23.

119 8 4
                                    

Aku dan Jericop akan kembali ke mansion Papah Hendra. Saat roda mobil meninggalkan halaman rumahku, aku juga terus  memutar percakapan singkat tentang Jerico dan aku saat masih kecil melalui mulut Putri di otakku. Sebenarnya aku penasaran pada masa kecil kami.

Aku menggigit bibir bawah, melirik ke kakak tiriku yang sedang menyetir, berbicara, "Bukannya bagus lo punya ibu dari temen lo sendiri?"

Jerico menoleh padaku, ekspresinya bertanya.

Aku  meneruskan kalimat, curiga, "Sebenernya, lo cuma pura-pura aja kan ngancem mamah lewat gue? Lo kan kenal sama  mamah dari kecil!"

Jerico menyipitkan mata, suaranya sinis, "Gue tau mamah lo tapi nggak kenal secara pribadi apalagi sejak kecil."

Aku tidak percaya, "Bohong! Lo sama gue satu TK! Mana mungkin lo gak kenal mamah gue."

Masa aku tidak mengenalkan teman kecilku satu-satunya ke orang tuaku saat itu?

Jerico ganti melebarkan mata, terkejut, "Sejak kapan lo udah inget siapa gue, Jenn?"

Aku bersedekap dada, menipunya, "Iya. Lo orang yang ninggalin temen lo sendiri cuma karena gadis kecil yang lain. Ternyata lo udah buaya dari anak-anak."

Aku memandangnya benci dan ekspresi Jerico berubah kaku dalam sekejap. Aku keliru, aku tidak bisa membohongi seorang Jerico Amartha.

Dia berkata dingin, "Ternyata lo gak inget apa-apa. Siapa, siapa orang yang udah bilang hal itu ke elo?"

Aku menelan ludah takut,  "Bukannya elo sendiri? Lo bilang lo cinta ke dia dari anak-anak?"

Jerico mengendurkan rahangnya, tapi masih mendesak, "Siapa yang bicarain masa lalu lo?"

Aku ingin menjawab "teman" tapi aku tahu dengan sikap Putri semalam, dia tidak akan mau menjadi temanku lagi.

Aku memalingkan wajah ke sisi jendela, "Orang."

Jerico mencubit daguku  untuk menghadapnya lagi, "Putri?"

Aku berkedip. Melihat lingkar pertemanan Jerico sekarang, dia pasti tahu kalau Putri adalah sepupu Zafran yang baru pindah dari Jepang. Putri juga bersekolah di satu TK yang sama dengan kami, apakah dia juga tahu hal itu? 

Aku melepaskan tangan Jerico dan mengembalikan topik ke awal, "Lo tau kan mamah gue?"

Jerico ganti memainkan jemariku dengan sebelah tangannya, satu tangannya memegang kemudi dengan stabil, "Jelas saat kecil gue tau elo anak keluarga terpandang. Perhiasan mamah lo jadi barang branded yang dipake sama artis-artis luar negeri.  Sebatas itu."

Aku berdecak, memandang ke depan, bersedekap dada, "Masih aja bohongnya."

Jerico berkata panjang, melepas tanganku dan melihat ke depan juga, "Jennie, lo lupa ya kalo gue pernah gak dipeduliin selama sepuluh tahun sama bokap gue? Saat kecil nama gue cuma Jerico, gak ada nama Amartha yang bikin gue kuat buat dipandang sama anak-anak lain. Bahkan meskipun anak-anak tau gue dari keluarga Amartha, gue cuma seorang anak yang sebenernya gak dianggap anak sama bokap gue sendiri. Meskipun waktu kecil lo seneng temenan sama gue, gak ada kesempatan buat kenal langsung sama nyokap lo. Dan setelah dia jadi ibu tiri gue, rasanya ini juga bukan kesempatan yang bagus buat gue kenal nyokap lo."

Aku berasumsi, "Lo mikir gitu karena ngerasa bersalah udah ninggalin temen lo sendiri?"

Kemudian aku berpikir lagi, Jerico bilang tidak ada kesempatan untuk berkenalan dengan mamahku. Jadi, pasti sesuatu terjadi sebelum aku bisa mengenalkan Jerico pada orang tuaku. Apakah itu yang menyebabkanku melupakan sosok kecil Jerico?

Jerico menyanggah, "Jangan ngaco. Lo gak inget apa-apa."

Lalu apa yang seharusnya aku ingat?

Aku berucap lirih, agak ngeri membayangkan satu fakta, "Berarti, apa sebenernya gue ini lagi amnesia? Jangan-jangan waktu bocil gue ketabrak mobil terus kepala gue kebentur aspal kek di film-film?"

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang