal, "Iya Jenn, iya Jenn mulu. Ngomong dong yang bener!"

Jerico malah tersenyum tak berminat, "Stop pikirin siapapun yang lo salahpahami sekarang, Jennie!"

Apa maksudnya aku harus berhenti salah paham? Hah, lupakan saja. Dia memang hanya ingin membuatku darah tinggi atau bahkan mungkin mati muda.

Kapan sih Jerico tidak pernah membuatku marah? Tapi kemudian aku teringat mimpi tadi, bibirku berkedut ingin tertawa. Jerico menatapku aneh lalu mulai menyendok nasi dan disodorkan padaku.

Aku. Tidak. Selera. Makan!

"Kak Rico, kapan gue pingsan?" tanyaku.

Aku ingin mengalihkan perhatiannya dari memberiku makan. Nyatanya, mengobrol dengan Jerico itu sesuatu yang lumayan menyenangkan di hidupku. Aku tidak punya teman ataupun tidak bisa berbagi cerita ke keluarga, tetapi Jerico berhasil mengajakku "berbicara".

"Pas elo meluk gue," balasnya sambil memandang mataku.

Setelah aku perhatikan dan ingat-ingat, anak lelaki itu juga punya mata hitam seperti milik Jerico. Dan kini rasanya tulang mukaku pasti akan remuk karena menahan rasa malu, mengingat aku yang suka memeluk Jerico saat kami masih anak-anak. Hanya saja bukan itu point utama mengapa aku ingin tertawa ....

"Lo tau gak---"

"Skip gossip, Jenn."

"Gue mimpi sesuatu. Ada anak cowok yang minta disuapin makan biar badannya gede. Lo mau tau gak biar apa? Katanya biar gue gak meluk anak lain selain dia. Hahahaha."

Bola mata Jerico melebar kemudian dia tersenyum senang. Dia menyisihkan piring dan menarik tubuhku mendekatinya lalu mencium bibirku keras-keras. Aku berusaha memukul Jerico dan dia malah mengunci tanganku dengan cengkeraman di belakang punggungku.

Jerico melepas bibirnya dari mulutku, "Sekarang lo tau kan, Jenn, siapa yang gue cintai selama ini?"

Aku masih shock dengan perilaku tak senonohnya dan hanya bisa menatap sengit padanya, "Gue cuma mimpi itu, gue masih gak inget anak kecil mana yang lo bucinin."

Ekspresi lembut Jerico berganti menjadi sedatar papan tulis. Entah apa yang membuat suasana hatinya menjadi jelek. Lagipula mengapa itu menjadi tugasku untuk mengetahui anak kecil mana yang dia cintai?

"Orang bodoh akan selamanya bodoh," kata Jerico sadis.

Aku jadi emosi, "Kenapa sih lo jahat banget ke gue?"  

Jerico ikut nyolot, "Karena gue pengen."

Ingin sekali aku colok matanya, "Gila lo."

Kami saling diam sampai akhirnya Jerico memaksaku untuk makan dan dia keluar dari kamarku dengan nampan makan yang kosong. Selalu saja seperti ini. Sore itu aku tertidur sampai melewati jam makan malam.

Tidak ada yang menggangguku.

Setelah aku bangun, sudah jam delapan malam. Aku turun ke lantai dasar, mansion ini masih terang benderang dan ada beberapa pelayan yang masih mengerjakan tugasnya. Salah satunya adalah Bu Susan.

"Nona ingin apa biar saya bawakan," tanyanya sopan.

Aku tidak menggubrisnya. Sudahlah, dia adalah orangnya Jerico. Aku tidak akan beruntung jika berkoalisi dengannya. Aku berjalan melewatinya.

"Kalau nona tidak butuh apa-apa, tolong dengarkan saya," katanya, di belakangku. "Tuan tidak pernah sembuh, dia hanya bertahan."

Aku memutar tubuh menghadap Bu Susan mendengar kata-kata terakhirnya. Dia membahas trauma Jerico. Dan saat aku melihat ke wajahnya, hanya ada ekspresi sakit darinya untukku.

Dia tidak menghakimiku dari wajahnya, tetapi wajah itu membuatku sangat merasa bersalah. Mungkin Bu Susan sudah seperti ibu bagi Jerico, begitupun sebaliknya Jerico adalah anak baginya. Dan  aku sebagai tertuduh yang menghancurkan anaknya.

"Pelakunya orang suruhan Papah Hendra," balasku mencoba mengelak sebisanya.

"Memang benar." Bu Susan setuju. "Tapi andai  nona tidak meninggalkan dia sendirian ... mungkin akan berbeda ceritanya."

"Aku tidak!" bantahku keras. "Aku ingin menolongnya tapi justru tertabrak mobil hingga hilang ingatan."

"Saya harap memang demikian," ujar Susan lemah.

"Apa dia cerita padamu?" tanyaku penasaran, entah mengapa merasa kelewat kesal.

"Dia tidak cerita tapi saya bisa melihat lukanya," tandas Bu Susan.

Aku membenci Jerico hingga ke tulang dan bahkan Jerico membenciku hingga ke setiap persendiannya. Aku mungkin adalah luka di hidupnya, luka yang kini aku tahu mengapa ingin dia ikat di sisinya. Itu ... agar aku menghukum diriku sendiri dengan selalu merasa bersalah telah memberikan masa lalu menyakitkan untuk Jerico kecil.  Dia dan aku saling membalas, terluka kedua-duanya, dan tetap dipaksa harus bersama mengingat satu episode tidak terlupakan.

***

Jerico: bercanda-bercanda 😜

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang