12.

160 10 0
                                    

Jerico menggendong tubuhku dari mobil dengan paksa dan membawaku ke kamarnya. Aku duduk di tepi ranjang sambil menunduk. Aku sangat sedih karena posisiku selalu saja terjepit jika berurusan dengan Jerico.

"Ngomong, Jennie. Jangan bikin gue tambah kesel," tuntut Jerico, mengamuk di depanku.

"Gue gak tau apa besok jadi ketemuan sama dia di perpus karena dia bikin gue marah dan kayaknya dia juga marah ke gue," jelasku pelan.

"Siapa yang nyaranin buat ketemu di tempat sepi?"

Jerico menyamakan perpustakaan sebagai tempat sepi, dan walau memang benar karena di negara ini jarang sekali orang yang suka baca, bagaimana dia bisa begitu detail dalam menanyaiku. Aku merasa seperti diinterogasi oleh seorang eksekutor.

Aku sangat tertekan, "Kak Rico, buat apa lo bersikap kayak gini?"

Aku jujur ataupun bohong sekarang sama-sama tidak menguntungkanku. Perilaku Jerico sangat tidak wajar dan aku tidak punya gambaran mengapa dia sekasar ini padaku. Baru saja Lucas juga bilang dia dan aku bisa tertawa bersama dan kini Jerico menunjukkan lagi sifat aslinya.

Jerico memukul tembok, berujar pelan namun jelas, "Lo masih gak tau gue kayak gini karena apa? Bener-bener bego, ya."

Bego, bego, aku benci dikatai seperti itu! Hal itu semakin membuatku terpuruk karena aku sadar jangankan untuk membalas perbuatan Jerico, aku bahkan tidak akan bisa melawannya.

Aku mengepal tangan kuat-kuat, "Sampai kapan?"

Jerico ngegas lagi, "Apa?"

Aku menengadah padanya, berkata dengan hati teriris, "Sampai kapan lo mau nyakitin gue? Kadang lo baik kadang lo jahat. Gue harus percaya elo yang mana?"

Jerico menatapku lurus tanpa sedikit pun rasa iba yang selalu dia bagi ke Celine.

Dia menyeringai, menebak, "Elo, kan. Elo kan yang minta ketemu di sekolah. Lo berbelit-belit buat ngindarin masalah tapi lo lupa kalau lo lagi ngomong sama gue."

Aku membeku.

Jerico membentak, "Jadi, lo mau berduaan sama dia? Mau nyoba milik Lucas juga, hah?"

Emosi dalam diriku pun berkobar saat tanganku melayang menampar muka Jerico. Dia melotot marah padaku, tapi kali ini aku tidak takut. Aku sangat marah hingga rasanya darahku mendidih.

Aku menyanggah keras, "Lucas itu gak cabul kayak lo! Dia baik, dia sayang sama gue. Sedangkan lo apa? Bisanya cuma nyakitin doang!"

Jerico menatapku tajam, "Tau darimana dia gak cabul? Asal lo tau, temen-temen gue selalu gosipin elo. Pengen jadi pacar lo, pengen tidur sama lo, rame-rame mereka pengen jadiin lo lon-te karena elo selalu nolak cinta mereka!"

Sekarang, aku tercengang dan menutup mulutku. Rasa takut itu datang lagi sampai aku berganti memeluk tubuhku sendiri.

Jerico menyambung, "Lo itu seharusnya bersyukur karena gue yang maju deketin lo. Coba kalo anak-anak lain, udah abis lo sama mereka."

Aku menangis dan meracau tanpa berpikir apa yang kubicarakan, "Apa yang harus gue syukurin? Lo juga sama aja akhirnya ngelecehin gue, berkali-kali! Daripada begini lebih baik gue jual diri aja sekalian. Hiks."

Pada dasarnya aku ini pembangkang dan sekarang Jerico tambah murka. Aku sudah tidak tahu lagi harus bagaimana?

"SIALAN, JENNIE!"

"IYA GUE EMANG SIALAN, GUE BEGO. GAK ADA YANG PEDULI SAMA GUE LAGI! Mamah lebih mentingin elo, papah juga lebih sayang sama Celine dan kalian anak tirinya cuma bisa nyiksa batin gue padahal orang tua gue sayang ke kalian berdua. Lo pikir ini adil di saat gue sendiri yang anak kandung mereka malah ngerasa gak dianggap lagi? Saat tau mamah bakal jadi ibu tiri lo, gue berkorban dengan mutusin tinggal sendiri karena gue pengen lo  ngerasain punya ibu! Gue kasian ke elo, tapi lo dengan entengnya ngancam kehormatan wanita yang udah lahirin gue."

Kakak Tiriku Villain Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang