35.

63 6 4
                                    

Aku mendekati Jerico dengan duduk di sebelahnya. Sebenarnya aku hanya ingin menyandar ke sisi ranjang dan lebih jujur lagi, aku sudah ingin tidur. Hanya saja bila aku tidak meladeni Jerico, aku takut dia akan melakukan sesuatu yang membuat mentalku semakin down.

Aku menoleh ke arahnya, "Apa lo tau rahasia itu, Kak?"

"Gak seru kalo langsung ke inti," kata Jerico bernada main-main. "Gimana kalo kita tebak-tebakkan."

Aku sudah tidak mood.

"Terserah elo deh, Kak Rico."

Jerico tersenyum misterius, "Apa lo yakin udah gak mau tau tentang masa kecil kita?"

Aku langsung tegang. Aku masih tidak ingat apa-apa tentang masa lalu itu. Jadi, aku juga sedikit penasaran.

Aku menjawab, "Bakal gue dengerin, Kak."

Jerico meraih lenganku lalu mengetukkan jemarinya di sana, seperti memainkan piano, "Menurut lo kenapa Susan bisa cepet tau gue diculik?"

Kenapa? Pikirku, sebelum aku tercengang, "Dia ... ngeliat sendiri?"

"Karena itu juga Susan selalu nuduh lo," terang Jerico.

Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menahan rasa sakit di kepalaku saat sebuah gulungan benang tak kasat mata mulai terurai dipikiranku dan blasss ... aku terpaku.

"Kamu siapa?"

"Apa-apaan? Aku berdoa siang-malem biar kamu cepet bangun dan ini yang kamu tanyain ke aku?!"

"H-hah?"

"Kenapa kamu gak inget sama aku, Jennie? Kamu harus tanggung jawab, karena kamu aku jadi mimpi buruk setiap malam!"

Aku menggerakkan kepala dengan kaku ke depan, enggan melihat wajah tenang Jerico. Setelah dia menemuiku di ruang inap rumah sakit, dia tidak pernah muncul lagi dan mungkin dia telah dibawa oleh tantenya ke Jepang. Lalu aku melupakan Jerico begitu saja.

Aku juga sekarang ingat bahwa aku memang berteman dekat dengan Jerico di sekolah anak-anak. Dulu dia anak yang manis, sangat pendiam bila dengan anak-anak yang lain, tapi gemar  memarahiku. Dasar Jerico kurang ajar, dari kecil hingga sekarang dia suka sekali menindasku.

Jerico  tidak pernah terlihat bersama dengan gadis kecil lain selain aku. Pasti anak gadis itu Jerico temui di Jepang. Aku masih mencurigai Putri sebagai orang yang Jerico cintai.

Hanya saja, mengenai penculikan serta  kecelakaan yang Jerico dan aku alami ... aku masih tak mengingatnya. Meski demikian, sepertinya Jerico mengatakan kebenaran karena saat dia menemuiku di rumah sakit dia tampak ... hancur.

"Jenn, Jennie!" panggil Jerico keras, kesal. "Kok elo malah ngelamun?"

Suaranya masuk ke telingaku dan menghentikan sepotong demi sepotong gambar yang pernah kami lalui saat kami masih kecil di sekolah.

"Maaf, gue ngantuk, Je," kataku beralasan juga keceplosan.

Kini giliran Jerico yang termenung. Dia menatapku curiga karena aku memanggilnya dengan sebutan yang selalu kugunakan saat aku masih kecil. Je, anak lelaki yang suka marah-marah saat aku memeluknya dan lebih marah lagi bila aku tidak memeluknya.

Kini aku tahu mengapa dia selalu marah-marah jika aku memeluknya. Dia hanya malu. Tidak pernah ada yang memeluknya sebelumnya. Jerico kecil tidak merasakan peran ibu, diabaikan papah, dan sulit berteman dengan anak sebayanya.

Jerico yang sekarang malah kebalikann dari versi kecilnya. Dia punya circle dan selalu ramah pada pengagum perempuannya di sekolah. Namun, dia selalu menunjukan sifat dan sikap yang berbeda terhadapku.

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang