28.

121 15 4
                                    

Hayo, siapa lagi yang udah lelah mental baca kisah ini? Aku mau nyetok bab (aku lagi nulis bab 39). Jadi, bikin tantangan 30 vote. Kalo bab ini udah 30 vote, baru up lagi (bab 29-31 dalam sehari). 😬

Ketika aku pulang sekolah bersama Jerico menggunakan mobilnya, ternyata mamah sudah berada di mansion. Beliau membawakan kami banyak  oleh-oleh yang sama sekali tidak berharga di mataku. Tidak, di saat beliau mungkin sedang sibuk berbelanja aku malah kehabisan oksigen di dalam air. Bahkan meski itu sama sekali tidak benar aku entah mengapa sudah tidak bisa menghargai pemberian mamah lagi. Bukan perhatian seperti ini yang aku inginkan.

Jerico dan aku berjalan menaiki tangga.

"Lebih baik lo gak ceritain soal kejadian di pesta Zafran ke mamah lo, Jenn," perintah Jerico.

"Kenapa dia gak boleh tau gue bundir?" sungutku.

"Patuh, Jenn," tegasnya.

Aku menghentak kaki kesal lalu melompati dua anak tangga meninggalkan Jerico di belakangku. Aku benci dikendalikan seperti ini. Aku membuka pintu kamarku dan menendangnya agar tertutup kembali, kemudian merebahkan diri di tempat tidur.

Jerico membenciku seperti aku membencinya, begitu juga Celine. Aku takut dia akan membocorkan hal yang sudah dia dengar di UKS dan menghancurkan reputasiku di sekolah. Meski reputasiku di sekolah juga tidak ada yang baik, aku sungguh akan terbebani jika bertambah satu lagi.

Ketika Jerico menjemputku untuk turun setelah waktunya makan malam, kami tidak sengaja mendengar pembicaraan orang tua kami di lantai dasar, di ruang keluarga. Mamah dan Papah Hendra mulanya menyebut-nyebut nama Jerico, membanggakan setiap prestasi kakak tiriku, lalu topiknya berganti menjadi diriku.

Awalnya mamah berkata biasa sampai akhirnya ....

"Aku udah minta semua produser film untuk blacklist nama Jennie agar dia gak bisa masuk dunia entertainment."

Aku membeku. Jerico berdiam diri di sampingku. Apakah aku tidak salah dengar? Mengapa hidupku menjadi semakin kacau dan terkekang?

"Tapi kenapa, Miranda? Biarkan Jennie menjadi apa yang dia inginkan."

"Sebenarnya aku takut, dia kekeuh mau jadi artis itu apa ingatannya udah mulai kembali? Padahal cita-cita itu yang bikin dia amnesia."

Aku menoleh ke Jerico secepat kilat dan ternyata dia sedang menatapku. Jari jemariku rasanya sangat dingin. Orang yang aku sayang, bahkan demi beliau aku menghancurkan harga diriku sendiri pada serigala seperti Jerico, rupanya malah punya niat menutup masa depanku.

Dan mengapa harus Jerico ... mengapa harus kakak tiriku yang jahat yang menawarkan bantuan agar aku bisa menjadi seperti apa yang aku cita-citakan, tadi siang.

"Sebenernya apa yang terjadi ke gue, Kak Rico?" kataku lirih, bergetar.

"Gue takut buat cerita, Jenn," jawabnya lalu memalingkan wajah.

Takut. Aku pikir, Jerico tidak mengenal rasa takut. Dan lagi, mengapa masa laluku menjadi sesuatu yang dia takutkan?

Jerico selalu saja bungkam bila itu mengenai masa kecilku. Ke mana dia saat aku tidak bisa mengingatnya?

Aku berlari meninggalkan Jerico, menghampiri mamah juga papah baruku. Mereka terlihat terkejut dengan kedatanganku. Aku semakin kesal melihat wajah mamah kembali tenang.

"Apa maksud mamah barusan?" desakku tak sabar.

"Seperti yang kamu dengar. Latar belakang keluarga kita bukan dari entertainment, Jennie, pahamilah," jelas mamah ringan.

"Lalu memangnya kenapa? Itu hak aku kan mau jadi apa nanti?" teriakku, melupakan sopan santun.

"Hak mamah juga ingin kamu jadi apa nanti!" bentak mamah.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang