22.

158 10 6
                                    

Aku megap-megap dan langsung  terduduk, aku baru saja  bermimpi mati tenggelam. Sebuah tangan yang besar menekan perutku hingga aku berbaring di tempat tidur. Aku melihat Jerico di sampingku, wajahnya  terlihat segar dan tenang ketika membuka mata.

Aku sudah tidak bisa berpikir mengapa kami berdua telanjang, hal yang membuatku sedikit nyaman adalah ruangan ini adalah kamar di rumahku. Aku tidak perlu takut air, tidak ada air di sini, tetapi aku masih menangis. Hatiku sakit.

Jerico memeluk dan mengecup keningku setelah menaikkan kembali selimut yang turun ke pinggangku. Saat itu mungkin baru dini hari, kami jatuh tertidur secara bersamaan.

Paginya, aku teringat peristiwa semalam.

Skin to skin yang dilakukan Jerico padaku  berhasil hingga suhu tubuhku tetap normal. Dia masih tidur di kamarku sementara aku mengambil pakaian di lemari dan mengenakannya. Aku sudah mengganti celana dalam dan pembalutku di kamar mandi. Aku turun ke bawah.

Pak Joko pasti memberi tahu Bi Mina kedatanganku dan kakak tiriku, jadi ada sarapan di meja makan.  Namun, yang kulakukan adalah mencari plastik mi instan yang  pernah Jerico sita. Ternyata dia menyimpannya di lemari atas paling sudut, semuanya masih utuh.

Aku memasak mi instan itu dengan panci kecil dan menunggunya matang sementara aku menyiapkan bumbu di mangkuk. Aku tidak menghiraukan kehadiran Jerico yang tiba-tiba ikut berdiri di sisi meja makan. Setelah mi instan itu kutaruh ke mangkuk, dia memperhatikan aku makan sampai selesai.

"Nanti, lo harus minta maaf sama dia," perintah Jerico.

Dia siapa? Oh, Mariska, ya?

Aku mengangguk saja. Meninggalkan meja makan setelah menaruh bekas makanku di bak cuci piring. Jerico mengikutiku, tetapi aku hanya berputar-putar di sekitar dapur. Tidak tahu harus ke mana.

Sampai akhirnya Jerico menarik tanganku menghadapnya, dan memandangku dengan wajah yang sangat tenang.

"Jenn, jangan lakuin itu lagi," pintanya.

"Terus kenapa lo bilang gue harus minta maaf?" semburku marah. "Mereka yang bikin gue kayak gitu!"

"Jenn, jangan lakuin itu lagi," pintanya sekali lagi.

Aku kesal karena Jerico hanya ingin didengar tanpa mau mendengarku juga. Aku ingin meninggalkan Jerico yang tanpa ekspresi itu tapi tidak bisa karena dia mencengkeram erat lenganku. Sampai kapan sih dia mau berhenti menyakitiku?!

"Gue cuma punya elo."

Aku bergerak maju, menampar wajah Jerico. Kepalanya tertoleh ke samping lalu menunduk. Aku harap dia memang menyesal, tetapi kemudian kudengar dia terkekeh pelan.

"Gue yang gak punya siapa-siapa! Orang tua gue cerai, temen gak ada, siapa ... siapa yang gue punya?"

"Gue. Elo punya gue, Jenn. Harusnya tadi malem lo lari ke gue bukan malah bertindak egois," kata Jerico marah tapi matanya terlihat sakit.  "Gue gak mau lo mati."

"Kalau gue bergantung ke elo, gue tetep bakal berakhir sama kayak tadi malem," tekanku, tambah marah. "Mati atau pun nggak, emangnya elo bisa apa?"

Aku mungkin tidak tahu bagaimana caranya Jerico membawaku ke rumah, hanya saja aku tahu yang menyelamatkan hidupku adalah Lucas. Tidak perlu bertanya, Jerico tidak ada di tempat kejadian semalam.

"Itu karena lo lepasin tangan gue, Jenn," tegas Jerico.

"Lo yang pergi ke temen lo! Kenapa sih lo selalu muter balik fakta?! Gue capek!" teriakku, stress.

"Gue bilang, lo harus diem di tempat gue tinggal, tapi elo pergi seenaknya, kan?" Jerico terus menyerangku.

"Jadi, perlakuan semua kakak kelas ke gue itu elo yang nyuruh?" Aku yakin berhasil menyudutkannya.

Jerico  menangkap tubuhku dan membawaku ke  kursi meja makan, perlawananku sia-sia. Kita saling berhadapan, tetapi kini  tinggi kita  sama karena dia mendudukkanku di atas pahanya. Jerico terus-terusan mendoktrinku dan kini aku mulai meragukan diriku sendiri.

"Gue jelas bukan orang yang bisa berbagi kesenangan ke orang lain," bantah Jerico tegas. "Semua yang terjadi semalam karena elo gak dengerin perintah gue, Jenn. Lo boleh bersikap keras kepala ke orang lain, tapi nggak ke gue. Lo harus nurut sama semua perintah gue, Jenn."

Aku mengungkapkan yang kutakutan, "Gue gak mau dibully lagi karena salah paham deket sama lo. Kalo lo mau gue hidup, ngejauh dari gue!"

Jerico menatapku marah, wajahnya terlihat sangat bengis. Aku balas melihat mata Jerico keras.  Aku ingin dia mengerti tapi kenapa jadi aku yang selalu salah?

Jerico dengan cepat mengubah raut wajahnya, meremehkanku, "Bener-bener bego. Padahal tadi gue beri lo kesempatan buat bales mereka dengan cara gue kalo lo mau ngejadiin gue tameng. Tapi lo emang gak pernah bisa ambil kesempatan dengan bener, kan? Sekarang jangan sok-sokan bilang gue harus ngejauh dari lo karena elo itu boneka gue. Sadar diri, elo yang butuh gue!"

APA? Aku shock dan hanya bisa melongo. Perkataannya terdengar seperti aku sangat membutuhkan bantuan Jerico  dan pada waktu bersamaan membuang kesempatan itu sendiri. Aku merinding.

Dia memintaku untuk menatap matanya, "Mulai sekarang lo harus bisa nahan emosi lo, Jenn. Lo cuma boleh emosi kalo lagi sama gue. Dan soal Mariska, gue pastiin nama lo bakal baik-baik aja."

Bahkan meski aku sangat ketakutan, aku masih ingin melawan Jerico.

Aku menggertakkan gigi, "Lo gak pernah bisa liat dari sudut pandang gue, Kak Rico. Gue lempar dia pake gelas karena mulutnya emang lancang!"

Jerico kembali memandangku dengan tenang, mengeluarkan wibawa seorang pewaris, "Oke lo mau bales dia, tapi cuma omong kosong dibales sama fisik apa itu sebanding? Di mata hukum lo yang salah, Jenn. Dia bisa berkilah kalo omongannya sebatas becanda, sementara luka yang lo buat di fisiknya?"

Aku diam tidak bisa menjawab. Jerico selalu menemukan celah pada diriku. Aku terpukul, apakah benar aku sebodoh itu?

Terjadi keheningan yang singkat sebelum akhirnya Jerico tiba-tiba memelukku dengan erat, sementara itu aku merasa letih  oleh amarah yang kian memberatkan hatiku. Karena aku tidak berdaya meski aku merasa marah sebesar gunung pun. Apakah seharusnya aku memang takhluk pada serigala cabul seperti Jerico? Jiwaku menolak.

"Rasanya lebih mudah dapetin elo setelah lo jadi boneka gue."

Dia ngomong apa, sih?

Aku cemberut, "Semua orang ngiranya gue yang nempelin lo tapi faktanya elo yang maksa gue di sisi lo."

Jerico beralasan seperti orang kehabisan ide, "Gak ada cara lain."

Dasar serigala licik. Ah, aku juga bukan orang baik.

"Cewek itu, siapa dia?" Aku ingin mencarinya. Yang seharusnya dilabeli boneka adalah dia dan bukan aku.

"Cewek mana?" Jerico melepas pelukannya.

"Cewek yang udah bikin lo jadi orang sin-ting. Siapa dia? Kita culik aja, terus lo bawa ke luar negeri."

"Hahahaha. Aaah, sialan, Jennie."

Aku merasa Jerico sudah gila karena bisa-bisanya dia tertawa ketika membicarakan penculikan anak manusia. Pun aku juga sama saja. Hahahaha.

"Gimana? Lo setuju gak?"

"Gue sangat setuju!"

"Jadi, siapa orangnya?"

"Lo bakal tau siapa dia kalo udah nemuin ruang rahasia di kamar baru lo, Jenn." 

Rasa gembiraku karena menemukan cara membebaskan diri lenyap seketika.

"Dia udah ada di ruangan itu? Lo gila?!"

Jerico tertawa terbahak-bahak, tetapi dia tidak menjawabku. Jerico hanya menatap mataku, tersenyum, menciumi wajahku, dan memelukku dengan gemas. Dasar buaya ini sangat menjijikan.

Itu ... tidak mungkin kan gadis itu ada di ruang rahasia di mansion Papah Hendra? Karena kalau benar, misi  Jerico untukku adalah menyelamatkan tawanannya sendiri. Aku semakin penasaran tentang  apa yang Jerico sembunyikan di sana.

Aku merasa Jerico membahas kamar itu agar aku meminta kembali ke mansionnya. Dan aku memang ingin pergi!

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang